BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk
bekerja dalam jangka waktu tertentu dengan menerima upah atau penghasilan
tertentu. Mereka bekerja di Luar Negeri berdasarkan perjanjian kerja melalui
prosedur penempatan TKI. Namun demikian, istilah TKI seringkali dikonotasikan
tidak tepat, sebagai pekerja kasar dan tidak terdidik. Padahal dalam
kenyataannya banyak TKI yang bekerja di Luar Negeri sebagai Tenaga Profesional
dalam berbagai bidang kehidupan dan profesi, termasuk mereka yang bekerja dalam
lingkungan rumah tangga, sebagai Pembantu Rumah Tangga yang profesional.
Kesan negatif yang muncul kepermukaan, karena banyaknya kasus-kasus
kekerasan dan ketidak-adilan terhadap TKI yang disebabkan oleh lemahnya sistem
rekruitmen dan praktek percaloan sehingga menghadirkan TKI illegal disamping
tidak ada Perjanjian yang dapat melindungi kepentingan TKI dimaksud. Secara
kasat mata, fakta permasalahan TKI, lebih khusus Tenaga Kerja Wanita (TKW)
tersebut sangat mudah dihadirkan, khususnya di negara negara Timur Tengah.
Ketika kami menghadiri beberapa pertemuan forum Parlemen Internasional yang
diselenggarakan di beberapa negara di Timur Tengah, selalu ada TKW yang
bermasalah di tempat penampungan yang disediakan oleh Kedutaan Besar Indonesia
di negara tersebut dengan berbagai persoalan sebagai penyebabnya.
Dampak dari semua itu adalah muncul “kesan” / “citra” negatif terhadap
TKI kita, sehingga pengaruh pandangan bangsa lain terhadap bangsa kita juga
turut menjadi negatif. Lebih memprihatinkan lagi, permasalahan TKI ini, sangat
sering dibicarakan dalam tataran politis, selalu menjadi alat politik dalam
perjuangan Partai Politik, khususnya menjelang Pemilu, tetapi persoalannya
tetap nampak seperti benang kusut, karena tidak semuanya mau dan mampu bekerja
secara serius dan nyata mencarikan solusi agar permasalahan TKI tersebut dapat
diselesaikan dengan baik dan bermartabat.
Tercatat di BNP2TKI, tahun 2008 saja, terdapat 45.626 kasus yang menimpa
4,3 juta TKI kita di Luar Negeri. Jumlah kasus terbesar terjadi di Arab Saudi,
22.035 kasus, dan beberapa Negara Timur Tengah lainnya, seperti UEA 3.866
kasus, dan Qatar 1.516 kasus. Menurut data pemerintah, jumlah TKI di luar
negeri saat ini sekitar 3,27 juta orang. Sementara menurut Lembaga Migrant
Care, jumlah TKI kita diperkirakan mencapai 4,5 juta orang. Sebagian besar di
antaranya atau sekitar 70% adalah TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar TKI berpendidikan
Sekolah Dasar, bekerja di sektor informal, sementara 30% sisanya adalah TKI
terdidik dan terampil yang mayoritas bekerja di sektor formal. TKI yang bekerja
di Malaysia merupakan jumlah TKI terbesar, yaitu sekitar 2 juta orang.
Pasar TKI kita sesungguhnya memiliki potensi besar bagi perekonomian
Indonesia dalam memperoleh cadangan devisa. Berdasarkan data yang dikompilasi
Bank Indonesia, jumlah remittance yang diperoleh dari TKI pada tahun 2008
sebesar US$ 6,6 miliar, tahun 2009 sebesar US$ 6,617 miliar, dan sampai
September 2010 mencapai US$ 5,03 miliar. Begitu juga kontribusinya terhadap
Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang pada tahun 2008 tercatat 1,3%, 2009
sebesar 1,2%, dan pada Kuartal II-2010 sebesar 1%. Jika melihat data tersebut
tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa TKI yang dikenal sebagai pahlawan devisa
memberikan kontribusi yang besar bagi negara, di lain pihak permasalahan yang
muncul tidak segera diselesaikan, seolah hanya merupakan beban.
Namun apabila kita melihat lebih mendalam sesuai sektornya, sebenarnya
remitansi yang dihasilkan oleh para TKI tidak berbanding lurus dengan
perimbangan jumlah TKI di luar negeri. Sekitar 80% TKI kita yang bekerja di
sektor informal, hanya menghasilkan 20% dari keseluruhan devisa yang dihasilkan.
Sebaliknya, 20% TKI kita yang terampil dan terdidik, justru menghasilkan 80%
dari total devisa negara. Dan ironisnya, kasus-kasus yang muncul pada TKI kita,
sebagian besar terjadi pada TKI di sektor informal yang jumlahnya 80% dari
total TKI tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa faktor keterampilan dan
pendidikan amat mempengaruhi kinerja TKI yang memungkinkan terjadinya kasus
kekerasan ketika mereka menjalankan pekerjaan.
Sesungguhnya, kisah TKI-TKW bukanlah suatu hal yang
baru dalam kisah duka para tenaga kerja (dulu disebut buruh atau babu migran)
asal negeri ini. Munculnya fenomena berbondong-bondongnya tenaga kerja asal Indonesia
untuk pergi menjemput rezeki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi
ekonomi di dalam negeri. Kemiskinan yang terstruktur dan semakin mencekik leher
masyarakat di negeri ini telah pasti membuat hidup semakin susah. Sementara
akibat kemiskian itu, otomatis tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi
masyarakat.
Kondisi itu ditambah lagi dengan sempitnya lapangan pekerjaan yang
disediakan oleh pemerintah hingga menyebabkan jumlah pengangguran kian
‘bertumpuk’ dari masa ke masa. Kalau pun ada lapangan kerja, upahnya juga
sangat murah dan tak sesuai harapan. Itulah beberapa faktor yang telah memicu
banyak orang berhijrah ke negara lain untuk mengadu nasib mencari pekerjaan
demi mendapatkan rezeki untuk menyambung hidup. Mungkin dalam bahasa para TKI, “dari pada harus tetap
bertahan di dalam negeri, namun berada dalam kelaparan dan kemiskinan, lebih
baik menjadi TKI saja.” Menjadi TKI adalah solusi bagi mereka untuk bertahan
hidup.
Namun, ironisnya, maksud hati ingin mencari pekerjaan yang nyaman, tapi
ternyata justru penganiayaan yang mereka peroleh di luar negeri, seperti yang
dialami oleh sebagian TKI; Sumiati dan kawan-kawan. Selain hal di atas, nasib
buruk para TKI juga disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam pengiriman TKI
dengan sistem yang buruk pula. Banyak perusahaan ilegal yang mengirim para TKI
dengan iming-iming akan dipekerjakan di tempat ini-itu. Setelah sampai, mereka
terkadang tidak mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, padahal untuk berangkat
saja mereka sudah membayar mahal. Sehingga, ibaratnya, para TKI dijadikan
sebagai sapi perahan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, yang terlibat
dalam ‘bisnis’ TKI. Mereka justru mencari keuntungan di tengah himpitan
penderitaan orang lain.
Kalau pun ada perusahaan yang resmi untuk mengirim tenaga kerja, namun
tak bisa diingkari, banyak pula dokumen yang dipalsukan seperti soal umur, dan
lain-lain. Lokasi pengiriman TKI juga sering tidak sesuai tujuan yang
dijanjikan. Akibatnya, ini pula yang menjadi faktor tersendiri akan pemicu
semakin panjangnya daftar penderitaan para TKI. Sebenarnya, boleh jadi, rakyat
negeri ini tidak akan begitu tergiur untuk menjadi TKI, jika kemiskinan
terstruktur yang ‘diciptakan’ negara tidak demikian kejam melanda masyarakat.
Tidak akan terjadi
kelaparan dan kemiskinan di dalam negeri sendiri jika tersedia lapangan kerja
yang memungkinkan setiap orang untuk mencari nafkah hingga pengangguran tidak
terus bertambah. Masalah TKI ini juga tidak akan terjadi jika saja
kesejahteraan hidup terjamin di dalam negeri. Sayangnya, semua ini seakan masih
di awang-awang dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Atas berbagai faktor
itulah, maka peran pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk
menangani urusan rakyat, sangat dituntut keseriusannya. Yang dimaksud adalah
tanggung jawab yang maksimal dalam mengurus berbagai problematika masyarakat,
terutama mengatasi pengangguran. Juga dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam
menangani penderitaan yang dialami oleh para TKI yang ada di berbagai negara.
Setelah ada masalah yang terkait dengan TKI, yang menjadi tanggung jawab dan
tugas pemerintah adalah menyelesaikan termasuk mendampingi korban dalam proses
hukum.
TKI juga Warga
Negara Indonesia yang berhak
mendapatkan pelayanan negara secara memuaskan, apa pun statusnya. Mereka adalah
warga negeri ini yang berjuang mendulang devisa. Dengan metode pertumbuhan
ekonomi, maka kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah bukannya memerangi
kemiskinan dan pengangguran tetapi memerangi orang miskin dan pengangguran.
Sebab untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam sistem ekonomi ini
(Kapitalisme), pemerintah harus menarik investor dari dalam dan luar negeri dan
menciptakan kepercayaan pasar dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan para
investor dan merugikan masyarakat. Akibatnya tidak jarang rumah dan tanah
orang-orang miskin digusur untuk kepentingan investor. Kekayaan Indonesia
yang seharusnya menjadi hak rakyat sebagai milik umum diserahkan kepada swasta
dan investor luar negeri. Sementara energi pemerintah untuk memperhatikan dan
memperbaiki kondisi rakyatnya habis tersedot untuk melayani kepentingan para
investor (pemilik modal).
Di satu sisi
pemerintah mengharapkan devisa 2-3 milyar dollar dari TKI/TKW, di sisi lain
pemerintah menghambur-hamburkan uang untuk kepentingan yang tidak berfaedah
selain untuk kepentingan asing. Selama orde baru berbagai proyek pembangunan
yang dibiayai pinjaman Bank Dunia senilai 30 milyar dollar,
10 milyar di antaranya bocor dan habis dikorupsi. Pemerintah melalui sistem
ekonomi yang diterapkan telah dengan sengaja menciptakan ketidakadilan,
kesenjangan, kesengsaraan bagi rakyatnya.
Masih
menjadi topik pembicaran yang hangat baik di tingkat lokal maupun
nasional terkait dengan persoalan yang melilit para TKI di luar negeri, karena
ada deretan panjang para TKI di luar negeri yang saat ini sedang menghadapi
proses hukum. Ruyati binti Sapubi, bukanlah satu-satunya TKI yang dipenggal
kepalanya oleh algojo kerajaan Arab Saudi. Sebelum Ruyati, ada Yanti Irianti
binti Jono Sukandi asal Cianjur, Jawa Barat yang dipancung pada 12 Januari
2008. Ia juga dipancung tanpa sepengetahuan keluarganya. Bahkan sampai sekarang
jenazahnya belum dipulangkan ke tanah air. Kemudian juga ada Kikim Komalasari
yang dibunuh dan lantas jenazahnya dibuang begitu saja di tong sampah.
Sedangkan
data dari Migrant Care menyebutkan bahwa TKI yang menunggu proses sidang
dengan ancaman hukuman pancung antara lain Suwarni asal Jatim, Hafidz bin
Kholil Sulam asal Tulungagung, Eti Thoyib Anwar asal Majalengka, Karsih binti
Ocim asal Karawang, Sun asal Subang. Kemudian Emi binti Katma Mumu asal
Sukabumi, Sulaimah asal Kalimantan Barat, Muhammad Zaini asal Madura, Jamilah
binti Abidin Rifi’i asal Cianjur.Selain terancam pancungan, tidak sedikit TKI
yang mendapat siksaan di luar batas kemanusiaan. Kita tentu masih ingat dengan
SUMIATI asal NTB. PRT yang bekerja di Madinah ini mulutnya ditusuk dengan besi,
dipukul dan kepalanya dibakar oleh majikannya. Sumiati harus menjalani operasi
berkali-kali untuk menyembuhkan luka di sekujur tubuhnya.
Serikat
Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, dalam dua tahun terakhir kasus
penganiayaan terhadap TKI di luar negeri meningkat 39%. Kasus kekerasan seksual
terhadap TKI meningkat 33%, sedangkan kasus kecelakaan kerja yang menimpa TKI
meningkat 61%, dan kasus TKI yang dikirim ke luar negeri dalam kondisi sakit
meningkat 107%. Sementara itu, kematian TKI di Malaysia misalnya, 87% adalah
TKI legal. Selain itu, data perdagangan orang tahun 2005 sampai 2009 menunjukan
bahwa 67% kasus perdagangan orang, korbannya dikirim secara resmi oleh
perusahaan jasa pengerah tenaga kerja (PJTKI).
Secara
hukum sebenarnya dalam UU 39/2004 yang mengatur tentang penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri sudah sangat jelas sebenarnya peran
Negara yaitu bertanggung jawab secara penuh terhadap keberadaan para TKI yang
ada luar negri, Tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan oleh KBRI, Kementrian
luar negeri, Menakertrans dan agen diplomatik yang berada di negara tempat TKI
itu bekerja (Arab Saudi, Malaysia, Brunai Darussalam dan lain-lain).
Namun
kenyataan yang ada pada saat ini,lembaga-lembaga yang dibentuk untuk melindungi
para TKI ini ternyata tidak melaksanakan tugasnya dengan baik bahkan ketika
terjadi kasus-kasus hukum yang menimpa para pahlawan devisa tersebut
mereka cenderung saling lempar tanggung jawab. Presiden SBY sendiri menyikapi
persoalan TKI tersebut hanya ditindak lanjuti dengan retorika dan
instruksi-instruksi gombal kepada jajaran kementriannya yang tak kunjung
terealisir. Salah satu contoh adalah ketika kasus yang menimpa sumiati dan
kikim komala sari, SBY buru-buru membuat janji yaitu akan memberikan HP kepada
para TKW khususnya agar mudah dikontrol tapi sampai detik ini janji tersebut
hanya menjadi ilusi dan narasi kosong.
Dari data yang terhimpun dapat diketahui bahwa perdagangan tenaga kerja perempuan
dan anak secara kuantitas
terjadi dengan modus menjanjikan
pekerjaan di luar negeri sebagai TKW/buruh migran dan kenyataannya kemudian
mereka dieksploitasi baik sebagai pekerja
di sektor formal (manufaktur,
pertanian, perkebunan dan sebagainya) maupun informal (pembantu rumah tangga) namun tidak sedikit di antaranya yang dijerumuskan sebagai pekerja
seks (prostitusi/pelacuran).
Menjadi TKW/buruh migran memang masih
menjadi harapan banyak
perempuan
dan anak-anak Indonesia karena mengharap
upah tinggi guna
memperbaiki kondisi kehidupan keluarganya. Faktor pemicunya antara lain kondisi
pasar tenaga kerja dalam negeri dewasa ini di mana tingginya
tingkat
pengangguran yang umumnya dialami kaum muda, serta di sisi lain perempuan masih menjadi pekerja“kelas
dua” utamanya di
sektor
pekerjaan bergaji, perempuan masih belum terwakili (hanya 29,3%) sebaliknya perempuan lebih
banyak di sector kerja
paruh
waktu (56,4%) yang
tidak
menjanjikan kesejahteraan sebagaimana diharapkan.
Kemiskinan juga memainkan peran besar
terjadinya perdagangan tenaga kerja
Indonesia
yang
timbul dari proses pengiriman TKI
ke
luar
negeri. Beberapa aspek sosial pemicu timbulnya perdagangan tenaga kerja yang dilatar
belakangi kemiskinan adalah:
a. Pekerja kontrak di
luar
negeri berasal
dari
daerah pedesaan dan diantaranya dari wilayah-wilayah paling miskin;
b. Tidak memiliki keterampilan;
c. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan memicu maraknya tenaga kerja
illegal;
d. Pelatihan dan bekal keterampilan belum menjadi hal penting;
Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004, Penulisngnya UU ini masih belum memberi cukup perlindungan.
Hal
ini terjadi karena substansi dalam UU tersebut masih mengandung ketidak jelasan, dan ketidak tegasan yang sangat berpengaruh terhadap penegakan
dan penerapan sanksi. Berikut ini tabel yang menjelaskan
beberapa kelemahan
yang terdapat dalam UU 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Penulis menganalogikan
bahwa TKI non prosedural/illegal ibarat penyeberang jalan yang tidak mau
menggunakan jembatan penyeberangan dan ketika terjadi kecelakaan menyalahkan
polisi yang sedang bertugas mengatur lalu lintas di dekat jembatan tersebut. Berkaitan
dengan pertanyaan atas kasus-kasus WNI/TKI yang terancam hukuman mati, penulis
menjawab bahwa hal ini harus dilihat secara kontekstual dan tidak emosional.
Dari data 216 WNI/TKI yang terancam hukuman mati, sekitar 80% terlibat tindak
pidana narkoba, 18% terlibat tindak pidana pembunuhan dan 2% lain-lain seperti
tuduhan sihir. Di Arab Saudi terdapat sistem pemaafan dari ahli waris korban
diantaranya dengan menetapkan uang diyat (tebusan darah) yang jumlah bervariasi.
Setelah
pemerintah berhasil membebaskan Darsem dengan membayar uang diyat Rp 4,7
miliar, saat ini masih ada beberapa yang telah mendapat pemaafan dan diminta
membayar uang diyat, antara lain terdapat 5 WNI laki-laki membunuh seorang WN
Pakistan secara sadis dan mayatnya ditanam dengan semen. Atas upaya-upaya yang
dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga pemaafan, ahli waris korban memberi
maaf dengan syarat masing-masing harus membayar SR 1 juta.
Artinya jika ada
tuntutan pemerintah harus membayar uang diyat tersebut, maka pemerintah harus
menyediakan uang sejumlah Rp 12,5 miliar yang notabene adalah uang rakyat untuk
menebus pelaku tindak pidana berat tersebut. Hal ini harus disampaikan kepada
masyarakat secara kontekstual dan apabila mereka tahu duduk perkara sebenarnya
apakah rakyat akan rela uangnya dipergunakan untuk membiayai hal tersebut.
Untuk itu menjadi tugas kita bersama menyampaikan fakta-fakta ini kepada
masyarakat secara utuh, agar setiap permasalahan disikapi secara proposional.
Sehubungan dengan hal-hal
tersebut penulis tertarik mengkaji dan menelaah “Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang
menjadi fokus permasalahan penulis adalah Bagaimana perlindungan hukum Tenaga
Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan proposal
ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum Tenaga Kerja Indonesia Illegal
di Luar Negeri berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
D.
Manfaat
Manfaat yang penulis dapatkan
dan harapkan
melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat Akademis
a.
Memberikan sumbangan pemikiran dalam lingkup ilmu hukum terutama yang
berkaitan dengan perlindungan hukum Tenaga Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri;
b.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dijadikan bahan rujukan
atau referensi terhadap penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian
ini.
2.
Manfaat Praktis
a.
Membantu mengembangkan dan memperdalam wawasan penulis mengenai hukum
terutama dalam bidang Ketenagakerjaan;
b. Untuk mendapatkan jawaban
terhadap permasalahan yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Indikator Perlindungan Hukum
Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan
yang bisa bertentangan satu sama lain.
Berkaitan dengan itu, hukum harus mampu mengintegrasikannya sehingga
benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan sekecil-kecilnya. Dimana
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, dalam suatu lalu lintas kepentingan, hanya dapat
dilakukan dengan cara membatasi
kepentingan pihak lain. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief
Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu
ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia
untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta
untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan
martabatnya.[1]
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah
satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara
Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan
oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum
bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan
keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari
ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap
Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali.
Ada beberapa pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu patokan mengenai
perlindungan hukum, yaitu :
a.
Menurut Satjipto Rahardjo,
perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut.[2]
b.
Menurut Setiono,
perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari
perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum,
untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk
menikmati martabatnya sebagai manusia.[3]
c.
Menurut Muchsin,
perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan
menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap
dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama
manusia.[4]
d.
Menurut Hetty Hasanah,
perlindungan hukum yaitu merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya
kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada
pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.[5]
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :[6]
a.
Perlindungan Hukum
Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan
tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran
serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu
kewajiban.
b.
Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan
akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan
perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan
hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya
kepastian hukum.[7] Sehingga dalam penulisan
ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai suatu upaya yang dilakukan di bidang
hukum dengan maksud dan tujuan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak
kekayaan intelektual hasil karya cipta khususnya di bidang kesenian
tradisional/folklore demi mewujudkan kepastian hukum.
Perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai
urgensi tersendiri. Urgensinya, bahwa seluruh hasil karya intelektual akan
dapat dilindungi. Arti kata dilindungi disini akan berkorelasi pada tiga tujuan
hukum, yakni; Pertama, kepastian hukum artinya dengan dilindunginya HKI
akan sangat jelas siapa sesungguhnya pemilik atas hasil karya intelektual
(HKI); Kedua, kemanfaatan, mengadung arti bahwa dengan HKI dilindungi
maka akan ada manfaat yang akan diperoleh terutama bagi pihak yang melakukan
perlindungan itu sendiri, semisal; dapat memberikan lisensi bagi pihak yang
memegang hak atas HKI dengan manfaat berupa pembayaran royalti (royalty
payment); dan Ketiga, keadilan, adalah dapat memberikan
kesejahteraan bagi pihak pemegang khususnya dalam wujud peningkatan pendapatan
dan bagi negara dapat menaikan devisa negara.
Terkait dengan masalah perlindungan terhadap hasil karya seni termasuk
karya tradisional, negara memberikan perlindungan secara eksklusif melalui
Undang-undang Hak Cipta. Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
menyebutkan, hak cipta sebagai hak eksklusif bagi para pencipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberikan izin pada pihak lain untuk
melakukan hal tersebut sesuai batasan hukum yang berlaku. Selain itu hak cipta
memberikan izin kepada pemegang Hak Cipta untuk mencegah pihak lain untuk
memperbanyak sebuah ciptaan tanpa izin.
B.
Konsep Tenaga Kerja Indonesia
1. Definisi Tenaga Kerja Indonesia
Tenaga kerja (manpower)
adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang
potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Sebelum tahun 2000, Indonesia
menggunakan patokan seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas (lihat hasil
Sensus Penduduk 1971, 1980 dan 1990). Namun sejak Sensus Penduduk 2000 dan
sesuai dengan ketentuan internasional, tenaga kerja adalah penduduk yang
berusia 15 tahun atau lebih Tenaga Kerja
Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di
luar negeri (seperti Malaysia,
Timur Tengah, Taiwan, Australia dan Amerika Serikat)
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun demikian, istilah TKI
seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan seringkali disebut
Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barangdan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat. Tenaga kerja menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang
bekerja atau mengerjakansesuatu, orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja. Menurut Payaman J.S, sumber daya manusia
atau human resources
mengandung dua pengertian. Pertama sumber daya manusia (SDM) mengandung
pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi.
Dalam hal ini SDM mencerninkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang
dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua dari
SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasaatau usaha kerja
tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang bernilai
ekonomis,yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.secara fisik, kemampuan bekerja diukur dengan
usia. dengan kata lain, orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. kelompok
penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau manpower.
Secara
singkat, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja
(working-age population). Kedua pengertian tersebut mengandung; (1) aspek
kuantitas dalam arti jumlah penduduk yangmampu bekerja, dan (2) aspek kualitas
dalam arti jasa kerja yang tersedia dan diberikan untuk produksi. Pengertian di
atas juga menegaskan bahwa SDM mempunyai peranan sebagai faktor produksi.
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor lain, SDM sebagai faktor produksi juga
terbatas. Pendayagunaan SDM untuk mengasilkan barang dan jasa dipengaruhi oleh
dua dua kelompok faktor yaitu, pertama, yang mempengaruhi jumlah dan
kualitas tersebut dan, kedua, faktor dan kondisi yang mempengaruhi pengembangan
perekonomian yang kemudian mempengaruhi pendayagunaan SDM tersebut.Siapa yang digolongkan tenaga kerja? Di
Indonesia, pengertian tenaga kerja atau manpower mulai sering dipergunakan. tenaga kerja mencakup penduduk
yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang
melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. tiga
golongan yang disebut terakhir, walaupun sedang bekerja, mereka dianggap secara
fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Secara praktis
pengertian tenagsa kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan oleh hanya batas umur
tiap-tiap Negara memberikan batasan umur yang berbeda. india misalnya
memberikan batasan umur 14 sampai 60 tahun. Jadi tenaga kerja adalah penduduk
yang berumur antara 14 sampai 60 tahun sedangkanorang yang berumur di bawah 14
tahun atau di atas 60 tahun digolongkan bukan sebagai tenaga kerja.
Amerika Serikat mula-mula menggunakan batas umur minimum 14 tahun tanpa
batas umum maksimum. Kemudian sejak tahun 1967 batas umur dinaikkan menjadi 16
tahun atau lebih, sedang mereka yang berumur di bawah 16 tahun digolongkan
bukan sebagai tenaga kerja. Tujuan dari pemilihan batas umur tersebut adalah
supaya definisi yang diberikan sedapat mungkinmenggambarkan kenyataan
sebenarnya. Tiap Negara memiliki batas umur yang berbeda karena situasiyang
sebenarnya tenaga kerja di masing-masing Negara juga berbeda.
Di
Indonesia, semula dipilih batass umur minimum 10 tahun tanpa baatas umur
maksimum.Dengan demikian tenaga kerja di Indonesia dimaksudkan sebagai penduduk
berumur 10 tahun atau lebih.Penduduk di bawah umur 10 tahun digolongkan bukan
sebagai tenaga kerja. Pemilihan 10 tahun sebagai batas umur minimum adalah
berdasarkan kenyataan bahwa dalam umur tersebut sudah banyak
penduduk berumur muda terutama di desa-desa sudah bekerja atau
mencari pekerjaan. Misalnya pada tahun 1971, diantara penduduk kota dalam batas
umur 10-14 tahun terdapat 7,1 persen yang tergolong bekerja ataumencari
pekerjaan, sedang diantara penduduk desa terdapat 18 persen. Dengan kata lain,
sekitar 16 persen penduduk desa dan kota dalam kelompok umur 10-14 tahun
ternyata telah bekerja atau mencari pekerjaan.
Pada
tahun 1980, masih terdapat 11,1 persen penduduk berusia 10-14 tahun yang telah
bekerja ataumencari pekerjaan, yaitu 3,7 persen di kota dan 13,2 persen di
desa. Jumlah dan proporsi pekerja dan pencari kerja dalam kelompok umur
ini diantisipasi akan terus menurun, walaupun hinngga tahun 1995masih relative
tinggi. Pada tahun 1995, masih terdapat 9 persen penduduk berusia 10-14 tahun
yang telah bekerja atau mencari pekerjaan, terdiri dari 4 persen di kota
dan 11,5 persen di desa.Dengan bertambahnya kegiatan pendidikan maka jumalh
penduduk dalam usia sekolah yangmelakukan kegiatan ekonomi akan berkurang. Bila
wajib sekolah 9 tahun diterapkan maka anak-anak sampai umur 14 tahun akan
berada di sekolah. Dengan kata lain jumlah penduduk yang bekerja
dalam batas umur tersebut akan menjadi sangat kecil, sehingga batas umur
minimum lebih tepat dinaikkanmenjadi 15 tahun.
Atas pertimbangan tersebut, UU No. 25 Th. 1997 tentang ketenaga kerjaan
telahmenetapkan batas usia kerja menjadi 15 tahun. Dengan kata lain, sesuai
dengan mulai berlakunya undang-undang ini, mulai tanggal 1 Oktober 1998 tenaga
kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun atau lebih. Demikian juga
Indonesia tidak menganut batas umur maksimum.
Alasannya adalah bahwa Indonesia belum mempunyai jaminan social
nasional. Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menerima tunjangan hari
tua, yaitu pegawai negeri dan sebagian kecil pegawai perusahaan swasta. Buatgolongan
ini pun, pendapatan yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan mereka
sehari-hari. Olehsebab itu mereka yang telah mencapai usia pensiiun masih aktif
dalam kegiatan ekonomi dan oleh sebab itu mereka tetap digolongkan sebagai
tenaga kerja.Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja atau labour force terdiri dari (1) golongan yang bekerja, (2) golongan yang menganggur
dan mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1)
golongan bersekolah, (2) golongan yangmengurus rumah tangga, (3) golongan lain
atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok angkatan kerja
sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu kelompok
inisering juga dinamakan sebagai potential
labour force.
TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa
menghasilkan devisa 60 trilyun rupiah (2006), tetapi dalam kenyataannya, TKI
menjadi ajang pungli bagi para
pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara
Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang
terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi
TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti
punutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI
yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat
ini pungutan ini sudah dilarang).
Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan
Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh
kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans.
2.
Pekerja Perempuan dan Pekerja Anak
Sebagai Objek Perdagangan
Manusia
Perdagangan manusia dalam hal ini dikhususnya pada perdagangan
tenaga kerja perempuan dan anak tidak dapat dipungkiri masih terus terjadi
meliputi wilayah kejadian dan tujuan di dalam maupun di luar negeri.
Trafficking in Person
Report yang diterbitkan oleh Deplu
AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Indonesia dalam peringkat
tersebut dikategorikan sebagai negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar dan pemerintahnya
belum sepenuhnya menerapkan standar-standar
minimum serta tidak atau belum melakukan usaha-usaha yang berarti dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan trafficking.
Dari sudut pandang Hukum Ketenagakerjaan
timbulnya peristiwa ini menandakan masih adanya celah dalam UU Ketenagakerjaan sehingga tidak
mampu mendukung
pencegahan kejahatan perdagangan
tenaga kerja. UU
Ketenagakerjaan dan Peraturan Pelaksana
yang
mengatur masalah
perlindungan hukum
pekerja perempuan dan
pekerja
anak yang berkaitan dengan hal ini dapat dirinci di antaranya:
a. UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
b. UU No. 39
Tahun
2004
Tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
c. UU No. 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
d. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999 yang meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan
Kerja Paksa
(Abolition of Forced Labour Convention).
e. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 yaitu UU yang meratifikasi Konvensi ILO No. 138 1973 Tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja.
f. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 yang meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Buat Anak.
g. KEP. 224/MEN/2003
Kewajiban
Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00
h. KEP. 226 /MEN/2003 Tata cara Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia
i. KEP. 235 /MEN/2003 Tentang Jenis-jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan Keselamatan atau Moral Anak
j. KEP. 01/MEN/VI/2004 Tatacara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
k. KEP. 15/MEN/VII/2004
Perlindungan bagi anak yang melakukan
pekerjaa untuk mengembangkan bakat dan minat.
l. KEP.
112/MEN/VII/2004 Tentang
Perubahan Keputusan menteri Tenaga Dan Transmigrasi RI No : KEP.226/MEN/2003 Tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan
Program Pemagangan Di Luar Wilayah Indonesia dan lain-lain.
Secara normatif perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan dan anak dipayungi
oleh UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
dimana dalam rumusannya secara khusus mengatur tentang pekerja perempuan dan pekerja anak. Dalam Bab X khusus menyangkut perlindungan atas pekerja anak, perempuan, dan penyandang cacat:
Pasal 68 jo Pasal 69 UU 13 Tahun 2003 mengatur
bahwa anak dilarang untuk dipekerjakan,
kecuali bagi anak usia 13 sampai 15
tahun
dapat melakukan pekerjaan
ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan
dan kesehatan fisik, mental dan
social.
Pasal 76 UU 13 Tahun 2003 mengatur tentang perlindungan
pekerja perempuan di
tempat
kerja. Selain
itu juga ketentuan dalam UU ini memuat larangan diskriminasi bagi pekerja laki-laki dan perempuan.
Khusus dalam UU 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperuntukkan bagi pekerja/buruh
migran (TKI yang bekerja ke luar negeri). UU inilah sesungguhnya yang secara langsung berkenaan dengan pencegahan dan
upaya penanggulangan
perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak ke luar wilayah negara Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam UU
39 tahun 2004:
“bahwa tenaga kerja
Indonesia di
luar negeri
sering dijadikan
objek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas
harkat dan martabat
manusia, serta
perlakuan lain
yang
melanggar hak asasi manusia.
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan
Kerja Paksa (Abolition of Forced Labour
Convention),
menuangkannya dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1999. Konvensi ini mengharuskan kerja paksa
dalam bentuk
apapun
harus dihapus dari
perundangan nasional, selain itu juga Negara wajib menerapkan hukuman pada orang-orang yang secara illegal menerapkan kerja paksa/kerja wajib.
Khusus bagi pekerja anak konvensi
ILO
No. 138/1973 tentang Usia
Minimum mewajibkan Negara yang meratifikasinya untuk membuat kebijakan nasional yang dirancang untuk menjamin penghapusan
pekerja anak secara
efektif. Kebijakan yang sama harus ditujukan untuk menaikkan
usia
minimum untuk bekerja pada tingkat yang sesuai dengan pertumbuhan
mental dan fisik
anak
secara penuh. Negara harus merinci usia minimum yang diberlakukan dan sebagai pegangan ditentukan tidak lebih rendah dari usia 15 tahun atau sampai batas usia wajib sekolah. Khusus bagi Negara sedang berkembang
batas usia minimum 14 tahun diperbolehkan. Pengecualian yang dimuat dalam konvensi ini bagi Negara untuk tidak mengikuti peraturan usia minimum dengan pilihan:
• Tidak termasuk pekerjaan tertentu
yang
akan
menimbulkan masalah
substansial jika peraturan dipaksakan (kecuali untuk pekerjaan yang berbahaya), setelah ada konsultasi dengan organisasi pengusaha dan
organisasi pekerja;
• Ijin untuk pekerjaan ringan yang tidak membahayakan kesehatan dan
perkembangan anak dan yang tidak menghalangi waktu anak untuk
bersekolah, ini ditentukan oleh pemerintah, dari usia 13 tahun (12 tahun
jika usia minimumnya 14 tahun);
• Ijin untuk anak berpartisipasi dalam pertunjukan kesenian diberikan kasus
per kasus.
Beragam pendapat muncul sehubungan dengan
pekerja
anak.
Ini menunjukkan
bahwa bukan hanya pekerja anak sebagai salah satu masalah tersendiri namun juga dapat dibenarkan
atau tidaknya pekerja anak menjadi persoalan juga. Setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang masalah
pekerja anak. Pertama mereka yang berperinsip bahwa pekerja anak harus dihapuskan (abolition). Pendekatan penghapusan ini muncul dari asumsi bahwa seorang anak tidak
boleh bekerja, karena di
usianya ia
harus sekolah dan
bermain. Kedua, mereka yang berpendapat
pekerja anak harus dilindungi (protection), ini dilatar belakangi oleh pandangan bahwa seorang anak
sebagai
individu punya hak ekonomi untuk bekerja, karenanya hak-haknya sebagai
pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan
sebagaimana berlaku
terhadap pekerja dewasa. Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa pekerja anak harus
Diberdayakan
(empowerment), ini
berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar
mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.
ILO dan banyak Negara menggunakan pendekatan penghapusan pekerja
anak
(the elimination of child labour). Pendekatan ini dianggap tidak realistis karena
sebagian besar
pekerja anak muncul akibat kemiskinan. Bagaimana
dengan Indonesia?. Berangkat dari sisi pasar tenaga kerja terdapat paling tidak dua teori yang mencoba menjelaskan
mengapa anak bekerja yaitu ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Teori yang mendukung
dari teori penawaran menyatakan bahwa
kemiskinan merupakan sebab utama pendorong
anak
bekerja untuk kelangsungan hidup dirinya dan keluarga. Dorongan bisa berasal
dari diri sendiri
maupun orang tua. Teori yang berpijak dari teori permintaan menyatakan bahwa denngan mempekerjakan anak-anak (dan juga perempuan
dewasa)
yang dianggap sebagai pencari nafkah kedua dan mau dibayar murah,
majikan dapat melipat gandakan keuntungannya. Pada
kenyataannya kedua teori ini berlaku secara bersama-sama dan menciptakan pasar tenaga kerja anak (dan perempuan).
BAB III
METODOLOGI
A. Tipe Penelitian
a. Penelitian Normatif (Undang-Undang)
Penelitian
ini menggunakan tipe penelitian normatif. Penelitian normatif adalah suatu
penelitian hukum yang mengkaji norma-norma tertulis dalam produk hukum tertulis
dari berbagai aspek meliputi aspek teori hukum, sejarah hukum, filsafat hukum,
perbandingan hukum, dan asas-asas hukum.
Menurut
Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[8]
Senada dengan hal tersebut, menurut Soerjono Soekamto, penelitian normatif adalah menelaah terhadap pokok permasalahan yang menjadi pembahasan. Lebih lanjut, menurut pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum
normatif mencakup :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vetikal dan horizontal;
d. Penelitian perbandingan hukum;
e. Penelitian sejarah hukum.[9]
Penelitian hukum ini merupakan penelitian
hukum terhadap sistematik hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dilandasi
dengan pengertian-pengertian dasar sistem hukum, yakni : masyarakat hukum,
subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum.
B.
Jenis dan Sumber
Hukum
Jenis dan sumber hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh
melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis terhadap upaya
perlindungan hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui apakah telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogiyanya, diperlukan sumber-sumber
penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder.[10]
Bahan-bahan hukum tersebut berupa:
1)
Bahan Hukum Primer (primary
law materiel), adalah bahan hukum yang mengikat yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
2)
Bahan hukum sekunder (secondary
law materiel), yaitu bahan hukum yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain buku, tulisan ilmiah, makalah,
jurnal, skripsi, hasil
penelitian ilmiah, serta laporan hukum media cetak dan media elektronik.
3)
Bahan hukum tersier (tertiary law materiel), yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang terdiri atas:
(a)
Kamus Hukum.
(b)
Bahan yang bersumber dari internet.
C. Metode Pendekatan
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
1.
Kepustakaan (library research)
Bahan
hukum kepustakaan diperoleh dari studi dokumen, maka dalam penelitian ini
penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik berupa Peraturan
Perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian hukum, makalah-makalah, surat
kabar, artikel, majalah/jurnal-jurnal
hukum maupun pendapat para sarjana yang mempunyai relevansi dengan judul
penelitian ini yang dapat menunjang dalam penulisan-penulisan ini.
E. Analisis Hukum
Bahan-bahan
hukum yang berhasil dikumpulkan diolah secara teratur dan sistematis,
selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif yaitu meneliti, menelaah
bahan-bahan hukum yang ada dalam bentuk uraian secara deskriptif kualitatif
untuk dapat menjawab rumusan masalah.
Metode deskriptif kualitatif yaitu analisis-analisis yang tidak
didasarkan atas angka-angka tetapi melalui uraian-uraian terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku dengan menghubungkan bahan hukum sekunder guna
memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap mengenai masalah yang akan dibahas.
[1] Lili Rasjidi dan B Arief
Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1994), hal. 64.
[3] Setiono, Rule of Law
(Supremasi Hukum), (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, 2004), hal. 3
[4] Muchsin, Perlindungan
dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta : Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14.
[5] Hetty Hasanah, Perlindungan
Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan Bermotor dengan
Fidusia, (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html, 2004), hal. 1.
[7] Shidarta, Karakteristik
Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an, Disertasi, (Bandung: Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan, 2004), hal. 112.
[10] Ibid. Hal. 141.
Thanks banget min, sesuai sama tugas ane, izin otak atik dikit ya
BalasHapus