BAB VI
ASURANSI RANGKAP
DAN REASURANSI
A.
ASURANSI RANGKAP
1. Pengertian
Asuransi Rangkap
Dalam Pasal 252 KUHD ditentukan :
“kecuali dalam hal yang ditentukan oleh
undang-undang, tidak boleh diadakan asuransi kedua untuk waktu yang sama dan
untuk evenemen yang sama atas benda yang sudah diasuransikan dengan nilai
penuh, dengan ancaman asuransi kedua tersebut batal”.
Menurut ketentuan pasal ini, jika benda
sudah diasuransikan dengan nilai penuh, tidak boleh lagi diasuransikan untuk waktu yang sama dan atas evenemen yang
sama. Jika masih diadakan lagi asuransi kedua, maka asuransi kedua ini batal. Asuransi
semacam ini disebut “asuransi rangkap” (double
Insurance). Asuransi rangkap dengan nilai penuh dilarang undang-undang.
Akan tetapi, ada asuransi rangkap yang
tidak dilarang, yaitu asuransi yang diatur dalam Pasal 277 KUHD. Menurut
ketentuan pasal tersebut:
“Apabila beberapa
asuransi dengan itikad baik diadakan untuk benda yang sama, sedangkan asuransi
pertama diadakan dengan nilai penuh, maka asuransi inilah yang mengikat dan
asuransi lainnya dibebaskan. Apabila asuransi pertama tidak diadakan dengan
nilai penuh, maka asuransi-asuransi berikutnya hanya mengikat untuk nilai
sisanya menurut urutan waktu asuransi itu diadakan”.
Berdasarkan ketentuan 2 (dua) Pasal KUHD
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada asuransi rangkap apabila atas benda yang
sama, evenemen yang sama dan waktu yang sama diadakan beberapa asuransi. Namun,
asuransi rangkap itu dilarang apabila asuransi pertama sudah diadakan dengan
nilai penuh.
Apa sebabnya asuransi rangkap itu
dilarang? Maksud diadakan peraturan mengenai asuransi rangkap adalah untuk
mencegah jangan sampai menjadi bahwa tertanggung memperoleh ganti kerugian
melebihi nilai benda sesungguhnya, sehingga melanggar asas keseimbangan. Di
samping itu, peraturan mengenai asuransi rangkap dapat mencegah anggapan bahwa
asuransi itu adalah perjudian dan pertaruhan. Dengan adanya larangan tersebut,
tidak aka nada asuransi rangkap yang bertujuan mmperkaya diri tanpa hak. Supaya
dapat diketahui oleh penanggung apakah ada asuransi yang telah diadakan lebih
dahulu, maka perlu diberi tahu oleh tertanggung dengan mencantumkan dalam
polis.
Dalam pasal 252 KUHD tidak dipersoalkan
apakah asuransi rangkap itu dibuat dengan itikad baik atau tidak, apakah dibaut
dalam polis yang berlainan atau tidak. Pokonya, asuransi rangkap itu dilarang.
Jika diadakan juga, asuransi kedua itu batal. Untuk mengetahui apakah ada
asuransi rangkap atau tidak, harus dilihat pada waktu terjadi evenemen yang
menimbulkan kerugian, bukan pada waktu asuransi kedua itu diadakan. Ini berarti
apabila pada waktu terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian, itu diajukan
klaim, maka asuransi pertamalah yang sah, sehingga penanggung pertamalah yang
berkewajiban memenuhi klaim tertanggung.
Bagaimana cara mengetahui asuransi yang
terjadi lebih dahulu apabila dalam polis yang berlainan yang dinyatakan tanggal
dan jam yang bersamaan? Dalam hal ini, penanggung mana yang berkewajiban
memenuhi klaim tertanggung? Hal ini dapat diketahui oleh penanggung pada waktu
terjadi evenemen yang menghitung jumlah kerugian yang timbul, pada waktu
tersebut muncul pula penanggung atas benda yang sama, evenemen yang sama, dan
waktu yang sama. Ketika diajukan klaim, kedua penanggung menolak dengan
menyatakan bahwa asuransi yang satu lebih kemudian terjadi daripadanya yang
lainnya.
Jika terjadi sengketa mengenai asuransi
rangkap ini, maka tertanggunglah yang diberi beban pembuktian guna menentukan
asuransi mana yang terjadi lebih dahulu (lebih awal), sehingga dapat ditentukan
penanggung yang berkewajiban memenuhi klaim ganti kerugian. Mengenai asuransi
yang terjadi lebih kemudian batal demi hukum (van rechtwege nieting). Dalam asuransi yang batal ini, tertanggung
tidak dapat menuntut pengembalian premi, walaupun pada hakikatnya penanggung
tidak menjalani bahaya karena batalnya itu sejak asuransi itu diadakan.
Apa sebab tertanggung tidak dapat
menuntut pengembalian premi, padahal penanggung tidak menjalani bahaya,
sedangkan tertanggung beritikad baik? Pasal 252 KUHD merupakan peringatan bagi
tertanggung supaya tidak mengadakan asuransi rangkap yang dilarang, apalagi
jika beritikad jahat untuk memperoleh keuntungan tanpa hak. Menurut ketentuan
Pasal 282 KUHD, pabila batalnya asuransi asuransi karena akal cerdik, penipuan
atau kecurangan tertanggung, maka penanggung tetap berhak atas preminya, tanpa
mengurangi adanya tuntutan pidana jika ada alasan untuk itu. Bagi tertanggung
yang beritikad baik tidak mungkin mengadakan asuransi rangkap yang dilarang.
Jika dia mengadakan asuransi rangkap, maka yang diadakan itu adalah asuransi
yang tidak dilarang. Jika terjadi juga asuransi rangkap yang dilarang tanpa
kesengajaan, maka kehilangan premi yang dibayar pada asuransi yang batal
merupakan risiko berlakunya undang-undang.
2.
Pengecualian Pasal 252 KUHD
Asuransi yang bagaimanakah yang
merupakan pengeceualian psal 252 KUHD? Pengecualian yang dimaksud itu adalah
asuransi yang diatur dalam Pasal 277, Pasal 278, dan Pasal 279 KUHD. Dalam penguraian pasal-pasal tersebut perlu
diperhatikan bahwa saat yang menjadi patokan adalah saat terjadi evenemen yang
menimbulkan kerugian, bukan saat terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian,
bukan saat terjadi asuransi. Berikut ini
pasal-pasal tersebut diuraikan satu demi satu.
a.
Pasal 277 KUHD
Dalam pasal 277 ayat (1) KUHD diulangi
lagi kemungkinan terjadi asuransi rangkap seperti yang dinyatakan dalam Pasal
252 KUHD. Apabila atas benda yang sama dan evenemen yang sama, diadakan
beberapa asuransi dengan itikad baik , sedangkan asuransi pertama diadakan
dengan nilai penuh, maka asuransi yang pertamalah yang mengikat asuransi yang
berikutnya dibebaskan. Pasal ini menunjuk kepada beberapa asuransi yang terjadi
dalam waktu yang berlainan dan dengan polis yang berlainan pula atas benda yang
sama, tetapi asuransi pertama dengan nilai penuh. Jika terjadi evenemen yang
menimbulkan kerugian penanggung pertamalah yang berkewajiban memenuhi klaim
ganti kerugian, sedangkan penanggung-penanggung berikutnya dibebaskan dari
kewajibannya. Dalam hal ini asuransinya sendiri tidak batal.
Contohnya, pada tanggal 1 Januari 1997
Amat mengasuransikan sebuah rumah yang bernilai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) terhadap bahaya kebakaran pada Perusahaan Asuransi PKA dengan
jumlah asuransi Rp 300.000.00,00 (tiga ratus juta rupiah) (full insurance) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Pada tanggal 1
Maret 1997 Amat mengasuransikan lagi rumah tersebut terhadap bahaya yang sama,
jangka waktu yang sama, dengan jumlah asuransi Rp 150.000.000 (seratus lima
puluh juta rupiah) pada Perusahaan Asuransi PKB. Pada tanggal 15 Oktober 1997 terjadi
kebakaran, ehingga rumah tersebut terbakar habis. Menurut pasal 277 ayat (1)
KUHD penanggung PKA berkewajiban membayar klaim kepada tertanggung Amat dengan
jumlah Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), sedangkan penanggung PKB
dibebaskan . akan tetapi, jika kebakaran terjadi pada tanggal 15 Februari 1998,
maka Amat dengan jumlah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah),
sedangkan penanggung PKA bebas karena asuransinya sudah berakhir. Inilah makna
kata-kata “asuransi berikutnya dibebaskan” dalam pasal 277 ayat (1) KUHD.
Berbeda dengan Pasal 277 ayat (1) KUHD,
Pasal 252 KUHD memakai rumusan “asuransi kedua batal”. Pasal ini mengancam
tertanggung yang mengadakan asuransi lebih dari 1 (satu) atas benda yang sama,
evenemen yang sama, dan jangka waktu berlaku juga sama, yaitu dimulai dari saat
yang sama dan berakhir pada saat yang sama pula, sedangkan asuransi pertama
diadakan dengan nilai penuh. Pada asuransi dalam Pasal 277 ayat (1) KUHD,
jangka waktunya saja yang sama, tetapi saat mulai dan berakhir tidak sama.
Jadi, sudah tepat penggunaan kata “dibebaskan” bukan batal.
Menurut Scheltema, Pasal 252 KUHD
hendaknya tidak diartikan menurut kata-katanya, artinya asuransi kedua itu
tidak diartikan sebagai batal. Pendapat beliau ini tidak dapat dipegang, sebab
jika memang demikian maksud pembuat undang-undang mengapa pula ada ketentuan
Pasal 277 ayat (1) KUHD yang diperuntukkan bagi tertanggung yang beritikad baik dengan menggunakan rumusan “dibebaskan”,
tidak memakai rumusan “batal” untuk asuransi kedua. Pembuat undang-undang
tentunya menunjukkan Pasal 252 KUHD itu kepada tertanggung yang beritikad
jahat, setidak-tidaknya sebagai peringatan bagi tertanggung yang beritikad
baik.
Selanjutnya, dapat juga diadakan
beberapa asuransi atas benda yang sama, evenemen yang sama, tetapi asuransi
pertama tidak dengan nilai penuh. Menurut ketentuan Pasal 277 ayat (2) KUHD,
beberapa asuransi itu dibolehkan. Semua penanggung bertanggung jawab menurut
jumlah asuransinya sudah melebihi jumlah asuransi yang terjadi sebelumnya,
dibebaskan. Tanggung jawab penanggung-penanggung itu berlaku untuk jumlah
selebihnya menurut urutan terjadinya asuransi.
Contohnya, pada tanggal 1 Januari 1998
Amat mengasuransikan rumahnya yang bernilai Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah) terhadap bahaya kebakaran pada Perusahaan Asuransi PKA dengan nilai Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pada tanggal 2 Januari 1998 Amat
mengasuransikan lagi rumahnya terhadap bahaya yang sama pada Perusahaan
Asuransi PKB dengan nilai Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pada tanggal 1 Maret 1998 diasuransikan lagi terhadap bahaya yang sama pada
Perusahaan Asuransi PKC dengan nilai Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah). Pada tanggal 15 Maret 1997 diasuransikan lagi terhadap bahaya yang
sama pada Perusahaan Asuransi PKD dengan nilai Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah). Pada tanggal 15 Oktober 1998 terjadi kebakaran, sehingga
rumah itu terbakar habis. Setiap asuransi diadakan untuk jangka waktu yang sama,
yaitu 1 (satu) tahun. Dalam penyelesaian klaim ganti kerugian, penanggung PKA
membayar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), penanggung PKB membayar Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), penanggung PKC membayar Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), sisanya, sedangkan penanggung PKD
dibebaskan.
Akan tetapi jika rumah tidak terbakar
habis, misalnya hanya timbul kerugian Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah), maka tiap penanggung bertanggung jawab menurut urutan terjadi asuransi
sesuai dengan jumlah asuransinya, dengan ketentuan jumlah nilai semua asuransi
tidak melebihi nilai benda sesungguhnya. Dengan demikian perhitungannya adalah
sebagai berikut :
(1)
Penanggung PKA
membayar klaim ganti kerugian
200/400 x Rp. 250.000.000,00 = Rp 125.000.000,00
(2)
Penanggung PKB
membayar klaim ganti kerugian
150/400 x Rp. 250.000.000,00 = Rp 93.750.000,00
(3)
Penanggung PKC
membayar klaim ganti kerugian
50/400 x Rp. 250.000.000,00 = Rp 31.250.000,00
(4)
Penanggung PKD
dibebaskan dari kewajiban karena jumlah nilai 3 (tiga0 asuransi sebelumnya
sudah mencapai nilai penuh.
Dalam praktik asuransi, ganti kerugian
pertanggungan rangkap dapat dibaca contoh ketentuan dalam polis standar
asuransi kendaraan bermotor Indonesia berikut ini :
(1)
Menyimpang dari
Pasal 277 ayat (1) KUHD, dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas
kendaraan bermotor yang dipertanggungkan dengan polis, sedangkan kendaraan
bermotor tersebut sudah dijamin pula oleh 1 (satu) atau lebih pertanggungan
lain dan jumlah segala pertannggungan itu melebihi harga kendaraan bermotor
yang dimaksud itu, maka jumlah yang telah dipertanggungkan dengan polis ini
dianggap berkurang menurut perbandingan antara jumlah segala pertanggungan
dengan harga yang dipertanggungkan. Akan tetapi, premi tidak dikurangi atau
dikembalikan.
(2)
Ketentuan di
atas tetap dijalankan walaupun segala pertanggungan yang dimaksud itu dibuat
dengan beberapa polis dan pada hari yang berlainan, yang tanggalnya lebih
dahulu daripada tanggal polis ini dan tidak berisi ketentuan sebagaimana
tersebut pada ayat (1) di atas. Apabilaterjadi kerugian atau kerusakan, atas
permintaan penanggung, tertanggung wajib memberitahukan secara tertulis segala
pertanggungan lain yang sedang berlaku atas kendaraan bermotor yang sama pada
saat terjadinya kerugian atau kerusakan.
b.
Pasal 278 KUHD
Asuransi rangkap juga diatur dalam Pasal
278 KUHD. Asuransi rangkap menurut pasal ini dapat diadakan dalam 1 (satu)
polis itu melebihi nilai benda sesungguhnya. Dalam hal ini setiap penanggung
hanya bertanggung jawab menurut perimbangan jumlah asuransi masing-masing. Akan
tetapi, beberapa asuransi itu dapat juga diadakan pada hari yang sama dalam
polis tersendiri untuk setiap asuransi. Perhitungannya juga sama seperti
diuraikan sebelumnya. Asuransi rangkap Pasal 278 ini laim disebut “persekutuan
para penanggung” (Joint Insures).
Contohnya Pada tanggal 1 Januari 1998
Amat mengasuransikan rumahnya yang bernilai Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) terhadap bahaya kebakaran pada beberapa Perusahaan Asuransi yang
bersekutu dalam 1 (satu) polis. Penanggung-Penanggung itu adalah :
(1)
Penanggung PKA
dengan Jumlah nilai Rp 300.000.000,00
(2)
Penanggung PKB
dengan Jumlah nilai Rp 400.000.000,00
(3)
Penanggung PKC
dengan Jumlah nilai Rp 200.000.000,00
(4)
Penanggung PKD
dengan Jumlah nilai Rp 100.000.000,00
Rumah tersebut kemudian terbakar habis.
Setiap penanggung membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung Amat sebagai
berikut :
(1)
Penanggung PKA
300/1.000 x Rp. 500.000.000,00 = Rp. 150.000.000,00
(2)
Penanggung PKB
400/1.000 x Rp. 500.000.000,00 = Rp 200.000.000,00
(3)
Penanggung PKC
200/1.000 x Rp. 500.000.000,00 = Rp 100.000.000,00
(4)
Penanggung PKD
100/1.000 x Rp. 500.000.000,00 = Rp 50.000.000,00
Jika rumah tersebut tidak terbakar
habis, hanya timbul kerugian sebagian misalnya Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah), maka perhitungannya juga menggunakan angka perbandingan dari
jumlah asuransi masing-masing dikalikan dengan jumlah kerugian. Dengan
demikian, setiap penanggung membayar klaim ganti kerugian sebagai berikut :
(1)
Penanggung PKA
300/1.000 x Rp. 300.000.000,00 = Rp. 90.000.000,00
(2)
Penanggung PKB
400/1.000 x Rp. 300.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
(3)
Penanggung PKC
200/1.000 x Rp. 300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
(4)
Penanggung PKD
100/1.000 x Rp. 300.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
c.
Pasal 279 KUHD
Pasal ini juga mengatur asuransi
rangkap, tetapi masih merujuk ke Pasal 277 dan Pasal 278 KUHD. Maksud Pasal 279
KUHD adalah melarang tertanggung membebaskan penanggung pada asuransi yang
terjadi lebih dahulu, kemudian membebankan kewajiban pada penanggung
berikutnya. Jika tertanggung melakukan juga hal yang demikian, dia dianggap
menggantikan kedudukan penanggung yang bersangkutan untuk jumlah asuransi yang
sama. Jika tertanggung mengasuransikan risikonya itu kepada penanggung lain,
maka penanggung baru tersebut menggantikan kedudukan tertanggung selaku
penanggung. Dengan cara demikian, penanggung berikutnya tidak dirugikan oleh
perbuatan tertanggung.
Contohnya pada tanggal 1 Januari 1998
Amat mengasuransikan mobilnya yang bernilai Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) terhadap bahaya tabrakan dengan nilai Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) pada Perusahaan Asuransi PKA untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun. Pada tanggal 2 Januari 1998 diasuransikan lagi terhadap
bahaya yang sama pada Perusahaan Asuransi PKB dengan nilai Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) untuk jangka waktu yang sama. Kemudian, karena suatu
hal, pada tanggal 10 Januari 1998 asuransi pertama dibatalkan. Pada tanggal 15
Januari 1998 tertanggung mengasuransikan lagi mobilnya itu untuk jumlah yang
sama terhadap bahaya yang sama pada Perusahaan Asuransi PKC. Pada tanggal 30
Januari 1998 terjadi tabrakan yang mengakibatkan kerugian Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Contoh di atas dapat diselesaikan
sebagai berikut :
(1)
Penanggung PKA
tidak berkewajiban membayar klaim karena asuransinya telah dibatalkan tanggal
10 Januari 1998.
(2)
Karena asuransi
pertama dibatalkan, maka kedudukannya digantikan oleh tertanggung, sehingga
tertanggunglah yang memikul risiko untuk jumlah Rp 150.000.000,00 juta rupiah.
Karena diasuransikan lagi pada penanggung PKC tanggal 15 Januari 1998, ini
berarti PKC berkewajiban membayar klaim 150/250 x Rp 150.000.000,00 = Rp
90.000.000,00.
(3)
Penanggung PKB
bertanggung jawab untuk sisa nilai benda, yaitu Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah). Jadi, penanggung PKB berkewajiban memb ayar klaim 100/250 x Rp
150.000.000,00 = Rp 60.000.000,00.
3.
Asuransi Rangkap di Inggris
Sehubungan dengan asuransi rangkap,
hukum asuransi di Indonesia agak berbeda dengan hukum asuransi di Inggris. Di
sana tertanggung dapat mengklaim setiap penanggung menurut pilihannya, asalkan
tertanggung tidak menerima ganti kerugian melebihi jumlah kerugian
sesungguhnya. Jadi, tidak menekankan pada penanggung pertama saja atau
penanggung terdahulu. Hal ini dapat dipahami melalui ketentuan Pasal 32 ayat
(2) Marine Insurance Act 1906 :
“When the
assured is over insured by double insurance, th assured unless te policy
otherwise provides, may claim payment from the insures in such order as he may
think first, provided that he is not entitled to receive any sum in excess of
the indemnity allowed by this Act”.
Perhatikan kata-kata in such of orders as he may think first yang
berarti penanggung yang dianggapnya pilihan pertama.
Demikian juga apabila dalam asuransi
rangkap itu jumlah asuransi melebihi nilai benda sesungguhnya, tertanggung
dapat melaksanakan klaim sepenuhnya terhadap setiap penanggung dan
penanggung-penanggung itu kemudian mengadakan perhitungan menurut keseimbangan
untuk jumlah mana masing-masing bertanggung jawab. Ketentuan seperti ini agak
berbeda dengan ketentuan Pasal 278 KUHD. Perbedaan tersebut dapat dipahami
melalui ketentuan Pasal 80 Marine Insurance Act 1906 :
“When the
assured is over insured by double insurance, each insurer is bound as between
himself and the other insures, to contribute ratably to the loss in proportion
to the amount for which he is liable under his contract”.
Perhatikan kata-kata as between himself and the other insurers, yang
berarti antara penanggung yang satu dan penanggung yang lain.
4. Asuransi
Solvabilitas
Asuransi solvabilitas diatur dalam Pasal
280 KUHD. Menurut ketentuan pasal ini :
“Tidak dianggap sebagai perjanjian terlarang
apabila benda yang sudah diasuransikan dengan nilai penuh itu diasuransikan
lagi baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya, dengan ketentuan yang tegas
bahwa tertanggung hanya akan menggunakan haknya terhadap penanggung belakangan
ini apabila dan sekadar dia tidak dapat mengklaim ganti kerugian kepada penanggung
terdahulu. Dalam hal ada perjanjian yang demikian ini, maka asuransi yang
dibuat terdahulu harus dinyatakan dengan jelas dalam polis, dengan ancaman
asuransi belakangan ini batal, demikian pula akan berlaku ketentuan Pasal 277
dan Pasal 278 KUHD”.
Asuransi solvabilitas (solvability insurance) tidak termasuk dalam pengertian asuransi rangkap.
Dikatakan asuransi solvabilitas karena mempunyai perbedaan tertentu dengan
asuransi rangkap. Perbedaan tertentu itu terletak pada perjanjian yang harus
dinyatakan dengan tegas dalam polis yang berisi ketentuan bahwa tertanggung
hanya akan mengklaim penanggung terdahulu. Purwosutjipto juga mengemukakan,
pada asuransi solvabilitas kepentingannya adalah kemampuan membayar penanggung
terdahulu, sedangkan pada asuransi terdahulu kepentingannya adalah hak milik
tertanggung jangan sampai lenyap atau berkurang.
Maksud diadakan asuransi solvabilitas
adalah untuk menjaga kemungkinan penanggung tidak mampu mengganti kerugian jika
benda asuransi ditimpa oleh evenemen. Asuransi solvabilitas bukan pengecualian
yang dimaksud oleh Pasal 252 KUHD karena kepentingannya berbeda antara asuransi
terdahulu dan asuransi belakangan (solvabilitas). Kepentingan dalam asuransi
terdahulu adalah hak milik, sedangkan kepentingan dalam asuransi belakangan
(solvabilitas) adalah kemampuan penanggung. Pasal 280 KUHD dengan tegas
menyatakan asuransi solvabilitas bukan asuransi yang dilarang.
Contohnya, pada tanggal 1 Januari 1998
Amat mengasuransikan rumahnya yang bernilai Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) terhadap bahaya kebakaran pada Perusahaan Asuransi PKA dengan nilai Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) (full
insurance). Kemudian karena merasa kurang aman, pada tanggal 1 Februari
1998 rumah tersebut diasuransikan lagi terhadap bahaya yang sama pada
Perusahaan Asuransi PKB juga dengan nilai penuh. Dalam polis kedua ini dimuat
perjanjian bahwa tertanggung hanya akan mengklaim penanggung jika penanggung
PKA tidak mampu membayar klaim dalam hal terjadi kebakaran yang menimbulkan
kerugian atas rumah tersebut. Keadaan asuransin pertama diuraikan juga dalam
polis kedua. Tanggal 25 Februari 1998 terjadi kebakaran yang mengakibatkan
rumah musnah. Pada saat terjadi evenemen ternyata penanggung PKA dalam keadaan
onsolvensi karena pailit yang ditetapkan oleh putusan pengadilan.
Atas dasar ini tertanggung tidak dapat
mengajukan klaim kepada penanggung PKA. Akan tetapi, berdasarkan klausula polis
asuransi kedua, tertanggung mengajukan klaim kepada penanggung PKB dengan
melampirkan bukti putusan pengadilan bahwa penanggung PKA dalam keadaan
insolvensi. Dengan demikian, penanggung PKB berkewajiban mengganti kerugian
penuh kepada tertanggung Amat Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Jika penanggung
PKB sudah memenuhi klaim tersebut, tertanggung tidak boleh mengajukan klaim
kepada penanggung PKA jika dia sudah dalam keadaan solvable.
B.
REASURANSI (ASURANSI ULANG)
1. Pengertian
Reasuransi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian mendefinisikan usaha
reasuransi sebagai usaha yang memberikan jasa dalam asuransi ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan
Asuransi Jiwa. Usaha reasuransi dijalankan oleh Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Reasuransi dapat menjalankan usaha bidang asuransi kerugian dan atau
asuransi jiwa. Kegiatan usaha asuransi dan reasuransi merupakan kegiatan usaha
yang bersambung. Persambungan tersebut dapat dilihat pada kedudukan penanggung.
Pada Perusahaan Asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko tertanggung.
Pada Perusahaan Reasuransi, penanggung ulang menerima pengalihan risiko dari
penanggung. Jadi, kedudukan penanggung adalah sebagai tertanggung dalam
reasuransi (asuransi ulang). Hubungan hukum antara penanggung dan penanggung
ulang didasarkan pada perjanjian.
Sekarang , apakah yang dimaksud dengan
perjanjian reasuransi (asuransi ulang) itu? Reasuransi (asuransi ulang) adalah
perjanjian antara penanggung (insurer)
dan penanggung ulang (reinsurer),
berdasarkan perjanjian tersebut penanggung ulang menerima premi dari penanggung
yang jumlahnya ditetapkan lebih dulu, dan penanggung ulang bersedia untuk
membayar ganti kerugian kepada penanggung, bilamana dia membayar ganti kerugian
kepada tertanggung. Ini berarti, bahwa dalam perjanjian reasuransi, penanggung
mengasuransikan lagi risiko yang menjadi tanggungannya itu kepada penanggung
ulang. Jadi, terdapat asuransi berurutan dan bertingkat.
Reasuransi (asuransi ulang) diatur dalam
Pasal 271 KUHD. Pasal ini menentukan bahwa penanggung selamanya berhak untuk
mengasuransikan lagi apa yang telah ditanggungnya. Pihak yang mengasuransikan
itu adalah penanggung sendiri, sedangkan
yang menjadi kepentingan adalah tanggung jawab penanggung pada asuransi
pertama. Oleh karena itu, pada reasuransi (asuransi ulang) tidak ada asuransi
untuk kedua kali atau asuransi rangkap. Dalam hal ini, sama dengan asuransi
solvabilitas (pasal 280 KUHD) yang juga bukan asuransi rangkap. Jadi, tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 252 KUHD. Perbuatan yang dilarang oleh Pasal 252 KUHD adalah
mengadakan asuransi kedua (asuransi rangkap) untuk waktu yang sama dan terhadap
bahaya yang sama atas benda yang sudah diasuransikan dengan nilai penuh, dengan
ancaman asuransi kedua itu batal. Pihak yang mengasuransikan itu justru
tertanggung sendiri. Berbeda dengan reasuransi, yang mengasuransikan ulang itu
justru penanggung sendiri atas kepentingannya, yaitu tanggung jawab penanggung
dalam asuransi pertama.
Persamaan antara asuransi solvabilitas
dan reasuransi (asuransi ulang) adalah kedua-duanya bukan asuransi rangkap yang
dilarang, jadi tidak bertentangan dengn Pasal 252 KUHD. Akan tetapi, antara
kedua asuransi tersebut terdapat perbedaan yaitu :
a.
Dalam asuransi
solvabilitas, yang mengasuransikan lagi adalah tertanggung, sedangkan dalam
reasuransi (asuransi ulang) yang mengasuransikan lagi adalah penanggung.
b.
Dalam asuransi
solvabilitas, kepentingannya adalah ketidakmampuan penanggung terdahulu,
sedangkan dalam reasuransi (asuransi ulang) kepentingannya adalah tanggung
jawab penanggung.
2.
Reasuransi Meringankan Beban Penanggung
Reasuransi (asuransi ulang) bertujuan
untuk memungkinkan penanggung membayar klaim kepada tertanggung dalam hal
terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian, sedangkan penanggung khawatir jika
dia tidak mampu membayar klaim tersebut. Oleh karena itulah, dia
mengasuransikan ulang apa yang telah menjadi tanggungannya. Akan tetapi,
reasuransi itu terbatas hanya 1 (satu) kali, sehingga tidak bertentangan dengan
asas keseimbangan. Jadi, reasuransi itu sebenarnya untuk meringankan beban
penanggung.
Dalam reasuransi, pihak penanggung dapat
mengasuransikan kepentinganya (tanggung jawabnya) itu untuk sebagian atau
seluruhnya. Dengan mengadakan reasuransi itu, kedudukan penanggung bertambah
kuat karena ada pihak lain, yaitu penanggung ulang (reinsurer) yang mendukung penanggung bahwa kerugian tertanggung
pasti dapat dibayar jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian. Biasanya
jumlah asuransi yang didukung oleh reasuransi selalu dalam jumlah besar yang
jika ditutup oleh penanggung sebagian atau seluruhnya dialihkan kepada
penanggung ulang. Jadi, kedudukan penanggung adalah sebagian penyebab risiko
kepada penanggung ulang.
Contohnya pada tanggal 1 Januari 1998
pemilik kapal menasuransikan kapalnya yang bernilai Rp 20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) terhadap bahaya-bahaya laut pada Perusahaan Asuransi ALS
dengan jumlah Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas rupiah). Karena merasa berat
atas tanggung jawabnya. Perusahaan Asuransi ALS mereasuransikan kapal tersebut
pada Perusahaan Reasuransi ALK pada tanggal 15 Januari 1998 dengan jumlah Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pada tanggal 30 Januari 1998 kapal tersebut menabrak karang sehingga rusak
berat dan akhirnya tenggelam. Pemilik kapal (tertanggung) mengajukan klaim
kepada penanggung ALS sejumlah Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Karena direasuransikan ALS mengajukan klaim kepada penanggung ulang ALK
sejumlah Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Dengan reasuransi,
keberatan penanggung ALS dapat diatasi oleh penanggung ulang ALK, sehingga
penanggung ALS hanya membayar kerugian sisanya, yaitu Rp 15.000.000.000,00 - Rp
10.000.000.000,00 = Rp 5.000.000.000,00.
3.
Reasuransi Penyalur dan Penyebar Risiko
Dalam hal penanggung ALS mereasuransikan
kepada penanggung ulang ALK dengan jumlah Rp 15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah), maka jika terjadi evenemen menimbulkan total (total loss) seperti diuraikan sebelumnya,
penanggung ulang ALK akan membayar jumlah kerugian seluruhnya kepada penanggung
ALS, yang kemudian meneruskan pembayarannya kepada tertanggung. Dalam hal ini,
kedudukan penanggung seolah-olah sebagai penyalur risiko (risk channel) kepada penanggung ulang. Akan tetapi, dalam pengajuan
klaim, tertanggung tidak dapat mengajukannya langsung kepada penanggung ulang
karena dia bukan pihak dalam reasuransi. Pihak yang berhak mengklaim penanggung
ulang adalah penanggung yang berposisi sebagai tertanggung dalam reasuransi.
Seperti telah diuarikan sebelumnya,
reasuransi dapat diadakan untuk jumlah penuh atau untuk sebagian. Apabila
diadakan untuk jumlah penuh, reasuransi hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Akan tetapi, jika diadakan untuk sebagian, reasuransi dapat dilakukan lagi
untuk jumlah sisanya. Dengan cara demikian, penanggung melakukan penyebaran
risiko (risk distribution) kepada
beberapa penanggung ulang, sehingga dia merasa sangat aman terhadap tanggung
jawabnya. Selain itu, penanggung mengatur penyebaran risiko tersebut kepada
beberapa penanggung ulang, sebagai upaya pengembangan reasuransi.
Reasuransi memberikan manfaat yang
sangat berharga kepada tertanggung dan penanggung. Bagi tertanggung, reasuransi
merupakan jaminan terhadap kepentingan atas benda asuransi bahwa tertanggung tidak
akan dirugikan oleh ketidakmampuan penanggung membayar klaim. Bagi penanggung,
reasuransi memberikan manfaat bahwa penanggung tidak akan kehilangan nama baik
karena ketidakmampuan membayar kerugian kepada tertanggung, sebab ada
penanggung ulang yang akan mengatasinya. Reasuransi memberikan kepastian kepada
tertanggung mengenai kemampuan penanggung membayar klaim.
Di Indonesia usaha reasuransi sudah mulai
berkembang sejak tahun 1965. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
1965 tanggal 24 Desember 1965 yang mulai berlaku sejak 27 Desember 1965
didirikanlah Perusahaan Reasuransi dengan nama Perusahaan Negara asuransi Umum
Indonesia. Perusahaan ini bergerak di bidang usaha reasuransi dan menjadi
perantara dalam segala macam reasuransi. Dalam operasinya Reasuransi Umum
Indonesia bekerja sama dengan Perusahaan
Asuransi Kerugian dalam dan luar negeri. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
dinyatakan bahwa Perusahaan Asuransi kerugian hanya dapat menyelenggarakan
usaha dalam bidang asuransi kerugian termasuk reasuransi. Perusahaan Reasuransi
hanya dapat menyelenggarakan usaha reasuransi (asuransi ulang).
4. Polis Reasuransi
Sebagai asuransi yang berdiri sendiri,
reasuransi juga dibuat secara tertulis dalam akta yang disebut polis. Pada
dasarnya isi polis reasuransi sama dengan isi polis asuransi. Syarat-syarat dan
klausula-klausula yang terdapat dalam polis asuransi terdapat juga dalam polis
reasuransi. Jadi 2 (dua) polis itu seolah-olah bersambung satu sama lain.
Kerugian yang wajib diganti oleh penanggung wajib juga diganti oleh penanggung
ulang baik untuk seluruhnya maupun untuk sebgian saja.
Ada sedikit perbedaan antara polis
asuransi dengan polis reasuransi. Dalam polis reasuransi selalu terdapat
klausula pada pembukaan polis yang berbunyi :
“Being reinsurance subject to the same
clauses and condition as the original policy and to pay as may be paid thereon”.
Menurut J.E. Kaihatu, klausula ini menunjukkan
seolah-olah kedua polis itu bersambung. Syarat-syarat dan janji-janji yang
terdapat dalam polis asuransi berlaku juga pada reasuransi. Apabila penanggung
berkewajiban membayar ganti kerugian, maka penanggung ulang juga berkewajiban
membayar ganti kerugian. Perubahan syarat-syarat dan janji-janji dalam polis
asuransi harus mendapat persetujuan dari penanggung ualng yang mengakibatkan
perubahan pula syarat-syarat dan janji-janji dalam polis reasuransi. Jika
perubahan itu tidak diketahui oleh penanggung ulang, dapat mengakibatkan
reasuransi itu batal atau dibatalkan.
Sampai berapa besar jumlah risiko yang
ditanggung oleh penanggung akan ditanggung oleh penanggung ulang, bergantung
pada perjanjian yang diadakan antara mereka. Dalam polis selalu digunakan
klausula to pay as may be paid artinya
penanggung ulang hanya berkewajiban mengganti kerugian apabila penanggung
menurut hukum berkewajiban mengganti kerugian. Konsekuensinya adalah jika
penanggung pailit, sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian sebgian atau
seluruhnya, apakah penanggung ulang juga tidak berkewajiban membayar ganti
kerugian?
Berdasarkan klausula to pay as may be paid, penanggung ulang
tidak berkewajiban membayar ganti kerugian. Ini adalah interpretasi keliru,
klausula tersebut berkonotasi positif bukan negative. Justru diadakan
reasuransi agar kemampuan membayar ganti kerugian oleh penanggung tidak
terhalang, sebab ada penanggung ulang. Oleh karena itu, penanggung ulang wajib
membayar ganti kerugian menurut perjanjian.
C.
LATIHAN PENYELESAIAN KASUS ASURANSI
Bondan pemilik sebuah rumah yang
bernilai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) mengasuransikan rumahnya
terhadap bahaya kebakaran pada Perusahaan Asuransi PKB dengan jumlah asuransi
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) pada tanggal 20 Maret 1998. Kemudian,
pada tanggal 31 Mei 1998, Bondan menyewakan rumahnya itu kepada Kartono dengan
pembayaran sewa secara bulanan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) tiap bulan.
Pada tanggal 2 Juni 1998 Kartono mengasuransikan rumah sewaan itu terhadap
bahaya kebakaran pada Perusahaan Asuransi PKC dengan nilai Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Pada tanggal 20 Agustus 1998 Bondan pemiliknya menjual
rumahnya itu kepada Samin dengan harga Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) di hadapan notaries. Pembayaran dilakukan dengan tunai dan
sekaligus penyerahan akta jual beli kepada pemilik diasuransikan pula terhadap
bahaya yang sama pada Perusahaan Asuransi PKD dengan nilai Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) pada tanggal 29 Agustus 1998. Malang bagi Samin, pada
tanggal 5 November 1998 rumah tersebut terbakar dan menimbulkan kerugian Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Berdasarkan perhitungan tim
ahli, jumlah kerugian tersebut meliputi 60% (enam puluh persen) dari nilai
rumah sesungguhnya. Biaya tim ahli dibayar oleh kedua pihak masing-masing
separonya, dengan ketentuan biaya ini dibayar lebih dahulu oleh penanggung
masing-masing dengan perbandingan jumlah asuransinya. Biaya tim ahli 1% (satu
persen) dari nilai benda sesungguhnya.
Pertanyaan
1.
Ada berapa
asuransi yang terjadi dalam kasus ini dengan uraian singkat?
2.
Siapa-siapa yang
menajukan klaim ganti kerugian dalam asuransi tersebut?
3.
Berhakkah
Kartono mendapat ganti kerugian dari penanggungnya?
4.
Tentukan berapa
nilai benda asuransi sesungguhnya!
5.
Berapa jumlah
ganti kerugian yang dapat diklaim oleh tertanggung Samin terhadap
penanggung-penanggungnya?
Referensi analisis, bacalah ketentuan
Pasal 250, Pasal 263, dan Pasal 277 KUHD, serta pasal-pasal lain yang
diperlukan!
Cara
Penyelesaiannya
1.
Asuransi dalam
kasus tersebut ada 3 (tiga), yaitu :
a.
Asuransi yang
dibaut oleh Bondan pada Perusahaan Asuransi PKB tanggal 20 Maret 1998 dengan
jumlah asuransi Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b.
Asuransi yang
dibuat Kartono pada perusahaan Asuransi PKC tanggal 2 Juni 1998 dengan jumlah
asuransi Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
c.
Asuransi yang
dibuat oleh Sarmin pada Perusahaan Asuransi PKD tanggal 29 Agustus 1998 dengan
jumlah asuransi Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2.
Pihak yang
berhak mengajukan klaim adalah :
a.
Samin mengklaim
penanggung PKB berdasarkan asuransi 20 Maret 1998 (Pasal 263 KUHD) Karena
peralihan.
b.
Samin mengklaim
penanggug PKD berdasarkan asuransi 29 Agustus 1998 (asuransi baru).
c.
Samin mengklaim
penanggug PKC berdasarkan asuransi 1 Juni 1998, dengan kepentingan hak sewa.
3.
Kartono berhak
mengklaim penanggung PKC karena :
a.
Dia adalah pihak
dalam asuransi.
b.
Penanggung PKC
wajib membayar klaim karena Kartono mempunyai kepentingan hak sewa (Pasal 250
KUHD).
4.
Jumlah nilai
benda asuransi (harga rumah) sesungguhnya adalah 100/60 x Rp 150.000.000,00 =
Rp 250.000.000,00
5.
Yang dapat
diklaim oleh Samin kepada penanggung PKB :
a.
Nilai benda
asuransi
= Rp 250.000.000,00.
b.
Jumlah Asuransi = Rp
200.000.000,00
c.
Jumlah kerugian
yang timbul = Rp
150.000.000,00
d.
Ganti kerugian
200/250
x Rp 150.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
e.
Biaya tim ahli
½
% x Rp 250.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
f.
Diterima oleh
Samin = Rp 118.750.000,00
6.
Yang dapat diklaim
oleh Samin kepada penanggung PKD :
a.
Nilai benda
asuransi =
Rp 250.000.000,00
b.
Jumlah asuransi
(sisanya) = Rp 50.000.000,00
c.
Ganti kerugian
50/250
x Rp 150.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
d.
Biaya tim ahli
½
% x Rp 250.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
e.
Diterima oleh
Samin = Rp
28.750.000,00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar