BAB IV
OBJEK ASURANSI
A.
BENDA ASURANSI
1.
Benda Asuransi dan Teori Kepentingan
Benda asuransi adalah benda yang menjadi objek
perjanjian asuransi (object of insurance).
Benda asuransi adalah harta kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi, yang dapat
dihargai dengan sejumlah uang. Benda asuransi selalu berwujud, misalnya gedung
pertokoan, rumah, kapal. Benda asuransi selalu diancam oleh bahaya atau
peristiwa yang terjadinya itu tidak pasti. Ancaman bahaya itu mungkin terjadi
mengakibatkan benda asuransi dapat rusak, hilang, musnah atau berkurang
nilainya.
Benda asuransi erat hubungannya dengan teori
kepentingan (interest theory) yang
secara umum dikenal dalam hukum asuransi. Menurut teori kepentingan, pada benda
asuransi melekat hak subjektif yang tidak berwujud. Karena benda asuransi dapat
rusak, hilang, musnah, atau berkurang nilainya, maka hak subjektif juga dapat
rusak, hilang, musnah atau berkurang nilainya. Dalam literatur hukum asuransi,
hak subjektif ini disebut kepentingan (interest).
Kepentingan itu sifatnya absolut, artinya harus ada pada setiap objek asuransi
dan mengikuti ke mana saja benda asuransi itu berada. Kepentingan itu harus
sudah ada pada benda asuransi pada saat asuransi diadakan atau setidak-tidaknya
pada saat terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (evenemen).
Keunggulan teori kepentingan (interest theory) adalah sebagai upaya pencegahan terjadinya
perbuatan memperkaya diri tanpa hak dengan mengharapkan memperoleh ganti
kerugian dari penanggung dalam hal terjadi evenemen melalui asuransi tanpa
kepentingan. Dalam hal ini penanggug dilindungi dari perbuatan spekulatif pihak
yang tidak jujur. Akan tetapi, kelemahannya adalah tertanggung yang beritikad
baik dirugikan oleh kebatalan asuransi akibat terlambatnya kuasa tertulis dari
pemilik barang, sedangkan evenemen terjadi mendahului kuasa tertulis tersebut.
Tidak adanya kepentingan tertanggung pada benda
asuransi dapat menimbulkan akibat hukum bahwa tertanggung tidak berhak menurut
ganti kerugian dalam hal terjadi evenemen walaupun tertanggung telah membayar
premi kepada penanggung. Tertanggung yang tidak berkepentingan, yang menerima
pembayaran ganti kerugian akibat evenemen sama saja dengan memperkaya diri
tanpa hak, yang bertentangan dengan asas hukum yang sangat dijunjung tinggi
dalam hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, setiap asuransi yang diadakan oleh
tertanggung yang tidak berkepentingan dianggap tidak pernah ada (no interest no insurance). Bagaimana
dengan halnya premi yang sudah dibayar kepada penanggung, apakah dapt dituntut
pengembaliannya? Premi yang sudah dibayar dianggap sebagai kerugian bagi
tertanggung yang tidak jujur, sehingga tidak dapat dituntut pengembaliannya.
Benda asuransi adalah harta kekayaan. Karena
kepetingan itu melekat pada benda asuransi, maka kepentingan juga adalah harta
kekayaan. Sebagai harta kekayaan, kepentingan memilliki unsur-unsur bersifat
ekonomi. Menurut ketentuan Pasal 268 KUHD, asuransi dapat mengenai segala macam
kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, diancam oleh bahaya dan tidak
dikecualikan oleh undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat
ditentukan kriteria kepentingan, yaitu :
a.
Harus ada pada
setiap asuransi (Pasal 250 KUHD);
b.
Harus dapat
dinilai dengan uang;
c.
Harus diancam
oleh bahaya;
d.
Harus tidak
dikecualikan dengan undang-undang;
Tidak dikecualikan dengan undang-undang artinya
tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum/kesusilaan. Bagi tertanggung yang sudah memiliki benda asuransi,
kepentingannya melekat pada benda asuransinya. Dalam hal ini benda asuransi dan
kepentingan berada dalam 1(satu) tangan. Akan tetapi, mungkin juga terjadi
bahwa benda asuransi dan kepentingan itu tidak berada dalam 1 (satu) tangan,
tetapi terpisah. Benda asuransi berada dalam tangan pemiliknya, sedangkan
kepentingan berada dalam tangan orang lain, misalnya pemegang jaminan, penyewa
kapal, ataupun pemakai rumah.
Pemegang jaminan mengasuransikan gedung pertokoan
yang menjadi jaminan kredit terhadap bahaya kebakaran, agar kepentingannya atas
gedung pertokoan itu tidak musnah atau berkurang nilainya karena kebakaran.
Disini benda asuransi adalah hak jaminan atas gedung berada ditangan pemegang
jaminan, yaitu pemberi kredit. Jika gedung pertokoan itu terbakar, kepentingan
tertanggung selaku pemegang jaminan dapat musnah atau berkurang nilainya.
Penyewa kapal mengasuransikan kapal yang disewanya
terhadap bahaya laut agar kepentingannya yang melekat pada kapal itu tidak
lenyap atau hilang karena karam atau disita oleh penguasa Negara lain. Disini
benda asuransi adalah kapal berada di tangan pemilik kapal, sedangkan
kepentingan adalah hak sewa atas kapal berada di tangan penyewa kapal. Jika
kapal itu lenyap atau hilang.
Objek asuransi yang telah diuraikan ini meliputi
objek asuransi kerugian. Selain itu, ada juga objek asuransi jumlah, misalnya
pada asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan. Objek asuransi jumlah bukan benda,
melainkan jiwa atau raga manusia yang terancam peristiwa yang menjadi sebab
kematian atau kecelakaan. Objek asuransi jumlah tidak dapat di nilai dengan
uang, tetapi sejumlah uang dapat dijadikan ukuran pembayaran santunan jika
terjadi peristiwa yang menjadi sebab kematian atau kecelakaan. Penetapan
sejumlah uang sebagai santunan hanya untuk tujuan praktis, yaitu memudahkan
perhitungan pembayaran santunan yang jumlahnya sudah ditetapkan dalam
perjanjian atau undang-undang.
2.
Pengaturan Kepentingan dalam KUHD
a.
Kepentingan selalu pada benda asuransi
Dalam setiap asuransi, kepentingan itu harus ada.
Jika tidak ada kepentingan atas benda yang diasuransikan, penanggung tidak diwajibkan
membayar klaim ganti kerugian (Pasal 250 KUHD). Ini berarti jika tidak ada
kepentingan, tidak ada pula asuransi. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian, tida ada klaim ganti kerugian bagi tertanggung yang tidak
berkepentingan. Jadi, kepentingan itu merupakan syarat mutlak dalam setiap
asuransi.
Dalam suatu asuransi, jika benda yang di asuransikan
lenyap atau rusak, tertanggung yang berkepentingan akan mendapat ganti kerugian
dari penanggung. Akan tetapi, hak itu hanya sampai pada jumlah nilai
kepentingannya. Bagi pemegang jaminan hanya berhak sampai pada jumlah nilai
piutangnya. Jumlah selebihnya yang masih ada tetap menjadi hak pemilik enda
asuransi. Dalam asuransi kerugian, kepentingan harus dapat dinilai dengan uang
(Pasal 268 KUHD). Jadi, dapat ditentukan berapa besarnya jumlah yang
diasuransikan. Hal ini penting untuk menentukan berapa jumlah premi yang harus
dibayar oleh tertanggung, berapa ganti kerugian yang harus dibayar oleh
penanggung jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian.
Bagaimana dengan asuransi jumlah yang objek asuransinya
tidak dapat dinilai dengan uang? Apa yang dijadikan ukuran untuk menentukan
jumlah asuransi, jumlah premi yang dibayar oleh tertanggung, dan jumlah
santunan yang wajib dibayar oleh penanggung jika terjadi peristiwa penyebab
kematian atau kecelakaan? Sejumlah uang selalu dijadikan ukurang yang dianggap
pantas/layak/patut menurut berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh
peristiwa, misalnya kematian lebih berat daripada kecelakaan biasa, cacat
seumur hidup lebih berat daripada cacat yang dapat disembuhkan. Penentuan
ukuran sejumlah uang diperjanjikan antara tertanggung dan penanggung dan
menurut tabel yang ditetapkan oleh undang-undang.
b.
Asuransi mengikuti kepentingan
Apabila benda asuransi berpindah kepada
pihak lain, misalnya karena dijual, maka asuransi mengikuti kepentingan yang
melekat pada benda asuransi itu. Segala hak dan kewajiban tertanggung lama
berpindah kepada tertanggung baru, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya antara
tertanggung lama dan penanggung (Pasal 263 ayat (1) KUHD). Akan tetapi, jika
pembeli atau pemilik baru benda asuransi itu menolak untuk mengoper
asuransinya, sedangkan tertanggung lama masih mempunyai kepentingan terhadap
benda yang diasuransikan, maka asuransi itu tetap berjalan untuk kepentingan
tertanggung lama (Pasal 263 ayat (2) KUHD). Jika tertanggung lama sudah tidak
berkepentingan lagi, maka pemiik baru harus memberitahukan kepada penanggung
untuk menghentikan asuransi itu.
Misalnya, Amat pemilik restoran mengasuransikan
perlengkapan restorannya terhadap bahaya kebakaran pada Perusahaan Asuransi PK.
Kemudian, Amat menjual alat perlengkapan tersebut kepada Bidin dengan
perjanjian pinjam pakai. Hak milik telah diserahkan kepada Bidin, tetapi Bidin
belum membayar harganya. Sebagai jaminan hutangnya itu Bidin menjanjikan kepada
Amat boleh menguasai alat perlengkapan tersebut. Berdasarkan perjanjian pinjam
pakai, Amat masih memerlukan alat perlengkapan itu untuk menjalankan usahanya.
Di samping itu, Amat masih berkepentingan karena dia sebagai pemegang gadai.
Dengan penjualan alat perlengkapan
tersebut kepada Bidin, asuransi mengikuti benda asuransi (kepentingan),
sehingga asuransi berpindah juga kepada Bidin. Sebagai pemilik baru, Bidin
mempunyai hak dan kewajiban selaku tertanggung dalam asuransi itu. Jika Bidin
menolak pengalihan asuransi itu, Amat masih mempunyai kepentingan atas benda
asuransi. Oleh karena itu, asuransi diteruskan berlakunya untuk kepentingan
Amat sebagai pemegang gadai, Amat mempunyai hak dan kewajiban dalam asuransi
itu. Apabila Amat sudah tidak berkepentingan lagi, maka dia harus
memberitahukan hal itu kepada penanggung perusahaan asuransi PK guna
menghentikan asuransi itu.
B.
SAAT KEPENTINGAN HARUS ADA
1.
Ketentuan KUHD
Seperti telah diuraikan sebelumnya,
dalam setiap asuransi harus ada kepentingan atas benda yang diasuransikan.
Persoalannya adalah bila manakah kepentingan itu harus ada ? menurut ketentuan
Pasal 250 KUHD, kepentingan harus sudah ada pada saat diadakan asuransi. Ini
berarti apabila pada saat membuat perjanjian asuransi tertanggung tidak
mempunyai kepentingan, kemudian terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
penanggung tidak berkewajiban mambayar klaim ganti kerugian.
Ketentuan Pasal 250 KUHD selayaknya
ditujukan kepada tertanggung sebagai suatu isyarat bahwa pada waktu mengadakan
asuransi, tertanggung perlu menyatakan dengan tegas dan jelas apa
kepentingannya mengadakan asuransi itu. Dengan adanya kepentingan, sejumlah
premi dapat dibayar, sehingga asuransi berjalan. Jika terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian, tertanggung yang berkepentingan berhak mengklaim
pembayaran ganti kerugian dari penanggung.
Adalah logis bahwa setiap orang yang
mengadakan asuransi itu ada kepentingan, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi
pihak ketiga. Jika tidak mempunyai kepentingan, buat apa mengadakan perjanjian
asuransi dan mengeluarkan uang untuk membayar premi. Bagi mereka yang beritikad
buruk mengadakan asuransi seolah-olah berkepentingan, sudah selayaknya tidak
dilindungi oleh undang-undang. Artinya, penanggung tidak berkewajiban membayar
ganti kerugian jika terjadi peristiwa terhadap benda yang diasuransikan,
walaupun tertanggung yang tidak jujur itu telah membayar premi, asuransi
bukanlah untung-untungan.
Misalnya, tertanggung mengasuransikan
sebuah mobil terhadap bahaya tabrakan dengan harapan jika terjadi tabrakan dia
akan mendapat ganti kerugian. Mobil tersebut milik orang lain yang dipinjam
oleh tertanggung. Akan tetapi, dia mengasuransikan mobil tersebut seolah-olah
miliknya sendiri, padahal dia tidak berkepentingan sama sekali. Kemudian,
terjadi tabrakan yang menimbulkan kerugian. Pihak yang menderita kerugian
adalah pemilik mobil, bukan tertanggung yang meminjam mobil itu. Dalam hal ini
penanggung tidak berkewajiban membayar klaim ganti kerugian menurut Pasal 250
KUHD. Malahan, peminjam mobil itu harus bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pemilik mobil.
Lain halnya jika pemegang mobil itu
adalah orang yang berpiutang dan mobil itu sebagai jaminannya. Pada mobil itu
melekat kepentingannya. Jika mobil bertabrakan, maka kepentingannya akan
berkurang atau lenyap. Jadi, jika dia mengasuransikan mobil tersebut, dia dapat
mengklaim ganti kerugian kepada penanggungnya karena dia mempunyai kepentingan.
2.
Pendapat Para Penulis Hukum
Menurut Dorhout Mees, kepentingan itu
harus sudah ada pada saat terjadi kerugian. Vollmar juga mengatakan bahwa
kepentingan itu harus sudah ada pada saat terjadi peristiwa, sehingga
tertanggung, behak mengklaim ganti kerugian. Jadi, menurut kedua penulis hukum
tersebut, kepentingan tidak perlu harus ada pada saat perjanjian asuransi
dibuat, tetapi pada saat terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Pada saat
itulah muncul kepentingan guna menentukan ada atau tidaknya ganti kerugian. Hal
ini dapat dimaklumi karena pada hakikatnya asuransi itu baru mempunyai arti
bagi tertanggung justru pada saat terjadi peristiwa.
Konkretnya adalah sebagai berikut, Amat
pemilik rumah mengasuransikan rumahnya terhadap bahaya kebakaran, kemudian,
rumah tersebut di jual kepada Bidin. Pada saat perjanjian jual beli, rumah tadi
terbakar habis. Walaupun terjadi jual beli, kepentingan masih ada pada Amat
karena rumah belum diserahkan menurut hukum. Pihak yang berhak mengklaim ganti
kerugian kepada penanggung adalah Amat. Jika rumah telah diserahkan kepada
Bidin, barulah hak milik beralih, sehingga kepentingan juga beralih. Dengan
demikian, Bidin berhak mengklaim ganti kerugian kepada penanggung.
Apabila harga rumah belum dibayar oleh
Bidin kepada Amat, maka Bidin harus membayar kepada Amat apa yang menjadi
haknya dari hasil klaim ganti kerugian itu setelah dikurangi biaya-biaya
sekadar itu telah dibayar oleh Bidin. Inilah yang dimaksud oleh penulis hukum
bahwa kepentingan harus sudah ada pada saat terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian. Sehubungan dengan contoh tadi, perhatikan juga ketentuan Pasal 263
KUHD (asuransi mengikuti kepentingan).
Dalam praktiknya tidak akan menimbulkan
kesulitan dalam soal penentuan kapan adanya kepentingn karena segala sesuatunya
sudah diatur oleh penanggung dan sudah ditentukan dalam polis. Oleh karena itu,
bergantung pada tertanggung mau atau tidak mengadakan asuransi dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penanggung.
Saat adanya kepentingan seperti
ditentukan dalam pasal 250 KUHD, mempunyai fungsi yang jelas dalam hal
kepentingan itu tidak beralih kepada pihak lain, jadi tertanggungnya tidak
berganti. Akan tetapi, jika tertanggung berganti, kepentingan beralih kepada
tertanggung baru. Segala hak dan kewajiban tertanggung lama beralih kepada
tertanggung baru, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya oleh tertanggung lama
dan penanggung (Pasal 263 KUHD).
3.
Hukum Asuransi di Inggris
Berbeda dengan ketentuan Pasal 250 KUHD adalah
ketentuan Pasal g Marine Insurance Act 1906 di Inggris. Menurut ketentuan pasal
tersebut :
1.
The
assured must be interested in the subject matter insured at the time of the
loss though he needs not be interested when the insurance is effected.
2.
When
the assured has no interest at the time of the loss, he can not acquire
interest by any act or action after he is aware of the loss.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dipahami
bahwa hukum asuransi di inggris mengakui adanya kepentingan itu pada saat
timbulnya kerugian karena peristiwa (at
the time of the loss). Jika tidak ada kepentingan pada saat timbul kerugian
karena peristiwa, tertanggung tidak berhak mengklaim dengan cara apapun,
setelah timbul kerugian itu. Akan
tetapi, Pasal 250 KUHD menentukan bahwa kepentingan harus sudah ada pada saat
dibuat perjanjian asuransi (at the time
of effecting the contract of insurance). Jika tidak ada kepentingan pada
saat itu, penanggung tidak berkewajiban membayar klaim ganti kerugian setelah
terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian itu (the insurer is not liable for the loss). Dalam praktik asuransi,
para pihak cenderung mengikuti ketentuan seperti di inggris bahwa kepentingan
itu harus sudah ada pada saat terjadi kerugian dengan mencantumkan ketentuan
ini dalam polis.
Sebagai ilustrasi, Amat pemilik kapal menyerahkan penggunaan
kapal kepada Perusahaan Pelayaran JL. Kemudian, perusahaan pelayaran ini
mengasuransikan kapal terseebut terhadap bahaya laut pada Perusahaan Asuransi
MIC, padahal Perusahaan Pelayaran JL tidak mempunyai kepentingan. Jika kapal
itu tenggelam karena bahaya laut, yang rugi adalah Amat pemilik kapal bukan
Perusahaan Pelayaran JL.
Setelah itu, Amat meminjam uang kepada Perusahaan
Pelayaran JL untuk membeli kapal lain dengan jaminan kapal yang telah dipakai
itu. Perusahaan Peayaran JL sebagai pemegang jaminan atas kapal mempunyai
kepentingan. Jika kemudian terjadi peristiwa dan kapal itu tenggelam, menurut
pasa 250 KUHD Perusahaan Pelayaran JL tidak berhak mengklaim ganti kerugian
dari Perusahaan Asuransi MIC. Akan tetapi, menurut Pasal 6 Marine Insurance Act
1906 Perusahaan Pelayaran JL berhak mengkalim ganti kerugian dari penanggung
karena pada saat terjadi kerugian, yaitu tenggelamnya kapal, Perusahaan
Pelayaran JL sudah mempunyai kepentingan sebagai pemegang jaminan.
Ditinjau dari kepentingan praktik asuransi, pasal
250 KUHD memang mempunyai kelemahan. Oleh karena itu, dalam praktiknya Pasal
250 KUHD dapat diinterprestasikan oleh para pihak bahwa kepentingan bukan harus
ada pada saat terjadi asuransi, melainkan harus ada pada saat terjadi peristiwa
yang menimbulkan kerugian. Hal ini harus dinyatakan dengan tegas dalam polis.
C.
JUMLAH YANG DIASURANSIKAN
1.
Jumlah Maksimum
Ganti Kerugian
Jumlah yang diasuransikan (the sum insured) adalah jumlah yang dipakai sebagai ukuran untuk
menentukan jumlah maksimum ganti kerugian yang wajib dibayar oleh penanggung
dalam suatu asuransi kerugian. Jumlah yang diasuransikan erat sekali
hubungannya dengan nilai benda asuransi. Dengan ditentukan jumlah yang
diasuransikan, dapat diketahui apakah asuransi itu di bawah nilai benda
asuransi (full insurance), atau
melebihi nilai benda asuransi (over
insurance). Dengan demikian dapat ditentukan jumlah maksimum ganti kerugian
yang dapat dibayar jika timbul kerugian akibat peristiwa yang menjadi beban
penanggung.
Menurut ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHD, asuransi
yang melebihi jumlah nilai benda atau kepentingan yang sesungguhnya hanya sah
sampai jumlah nilai benda tersebut. Apakah jumlah yang diasuransikan lebih
besar daripada nilai benda sesungguhnya, penanggung hanya bertanggung jawab
membayar klaim ganti kerugian sampai jumlah nilai benda sesungguhnya dalam hal
timbul kerugian total (total loss).
Misalnya, sebuah rumah diasuransikan terhadap bahaya kebakaran dengan jumlah
asuransi RP. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Nilai rumah
sesungguhnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Jika rumah tersebut
terbakar habis, penanggung berkewajiban memenuhi klaim ganti kerugian hanya
sampai jumlah Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Menurut ketentuan Pasal 253 ayat (2) KUHD, apabila
suatu benda tidak diasuransikan dengan nilai penuh, maka jika timbul kerugian,
penanggung hanya diwajibkan memenuhi klaim ganti kerugian menurut perbandingan
antara bagian yang diasuransikan dan bagian yang tidak diasuransikan. Misalnya,
sebuah rumah diasuransikan terhadap bahaya kebakaran sejumlah Rp. 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah). Nilai jumlah sesungguhnya Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Kemudian, terjadi kebakaran yang menimbulkan kerugian
Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Perbandingan antara jumlah yang
diasuransikan dan jumlah yang tidak diasuransikan adalah 8:2 jumlah
perbandingan adalah 10. Jumlah klaim ganti kerugian yang dipenuhi oleh
penanggung adalah 8/10x Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)= Rp.
48.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Akan tetapi, jika rumah itu terbakar
habis, maka klaim ganti kerugian maksimum yang dapat dipenuhi oleh penanggung
hanya Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) sebab jumlah yang
diasuransikan itu adalah jumlah maksimum ganti kerugian yang dapat dibayar oleh
penanggung.
2.
Penyimpangan
dengan Premier Risque
Ketentuan Pasal 253 ayat (2) KUHD masih dapat
disimpangi oleh pihak-pihak, asalkan diperjanjikan dengan tegas dalam polis
tanpa memperhatikan asas keseimbangan, kerugian yang menimpa benda asuransi itu
akan diganti sepenuhnya sampai jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat
(3)KUHD). Ini berarti jika dalam contoh di atas kerugian yang timbul berjumlah
Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), penanggung akan membayar jumlah Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) itu. Apabila kerugian yang timbul
berjumlah Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Klausula yang demikian
ini disebut premier risqué dan harus
dinyatakan dengan tegas dalam polis.
Klausula premier risqué ini dimungkinkan karena sulit menentukan batas-batas nilai
penuh kepentingan dalam jenis asuransi itu. Dengan demikian, sulit pula
menentukan batas-batas risiko seluruhnya. Klausula ini bisa diadakan dalam
asuransi terhadap bahaya yang jarang menimbulkan kerugian total benda asuransi,
melainkan hanya sebagian saja.
3.
Asuransi di
Bawah Nilai Benda
Asuransi yang terjadi adalah yang tidak dalam jumlah
penuh, artinya jumlah yang diasuransikan selalu di bawah nilai benda asuransi
sesungguhnya. Hal ini ada keuntungannya bagi penanggung, yaitu tertanggung
masih diharapkan mempunyai sikap berhati-hati menjaga keselamatan benda yang
diasuransikan itu karena sebagian dari benda asuransi masih menjadi
tanggungannya sendiri.
Akan tetapi, jika diasuransikan dalam jumlah penuh,
artinya jumlah yang diasuransikan itu meliputi seluruh nilai benda sesungguhnya
(full insurance), ada kecenderungan
bahwa tertanggung kurang berhati-hati menjaga keselamatan benda asuransi dari
ancaman bahaya. Alasan yang dikemukakan oleh Prof. Emmy Simanjuntak adalah
tertanggung beranggapan bahwa jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
toh ada yang akan membayar ganti kerugian kepadanya.
Namun, menurut saya (penulis), perusahaan asuransi
kerugian dapat mempertimbangkan benda apa yang disetujui untuk diadakan
asuransi dengan nilai penuh dan yang tidak dengan nilai penuh. Sekiranya suatu
benda diasuransikan dengan nilai penuh, perusahaan asuransi kerugian mengukur
kemampuannya dan untuk mengatasi ketidakmampuannya itu, dia dapat pula berhubungan dengan perusahaan reasuransi.
Di Indonesia, pada asuransi yang diadakan untuk
suatu jangka waktu tertentu atau menurut perjalanan, jumlah yang diasuransikan
itu adalah jumlah maksimum ganti kerugian yang dapat dibayar oleh penanggung
untuk seluruh jangka waktu asuransi atau untuk 1 (satu) perjalanan. Akan
tetapi, di inggris lain lagi, jumlah yang diasuransikan itu bukan sebagai
jumlah maksimum ganti kerugian. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan itu
ada beberapa kali terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, semua kerugian
itu diganti oleh penanggung meskipun jumlahnya mungkin melebihi jumlah yang
diasuransikan.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 77 ayat (1) Marine
insurance Act 1906 sebagai berikut :
“Unless the policy otherwise provides and
subject to the provisions of this Act, the insurer is liable for successive
losses even though the total amount of such losses may exceed the sum insured.”
Apabila tertanggung dan penanggung memperjanjikan
lain dan hal itu harus dinyatakan dalam polis, maka jumlah ganti kerugian itu
dapat dibatasi sampai dengan jumlah yang dipertanggungkan. Inilah yang dimaksud
dengan kalimat Unless the policy
otherwise provides dalam ketentuan tersebut tadi.
D.
NILAI BENDA ASURANSI
1.
Pencantuman Nilai Benda dalam Polis
Dalam ketentuan Pasal 256 KUHD yang mengatur tentang
isi polis tidak terdapat butir ketentuan mengenai nilai benda asuransi, yang
dicantumkan adalah butir mengenai yang diasuransikan. Mungkin dalam butir
tersebut tercakup juga penilaian benda yang diasuransikan. Pasal 273 KUHD
mengatur tentang nilai benda asuransi yang tidak dinyatakan dalam polis. Pasa
274 KUHD mengatur tentang nilai benda asuransi yang dinyatakan dalam polis.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada
keharusan pencantuman nilai benda asuransi pada waktu mengadakan asuransi.
Nilai benda asuransi dinyatakan atau tidak dalam polis tidak menjadi persoalan.
Tidak ada keharusan pencantuman nilai benda asuransi
dalam polis diperkuat oleh alasan yang dinyatakan dalam Pasal 274 KUHD,
walaupun nilai benda asuransi dicantumkan dalam polis penanggung dapat
mengajukan alasan untuk tidak menyetujui nilai benda asuransi apabila menurut
dugaannya nilai tersebut terlalu tinggi. Di samping itu, mungkin juga terjadi
bahwa nilai benda asuransi pada saat terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian itu.
Apabila pada waktu mengadakan asuransi, nilai benda
asuransi belum dinyatakan dalam polis, maka jika terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian, tertanggung memberitahukan kepada penanggungnya besar
nilai benda asuransi itu dengan menggunakan segala macam alat bukti (Pasal 273
KUHD). Alat-alat bukti tersebut digunakan untuk meyakinkan penanggung bahwa
nilai benda asuransi itu benar dan layak. Polis yang tidak mencantumkan nilai
benda asuransi disebut polis terbuka (open
policy).
Pada waktu mengadakan asuransi, tertanggung dan
penanggung mengadakan kesepakatan tentang nilai benda asuransi dengan
memperhatikan keadaan, sifat, dan tujuan benda itu. Apabila sudah ada
kesepakatan, maka nilai benda asuransi itu dicantumkan dalam polis, sehingga
terdapat nilai benda yang tetap. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian, nilai benda yang dicantumkan itulah dijadikan dasar perhitungan ganti
kerugian. Polis yang membuat nilai benda asuransi disebut polis bernilai (valued policy).
2.
Pengertian Nilai Benda Asuransi
Persoalan penting adalah pengertian nilai benda
asuransi karena nilai itu dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu bergantung
pada sifat dan keadaan benda tersebut. Benda tetap seperti rumah dan tanah,
nilainya tidak akan banyak mengalami perubahan, bahkan mungkin tetap atau
meningkat. Benda yang mudah susut, rusak, atau busuk; seperti gas, hasil
pertanian, dan buah-buahan yang sudah masak akan mengalami perubahan nilai atau
penyusutan, sehingga nilai pada waktu diasuransikan akan menjadi berbeda dengan
nilai pada waktu terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian.
Demikian juga apabila nilai benda tersebut
dihubungankan dengan tujuan penggunaannya, misalnya benda itu diperdagangkan
atau untuk dipakai sendiri, seperti mobil, perlengkapan rumah tangga, atau
semen untuk bangunan. Nilai benda tersebut dapat berubah dan berbeda antara
nilai pada waktu dibeli dan pada waktu dijual lagi. Dengan kata lain, nilai
benda pada waktu diadakan asuransi berbeda dengan nilai benda pada waktu
terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian itu. Benda yang tidak
diperdagangkan, misalnya benda sejarah atau
benda pusaka, mungkin tidak mengalami perubahan nilai, baik pada waktu diadakan
asuransi maupun pada waktu terjadi peristiwa yang merugikan itu.
Apabila benda asuransi itu mengalami kerusakan
ataupun kehancuran akibat peristiwa terhadap mana benda itu diasuransikan,
nilai yang manakah yang dijadikan dasar perhitungan ganti kerugian, apakah
nilai benda pada waktu diadakan asuransi atau nilai benda pada waktu terjadi
peristiwa yang merugikan itu? Jika berpedoman pada tujuan asuransi yaitu untuk
memberikan ganti kerugian yang sungguh-sungguh dialami oleh tertanggung, maka
wajarlah apabila nilai benda yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai
benda pada waktu terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian itu.
Karena yang djadikan dasar perhitungan adalah nilai
pada waktu terjadi peristiwa, maka nilai yang dipakai sebagai nilai benda
asuransi adalah nilai penjualan, bukan nilai pembelian jika benda itu benda
perdagangan. Jika benda asuransi itu benda untuk dipakai sendiri atau bukan
benda perdagangan, maka benda yang dijadikan nilai benda asuransi adalah nilai
tukarnya. Scheltema juga menekankan pada nilai penjualan (sale price) jika benda asuransi itu benda perdagangan dan nilai
penggantian atau nilai tukar (substitution
price).
Dalam asuransi laut ada beberapa pasal yang mengatur
nilai benda asuransi, yaitu Pasal 612, Pasal 613, dan pasal 619 KUHD. Ketiga
pasal tersebut merumuskan pengertian nilai benda asuransi yang khusus digunakan
dalam asuransi laut.
a.
Pasal 612 KUHD :
nilai benda asuransi adalah nilai benda yang diangkut ditambah biaya-biaya
sampai di kapal pada waktu kapal berangkat dari pelabuhan embarkasi.
b.
Pasal 613 KUHD:
nilai benda asuransi adalah nilai benda sesungguhnya ditambah biaya angkutan,
bea masuk dan lain-lain apabila benda tersebut tiba dengan selamat di pelabuhan
tujuan asalkan dicantumkan dalam polis. Akan tetapi, menurut Pasal 614 KUHD
biaya-biaya tambahan itu gugur (tidak mengikat) jika benda tersebut tidak
sampai di pelabuhan tujuan.
c.
Pasal 619 KUHD:
nilai benda asuransi adalah nilai benda kapal (hull) yang telah ditetapkan dalam polis. Akan tetapi, dapat
diadakan penaksiran lagi jika menurut para ahli nilai badan kapal itu telah
berkurang pada waktu terjadi peristiwa berdasarkan penetapan pengadilan.
3.
Taksiran
Pihak-pihak
Pada
waktu mengadakan asuransi, pihak-pihak dapat melakukan penaksiran terhadap
nilai benda asuransi. Nilai taksiran itu ditetapkan dalam polis. Jika terjadi
peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka nilai yang tercantum dalam polis
itulah yang dijadikan dasar perhitungan ganti kerugian. Akan tetapi, mungkin
juga bahwa taksiran nilai benda yang telah disepakati itu melebihi nilai
sesungguhnya ketika memperhitungkan ganti kerugian setelah terjadi peristiwa.
Apabila terjadi hal yang demikian ini, menurut pasal 274 KUHD penanggung dapat
mengajukan keberatan dengan mengemukakan alasan-alasannya bahwa nilai benda
asuransi terlalu tinggi.
Hakim
berwenang untuk memerintahkan tertanggung supaya membuktikan bahwa nilai benda
yang dicantumkan dalam polis itu adalah benar dan layak. Dengan demikian, nilai
taksiran yang telah ditetapkan dalam polis dianggap sebagai permulaan bukti
tertulis. Menurut ketentuan pasal 274 KUHD, tertanggung dapat diperintahkan
oleh hakim untuk membuktikan bahwa nilai benda yang tercantum dalam polis adalah
layak. Akan tetapi, dalam pasal 273 KUHD dimana nilai benda asuransi tidak
dicantumkan dalam polis, tertanggung harus membuktikan bahwa nilai benda yang
dinyatakan itu adalah benar dan layak dengan menggunakan segala macam alat
bukti. Hal ini dapat dilakukan apabila penanggung menyangkal nilai benda
tersebut.
Berbeda
dengan hukum asuransi Indonesia, adalah hukum asuransi di inggris mengenai
taksiran pihak-pihak tentang nilai benda asuransi. Menurut ketentuan pasal 274
KUHD, penanggung dapat membantah nilai benda yang telah ditetapkan dalam polis.
Akan tetapi, menurut ketentuan pasal 27 ayat (3) Marine Insurance Act 1906,
apabila pihak-pihak telah bersepakat tentang nilai benda asuransi dan telah
dicantumkan dalam polis, maka nilai tersebut mengikat (conclusive). Penanggung tidak dapat membantahnya. Ketentuan pasal
27 ayat (3) tersebut menyatakan:
”Subject
to the provisions of this act and in the absence of fraud, the value fixed by
the policy is, as between the insurer and the assured, conclusive of the
insurable value of the subject intended to be insured, whether the loss be
total or partial”.
4.
Taksiran Para Ahli
Selain dari nilai benda yang ditaksir sendiri oleh
pihak-pihak, adalagi nilai benda yang ditaksir oleh para ahli yang ditunjuk
oleh para pihak itu sendiri. Apabila nilai benda asuransi telah ditetapkan
berdasarkan taksiran para ahli tersebut, maka menurut ketentuan pasal 275 KUHD
penanggung tidak dapat membantahnya, kecuali jika ada penipuan dan hal ini
harus dibuktikan oleh penanggung yang bersangkutan. Taksiran para ahli
dilakukan pada waktu mengadakan asuransi dan dicantumkan dalam polis.
Dalam praktik asuransi di Indonesia, taksiran para
ahli itu tidak bersifat mutlak dan tidak lazim dijalankan. Hal ini dapat
dimaklumi karena taksiran para ahli mengenai nilai benda asuransi sebelum
diadakan asuransi dirasakan sebagai hambatan dan kelambatan yang sulit diatasi,
apalagi dalam persainga dunia usaha perasuransian dewasa ini. Oleh sebab itu,
taksiran pihak-pihak seperti diatur dalam pasal 274 KUHD dipakai sebagai aturan
umum, sedangkan penaksir dan pihak penanggung adalah tenaga ahli.
E.
PREMI ASURANSI
1.
Premi unsur Penting
Dalam pasal 264 KUHD terdapat rumusan :
“dengan mana penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi”.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa
premi adalah salah satu unsur penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban
utama yang wajib dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Dalam hubungan
hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan
tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak
dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi tidak
berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung karena tertanggunglah
pihak yang berkepentingan. Sebagai perjanjian timbal balik, asuransi bersifat
konsensual, artinya sejak terjadi kesepakatan timbullah kewajiban dan hak kedua
belah pihak. Akan tetapi, asuransi baru berjalan jika kewajiban tertanggung
membayar premi telah dipenuhi. Dengan kata lain, risiko atas benda beralih
kepada penanggung sejak premi dibayar oleh tertanggung. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa ada tidaknya asuransi ditentukan oleh pembayaran premi. Premi
merupakan kunci perjanjian asuransi.
Pada asuransi yang diadakan untuk jangka waktu
tertentu, premi di bayar lebih dahulu pada saat asuransi diadakan. Pada
asuransi yang diadakan untuk 1 (satu) perjalanan, premi dapat dibayar pada saat
bahaya sudah mulai berjalan, misalnya pada kapal yang sudah berangkat (pasal
603 KUHD). Akan tetapi, ada asuransi yang diadakan untuk jangka waktu panjang,
misalnya asuransi jiwa, pembayaran premi dapat dilakukan secara periodic, yaitu
setiap awal bulan. Pada asuransi yang demikian ini, jika pada suatu periode
tertentu premi belum dibayar, asuransi berhenti. Setelah premi periode yang
tertunggak itu dibayar, asuransi berjalan lagi. Jika premi tidak dibayar,
mengakibatkan asuransi itu batal.
Untuk mencegah terjadi pembatalan asuransi karena
premi tidak dibayar biasanya pihak-pihak mencantumkan klausula dalam polis yang
menyatakan :”premi harus di bayar muka (pada waktu yang telah ditentukan)”.
Jika premi tidak dibayar pada waktu yang telah ditentukan, asuransi tidak
berjalan. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, penanggung tidak
berkewajiban membayar klaim tertanggung.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami
bahwa premi asuransi merupakan syarat mutlak untuk menentukan perjanjian
asuransi dilaksanakan atau tidak. Criteria premi asuransi adalah sebagai
berikut:
a.
Dalam bentuk
sejumlah uang;
b.
Dibayar lebih
dahulu oleh tertanggung;
c.
Sebagai imbalan
pengalihan risiko;
d.
Dihitung
berdasarkan presentase terhadap nilai risiko yang dialihkan.
Dalam praktik asuransi, penanggung biasanya sudah
menentukan syarat umum pembayaran premi
seperti yang ditetapkan dalam polis. Dalam polis standar asuransi kebakaran
Indonesia syarat umum pembayaran premi ditetapkan sebagai berikut:
1.
Menyimpang dari
pasal 257 KUHD dan tanpa mengurangi ketentuan yang diatur pada ayat (2) di
bawah ini, maka merupakan prasyarat dari tanggung jawab penanggung atas jaminan
asuransi berdasarkan polis ini bahwa setiap premi terhutang harus sudah dibayar
lunas dan secara nyata telah diterima seluruhnya oleh pihak penanggung:
a.
Jangka waktu
pertanggungan tersebut 30 (tiga puluh) hari kalender atau lebih, maka pelunasan
pembayaran premi harus dilakukan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
kalender, dihitung dari tanggal mulai berlakunya polis.
b.
Jika jangka
waktu pertanggungan tersebut kurang dari 30 (tiga puluh) hari kalender,
pelunasan pembayaran premi harus dilakukan dalam tenggang waktu sesuai dengan
jangka waktu pertanggungan yang disebut dalam polis.
2.
Apabila jumlah
premi sebagaimana dimaksud di atas tidak dibayar sesuai dengan cara dalam jangka
waktu yang ditetapkan pada ayat (1) tersebut di atas, polis ini batal dengan
sendirinya terhitung mulai tanggal berakhirnya tenggang waktu tersebut dan
penanggung dibebaskan dari semua tanggung jawab sejak tanggal dimaksud
2, Jumlah Premi
yang Harus Dibayar
Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan
pada perhitungan analisis risiko yang sehat. Besarnya jumlah premi yang harus
dibayar oleh tertanggung ditentukan berdasarkan penilaian risiko yang dipikul
oleh penanggung. Dalam praktiknya penetapan besarnya jumlah premi itu
diperjanjikan oleh tertanggung dan penanggung secara layak dan dicantumkan
dalam polis. Besarnya jumlah premi dihitung sedemikian rupa, sehingga dengan
penerimaan premi dari beberapa tertanggung, penanggung berkemampuan membayar klaim
ganti kerugian kepada tertanggung yang terkena peristiwa yang menimbulkan
kerugian.
Dalam jumlah premi yang harus dibayar oleh
tertanggung juga termasuk biaya yang berkenaan dengan pengadaan asuransi itu.
Rincian yang dapat dikalkulasikan dalam jumlah premi adalah:
a.
Jumlah
presentase dari jumlah yang diasuransikan.
b.
Jumlah
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penanggung, misalnya biaya materai, biaya
polis.
c.
Kurtase untuk
pialang jika asuransi diadakan melalui pialang.
d.
Keuntungan bagi
penanggung dan jumlah cadangan.
Menurut ketentuan pasal 20 Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 199, premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak
berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Tingkat premi dinilai
tidak mencukupi apabila:
a.
Sedemikian
rendah sehingga sangat sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis
asuransi yang bersangkutan;
b.
Penerapan
tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan tingkat solvabilitas
perusahaan;
c.
Penerapan
tingkat premi secara berkelanjutan akan dapat merusak iklim kompetisi yang
sehat.
Tingkat premi dinilai berlebihan apabila sedemikian
tinggi, sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam
polis asuransi yang bersangkutan. Penerapan tingkat premi dinilai bersifat
diskriminatif apabila tertanggung dengan luas pengadaan yang sama serta dengan
jenis dan tingkat risiko yang sama dikenakan tingkat premi yang berbeda.
Premi asuransi dapat dibayarkan langsung oleh
tertanggung kepada perusahaan asuransi atau melalui perusahaan pialang asuransi
untuk kepentingan tertanggung. Dalam hal premi asuransi dibayarkan melalui
perusahaan pialang asuransi, perusahaan ini wajib menyerahkan premi tersebut
kepada perusahaan asuransi sebelum berakhir tenggang waktu pembayaran premi
yang ditetapkan dalam polis asuransi yang bersangkutan. Dalam hal penyerahan
premi oleh perusahaan pialang asuransi dilakukan setelah berakhirnya tenggang
waktu tersebut, perusahaan pialang asuransi yang bersangkutan wajib bertanggung
jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari kerugian yang terjadi dalam jangka
waktu antara habisnya tenggang waktu sampai diserahkannya premi kepada
perusahaan asuransi (pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992).
3.
Premi Restorno
Premi yang telah dibayar oleh tertanggung kepada
penanggung dapat dituntut pengembaliannya, baik untuk seuruhnya maupun untuk
sebagian jika asuransi gugur atau halal, sedangkan tertanggung telah bertindak
dengan itikad baik (in good faith).
Premi yang harus dibayar kembali oleh penanggung disebut premi restorno (Pasal
281 KUHD). Pada premi restorno harus dipenuhi syarat bahwa penanggung tidak
menghadapi bahaya. Pasal 281 KUHD menekankan pada syarat bahwa asuransi gugur
atau batal bukan karena kesalahan tertanggung, bukan karena itikad jahat
tertanggung, melainkan karena penanggung tidak menghadapi bahaya. Sudah
selayaknya premi yang sudah dibayar oleh tertanggung itu dikembalikan oleh
penanggung. Hal ini sesuai dengan asas keseimbangan dan rasa keadilan.
Contoh asuransi yang gugur adalah asuransi
pengangkutan laut. Asuransi diadakan untuk barang yang diangkut, asuransi
menjadi gugur (Pasal 635 KUHD). Dalam hal ini penanggung tidak menghadapi
bahaya. Jika sebagian saja yang tidak jadi diangkut, asuransi itu gugur untuk
sebagian saja karena penanggung hanya menghadapi bahaya sebagian, karena itu
ada premi restorno. Contoh asuransi yang batal adalah ketentuan pasal 282 KUHD,
apabila asuransi batal karena itikad jahat tertanggung, misalnya karena akal
bulus, penipuan, kecurangan, maka dalam hal ini tidak ada premi restorno. Premi
yang telah dibayar tetap menjadi hak penanggung sebagai hukuman bagi
tertanggung yang beritikad jahat bahkan dengan tidak mengurangi pula adanya
tuntutan pidana jika ada alasan untuk itu.
Dalam asuransi pengangkutan laut, premi restorno mendapat
pengaturan secara khusus, yaitu dalam pasal 635, pasal 636, dan pasal 662 KUHD
yang diuraikan berikut ini.
a.
Pasal 635 KUHD
Apabila perjalanan dihentikan sebelum penanggung
menghadapi bahaya, artinya sebelum jangka waktu asuransi mulai berjalan, maka asuransi
gugur. Dalam hal ini, tertanggung tidak usah membayar premi. Akan tetapi,
apabila premi telah dibayar, penanggung harus mengembalikan premi tersebut,
dengan ketentuan penanggung berhak mendapat ganti kerugian (keuntungan bagi
penanggung) ½% (setengah persen) dari jumlah yang diasuransikan. Atau apabila
premi itu kurang dari 1% (satu persen), ganti kerugian itu diberikan separo
dari jumlah premi.
Misalnya, asuransi atas barang yang diangkut melalui
laut diasuransikan dengan jumlah Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Kapal tidak jadi berangkat, dengan demikian asuransi belum berjalan. Pada waktu
asuransi di buat, premi belum di bayar atau sudah dibayar. Dalam hal ini, baik
premi belum dibayar maupun sudah dibayar, penanggung mendapat ganti kerugian ½%
x Rp 400.000.000,00 = Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Akan tetapi, jika
premi kurang dari 1% (satu persen) misalnya ¾% (tiga perempat persen), ini
berarti jumlah premi sedikit-dikitnya ¾%x Rp. 400.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00
(tiga juta rupiah). Ganti kerugian yang diterima penanggung ½ x Rp.
3.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00.
b.
Pasal 636 KUHD
Apabila perjalanan dihentikan setelah penanggung
menhadapi bahaya, artinya jangka waktu asuransi mulai berjalan, tetapi sebelum
kapal melepaskan jangkar atau tali-talinya di tempat pembongkaran terakhir,
maka penanggung berhak atas ganti kerugian (keuntungan bagi penanggung) 1%
(satu persen) dari jumlah yang diasuransikan jika premi 1% (satu persen) atau
lebih. Akan tetapi, jka jumlah premi itu kurang dari 1%(satu persen), maka
harus dibayar seluruh jumlah premi. Berdasarkan contoh tadi, penanggung
menerima ganti kerugian 1%x Rp. 400.000.000,00 (premi 1% (satu persen) atau
lebih). Jika premi ¾% (tiga perempat persen), maka penanggung menerima ganti
kerugian ¾% x Rp.400.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00 (seluruh jumlah premi).
c.
Pasal 662 KUHD
Apabila barang yang diasuransikan tidak diangkut
atau diangkut hanya sebagian, atau ada kelebihan penyebutan jumlahnya karena
khilaf, sehingga premi yang telah dibayar harus dikembalikan seluruhnya atau
sebagian, maka penanggung berhak atas ganti rugi kerugian (keuntungan
penanggung) ½% (setengah persen) dari jumlah yang diasuransikan, atau separo
dari jumlah premi jika premi itu kurang dari 1% (satu persen), kecuali jika
dalam hal khusus ditentukan dengan jumlah yang lebih besar dari jumlah itu.
Berikut ini diberikan contoh perhitungan dalam hal
premi dibayar kembali secara penuh, sebagian atau karena kelebihan.
(1)
Dalam hal premi
dikembalikan dalam jumlah penuh karena barang tidak diangkut, lihat contoh
pasal 635 KUHD di atas.
(2)
Dalam hal premi harus
dikembalikan dalam jumlah sebagian karena barang diangkut sebagian, katakanlah
¾ (tiga perempat) bagian. Berdasarkan contoh di atas tadi perhitungannya adalah
sebagai berikut : premi ditentukan 1% (satu persen), jadi 1% x Rp.
400.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00
Premi
untuk barang yang telah diangkut=
¾
x Rp. 4.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00
Premi
yang harus dikembalikan oleh penanggung =
Rp.
4.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
Yang
berhak diterima oelh penanggung =
½%
x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 500.000,00
(1/2
x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 500.000,00)
Premi
ditentukan ¾% (tiga perempat persen),
Jadi
¾% x Rp. 400.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00
Premi
untuk barang yang telah diangkut
¾
x Rp. 3.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00
Premi
yang harus dikembalikan oleh penanggung
Rp.
3.000.000,00 – Rp. 2.250.000,00 = Rp. 750.000,00
Yang
berhak diterima oleh penanggung
(3)
Dalam hal premi
yang harus dikembalikan karena asuransi yang kelebihan, perhitungannya mirip
butir (2).
F.
LATIHAN PENYELESAIAN KASUS ASURANSI
Kasus Pertama
Amat seorang kontraktor bangunan di Bandar Lampung
membeli 10.000 (sepuluh ribu) sak semen di Jakarta.Semen tersebut diangkut
dengan kapal dari pelabuhan Tanjung Priok menuju pelabuhan(Lampung).Pada
tanggal 1 Oktober 1998 Amat mengasuransikan muatan semen tersebut untuk jangka
waktu perjalanan dari pelabuhan Tanjung
Priok sampai di pelabuhan Panjang terhadap bahaya-bahaya laut dengan klausula
all risks pada Pelabuhan Asuransi PBL dengan jumlah asuransi Rp 60.000.000.00
(enam puluh juta rupiah).
Dalam pelayaran menuju Panjang kapal yang mengangkut
semen itu mengalami tabrakan(collsion) dengan kapal lain, sehingga mengalami
kerusakan. Segera setelah tertanggung mengetahui hal ini, dia memberikan
bantuan dengan mendatangkan kapal tunda untuk menarik kapal pengangkut semen
itu ke Pelabuhan Panjang atas usaha
tertanggung.Untuk itu tertanggung telah mengeluarkan biaya Rp 4.000.000,00
(empat juta rupiah). Kemudian, tertanggung segera melaporkan hal ini kepada
penanggung dengan rincian biaya tersebut.
Setelah kapal sampai di Pelabuhan Panjang, lalu
diadakan pemeriksaan oleh tim ahli mengenai jumlah semen yang rusak. Selesai
dilakukan pemeriksaan yang teliti, ternyata jumlah semen yang diangkut hanya
7.000 (tujuh ribu) sak. Dari jumlah ini ternyata mengalami kerusakan karena air
laut kebocoran kapal dan kantong-kantong yang pecah sejumlah 5.000 (lima ribu)
sak. Setelah ditaksir oleh tim ahli, nilai 1 (satu ) sak semen Rp 10.000,00
(sepuluh ribu rupiah). Biaya tim ahli ditanggung oleh kedua pihak sebesar 2% (dua persen) dari nilai benda yang
diperiksa dan sudah dilunasi lebih dahulu oleh penanggung. Jumlah premi yang
telah dibayar oleh tertanggung adalah 2% (dua persen).
Pertanyaan
1. Hitunglah nilai benda yang diasuransikan!
2. Hitunglah jumlah kerugian yang timbul akibat
peristiwa itu!
3. Hitunglah jumlah ganti kerugian yang harus
dibayar oleh penanggung Perusahaan Asuransi PBL kepada tertanggung Amat!
4. Hitunglah
premi restorno untuk tertanggung Amat!
Referensi
analisis jawaban bacalah ketentuan pasal 253, pasal 283, pasal 637, dan pasal
662 KUHD dan pasal-pasal lain yang perlu.
Cara penyelesaian
1. Nilai
benda yang diasuransikan dihitung berdasarkan nilai benda sesungguhnya yang
diangkut, yaitu 7.000 (tujuh ribu) sak semen, nilainya 7.000 x Rp
10.000,00…..=Rp 70.000.000,00.
2. Jumlah
kerugian yang timbul akibat terjadi peristiwa ada 5.000 (lima ribu) sak semen
;5.000x Rp 10.000,00…= Rp 50.000.000,00
3. Perhitungan
ganti kerugian yang harus dibayar oleh Perusahaan Asuransi PBL kepada tertanggung
Amat;
Nilai benda
asuransi……………………….=Rp 70.000.000,00
Jumlah yang
diasuransikan……………….=Rp 60.000.000,00
Jumlah kerugian yang
ditimbulkan………=Rp 50.000.000,00
Kerugian yang harus diganti oleh
penanggung PBL adalah :
6/7 x Rp.
50.000.000,00……………………..= Rp. 42.857.140,00
Biaya penyelamatan benda asuransi…………..
= Rp. 4.000.000.00,
Jumlah klaim ganti kerugian yang dibayar
oleh penanggung :
Rp. 42.857.140,00 + Rp. 4.000.000,00………=
Rp. 46.857.140,00
Biaya tim ahli yang harus dibayar oleh
tertanggung Amat :
1% x Rp. 70.000.000,00……………………= Rp.
700.000,00
Biaya tim ahli yang harus dibayar oleh
penanggung
1% x Rp. 70.000.000,00……………………= Rp.
700.000,00
Jumlah kalim ganti kerugian yang
diterima oleh tertanggung :
Rp. 46.857.140,00 – Rp. 700.000,00……….=
Rp. 46.157.140,00
Kasus kedua
Pada tanggal 16 Agustus 1998 Amat pemilik sebuah
rumah gedung bernilai Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diasuransikan
terhadap bahaya kebakaran pada perusahaan asuransi PKB dengan jumlah Rp. 400.000.000,00 (empat ratu s juta
rupiah). Kemudian, Amat mengambil kredit kepada BRI sejumlah Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) kemudian Amat mengambil kredit pada BRI sejumlah rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengn jaminan rumah tersebut.
Pada tanggal 16 November 1998 BRI mengasuransikan
pula rumah tersebut pada perusahaan asuransi PKC dengan jumlah penuh (full insurance) terhadap bahaya yang
sama. Pada tanggal 20 Desember 1998 Amat menjual rumah itu kepada Bidin di
hadapan notaris dengan perjanjian segala kewajiban mengenai jaminan berpindah
kepada Bidin sebagai pembeli. Pada tanggal 30 Desember 1998 rumah itu terbakar
yang menimbulkan kerugian Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah).
Pertanyaan
1. Tuliskan
dengan lengkap berapa asuransi yang terjadi dalam kasus di atas !
2. Tunjukkan benda asuransi dan kepentingan atas benda
asuransi dalam kasus di atas dengan uraian seperlunya !
3. Siapa yang berhak mengajukan klaim ganti kerugian
dalam asuransi yang telah dibuat itu, dengan alasannya?
4. Hitunglah jumlah ganti kerugian yang dapat diklaim oleh setiap tertanggung kepada
penanggungny masing-masing!
Referensi analisis jawaban bacalah ketentuan Pasal
250, Pasal 253, dan Pasal 263 KUHD dan pasal-pasal lain yang perlu.
Cara
penyelesaiannya
1. Ada 2 (dua) asuransi, yaitu :
a.
Asuransi
kebakaran yang dibuat adalah oleh Amat pada perusahaan Asuransi PKB dengan
jumlah asuransi Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) tanggal 16 Agustus
1998.
b.
Asuransi
kebakaran yang dibuat oleh BRI pada Perusahaan Asuransi PKC dengan jumlah
asuransi Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tanggal 16 November 1998.
2.
Benda suransi
adalah rumah ada pada pemilik, yaitu Amat kemudian beralih ke pemilik baru,
yaitu Bidin berdasarkan jual beli. Kepentingan adalah hak jaminan kredit atas
rumah berdasarkan perjanjian kredit.
3.
Pihak yang
berhak mengajukan klaim pada asuransi pertama adalah Bidin pemilik baru (pasal
263 KUHD). Pada asuransi kedua adalah BRI (Pasal 250 KUHD).
4.
Perhitungan
klaim ganti kerugian
a.
Ganti kerugian
yang diklaim oleh Bidin kepada penanggung perusahaan Asuransi PKB adalah
sebagai berikut :
Nilai
benda asuransi …………………..= Rp. 500.000.000,00
Jumlah
asuransi……………………….= Rp. 400.000.000,00
Kerugian
yang timbul…………………= Rp. 350.000.000,00
Ganti
kerugian yang dibayar penanggung PKB kepada Bidin adalah 4/5 x Rp.
350.000.000,00………………………= Rp. 280.000.000,00
b.
Ganti kerugian
yang diklaim oleh BRI kepada penanggung PKC adalah sebagai berikut:
Nilai
benda asuransi …………………..= Rp. 500.000.000,00
Jumlah
asuransi……………………….= Rp. 400.000.000,00
Kerugian
yang timbul…………………= Rp. 350.000.000,00
Ganti
kerugian yang harus dibayar oleh PKC kepada BRI adalah 1/5 x Rp.
350.000.000,00………………………… = Rp. 70.000.000,00
BRI
berhak atas gnti kerugian dari Bidin atas
dasar jual beli dengan hak jaminan kredit sebagai berikut:
Jumlah
kredit dengan jaminan rumah… = Rp. 200.000.000,00
Jumlah
diterima langsung dari PKC…. = Rp. 70.000.000,00
Jumlah
yang diterima dari Bidin adalah :
Rp.
200.000.000,00 – Rp. 70.000.000,00 = Rp. 130.000.000,00
kasus ketiga
anton membeli sebuah kendaraan bermotor di Jakarta
untuk dipakai sendiri dengan harga Rp. 350.000.000,00 (tigalima puluh ratus juta rupiah). Kemudian, dia
memerintahkan Bidin untuk mngangkut keandaraan tersebut dengan kapal ke
Pontianak. Karena khawatir rusak, Bidin mengasuransikannya pada Perusahaan
Asuransi PPL terhadap bahaya-bahaya laut dengan kalusula all risks dengan jumlah Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ketika mengadakan asuransi, dia menyatakan dalam polis, kendaraan itu miliknya
sendiri. Akan tetapi, karena suatu halangan, kapal tidak jadi berangkat,
padahal premi sudah dibayar lunas.
Pertanyaan
1.
Jika kapal jadi
berangkat, kemudian terjadi peristiwa yang dinyatakan dalam polis, siapakah
yang berhak mengklaim ganti kerugian, Anton atau Bidin? Alasannya?
2.
Dapatkah
penanggung memenuhi klaim pihak tertanggung dengan mengemukakan alasannya?
3.
Hitunglah premi
restorno yang diterima oleh Bidin apabila jumlah premi yang dibayar itu atas
dasar 2% (dua persen)!
Referensi analisis jawaban bacalah pasal 250, pasal
264, pasal 276, dan pasal 635 KUHD serta pasal-pasal lain yang dianggap perlu.
Cara
penyelesaiannya
1.
Yang berhak
mengklaim ganti kerugian adalah bidin karena dia adalah contract party, sedangkan Anton tidak berhak karena dia bukan contract party (pasal 264, pasal 276
KUHD).
2.
Namun,
penanggung tidak berkewajiban memenuhi klaim ganti kerugian karena Bidin tidak
mempunyai kepentingan dalam asuransi, sedangkan Anton tidak berhak atas ganti kerugian
karena bukan contract party (Pasal
250 KUHD).
3.
Perhitungan
premi restorno yang diterima kembali oleh Bidin adalah sebagai berikut :
Jumlah Asuransi…………………… = Rp. 300.000.000,00
Jumlah premi yang dibayar
2% x Rp. 300.000.000,00………….= Rp. 6.000.000,00
Jumlah ganti kerugian untuk penanggung karena kapal
tidak jadi berangkat adalah :
½% x Rp. 300.000.000,00 ………….= Rp. 1.500.000,00
Premi restorno yang diterima oleh Bidin adalah:
Rp. 6.000.000,00-Rp. 1.500.000,00…= Rp.
4.500.000,00
makasihhh :D
BalasHapusmakasihhh :D
BalasHapus