1. KONSEP DASAR
KONTRAK KARYA
Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan penanaman modal asing atau patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis. Substansi kontrak disiapakan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen ESDM ( Energi dan sumber Daya Mineral ) dengan calon penanam modal.Substansi dari kontrak karya tersebut meliputi :
1.tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya
2.Subjek hukum yaitu : Pemerintah dan penanam modal
3.Definisi, yaitu : Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair, pengusahaan, , individu asing, mata uang asing, mineral-mineral, penyelidikan umum , eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri, rupiah, mineral ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran, kotoran, dan wilayah proyek.
4.Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan
5.modus operandi, yaitu : memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program,mengkontrakkan pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan administrasi yang dianggap perlu.
6.Wilayah kontrak
7.periode penyelidikan umum
8.periode eksplorasi
9.laporan dan deposito jaminan
10.periode studi kelayakan
11.periode konstruksi
12.periode operasi
13.pemasaran
14.fasilitas umum dan re-ekspor
15.pajak-pajak dan lain-lain kewajiban keuangan perusahaan
16.pelaporan,inspeksi dan rencana kerja
17.hak-hak khusus pemerintah
18.ketentuan-ketentuan kemudahan
19.keadaan memaksa (force majure)
20.kelalaian
21.penyelesaian sengketa
22.pengakhiran kontrak
23.kerja sama para pihak
24.promosi kepentingan nasional
25.kerja sama daerah dalam pengadan prasarana tambahan
26.pengelolaan dan perlindungan lingkungan
27.pengembangan kegiatan usaha setempat
28.ketentuan lain-lain
29.pengalihan hak
30.pembiayaan
31.jangka waktu
32.pilihan hukum
Persetujuan ini, disepakati dan dibuat di Jakarta, Republik Indonesia, pada tanggal 30 Desember 1991 oleh dan antara pemerintah Repubik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, (selanjutnya disebut “pemerintah”); dan PT. Freeport Indonesia Company (satu badan hukum Indonesia yang didirikan dengan Akta Notaris Nomor 102 tanggal 26 Desember tahun 1991, Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomsor C2-8171.HT.01.TH.91 tanggal 27 Desember 1991, selanjutnya disebut Perusahaan), yang saham-sahamnya dimiliki oleh:
1. Freeport-McMoran Copper & Gold Inc., suatu perseroan yang didirikan di bawah hukum Delaware (“FCX”) dan
2. Pemerintah.
MENGAKUI BAHWA
A. Semua sumber daya mineral yang terdapat di dalam wilayah hukum Republik Indonesia termasuk daerah-daerah lepas pantai adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia.
B. Pemerintah ingin mendorong dan meningkatkan kegiatan eksplorasi dan pengembangan sumber daya mineral Indonesia. Pemerintah juga bermaksud untuk memungkinkan pengembangan endapan bijih jika ditemukan dalam jumlah komersial dan mengoperasikan kegiatan usaha pertambangan yang bersangkutan.
C. MeIaIui kegiatan usaha pertambangan, pemerintah bermaksud menciptakan pusat-pusat pertutmbuhan bagi pembangunan daerah, menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak mendorong dan mengembangkan usaha setempat dan untuk menjamin agar ketrampilan, pengetahuan dan teknologi dialihkan kepada warga negara Indonesia, memperoleh data agar mengenai dan sehubungan dengan suntber-sumber daya mineral Negara dan melindungi serta merehabilitasi Iingkungan alam untuk pembangurnan Indonesia selanjutnya.
D. Perusahaan itu sendiri dan sebagai Subsidiari tidak langsung dari Freeport-McMoran Inc., perusahaan yang didirikan di Delaware, dan Subsidiari dari Freeport- McMoran Copper Et Gold Inc., perusahaan yang didirikan di Delawareo merniliki ataupun dapat memperoleh keterangan, pengetahuan pengalaman serta kemarnpuan teknis dan keuangan yang telah dibuktikan sumber-sumber daya lainnya untuk melaksanakan .program penyelidikan umum Eksplorasi, . Studi kelayakan , Pengembangan, Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemasaran yang berkenaan dengan wilayah Kontrak Karya serta siap dan bersedia untuk melanjutkan ke arah usaha-usaha tersebut sesuai dengan persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam persetujuan ini.
E. Pemerintah dan perusahaan mengakui bahwa wilayah kontrak karya (sebagaimana ditetapkan di bawah ini) berlokasi di wilayah yeng sangat terpencil dengan lingkungan yang sulit, dan bahwa, sehubungan dengan itu, Perusahaan sudah dan akan terus diminta untuk membangun fasilitas-fasilitas, khusus dan melaksanakan fungsi-fungsi khusus untuk pemenuhan Persetujuan ini.
F. Pemerintah dan Perusahaan bersedia untuk bekerjasama dalam pengembangan sumber daya mineral atas dasar ketentuan-ketentuan Kontrak Karya ini dan undang-undang serta peraturan-peraturan Republik Indonesia khususnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang-undang pokok Pertambangan dan Undang-undang Nomor I Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang berlaku pada saat ditandatanganinya Perjanjian ini, serta perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berkaitan.
G. Perusahaan adalah Perusahaan pengganti bagi Freeport Indonesia, Incorporated, Perusahaan yang didirikan di Delaware yang merupakan salah satu pihak pada persetujuan terdahulu (sebagaimana ditetapkan di bawah ini). Perstujuan lni akan menggantikan Persetujuan terdahulu.
MAKA, dengan memperhatikan janji dan persetujuan serta persyaratan antara kedua belah pihak yang akan dirinci lebih lanjut untuk dilaksanakan dan ditepati oleh kedua bela pihak, dan dengan maksud agar terikat secara hukum, ditetapkanlah dan disetujui bersama Para Pihak sebagai berikut:
D E F I N I S I
Istilah-istilah yang dicantumkan di bawah ini akan mempunyai arti sesuai pengertiannya masing-masing, dimanapun istilah itu muncul di dalam persetujuan ini, baik ditulis dengan huruf besar maupun dengan huruf kecil.
1. “Afiliasi” dari suatu Badan berarti setiap Badan lain yang langsung ataupun tidak langsung, melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian bersama dengan Badan termaksud.
2. “Mineral Ikutan” yang berkaitan dengan suatu Mineral tertentu berarti Mineral-Mineral yang secara geologis terdapat bersama-sama, yang tidak dapat dipisahka perkembangannya dari dan harus ditambang dan diolah bersama Mineral tersebut.
3. “Pemanfaatan” berarti pendayagunaan Lingkungan Hidup atau sesuatu unsur atau bagian dari Lingkungan Hidup yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat, kesejahteraan, keselamatan atau kesehatan dan yang membutuhkan perlindungan dari akibat-akibat pembuangan-pembuangan, emisi dan pengendapan kotoran.
4. “Perusahaan” berarti P.T Freeport Indonesia Company, yaitu badan usaha pengganti FII, dan setiap badan usaha pengganti yang disetujui ; dan, dalam hal digunakan sebagai referensi mengenai pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan atau tindakan lain yang dilakukan berdasarkan Kontrak Terdahulu atau SIPP, juga diartikan sebagai FII.
5. “Wilayah Kontrak Karya” berarti wilayah Kontrak Karya Blok A dan Wilayah Kontrak Karya Blok B.
6. “Wilayah Kontrak Karya Blok A” berarti wilayah yang ditetapkan di dalam Lampiran “A” Persetujuan ini sebagai “Wilayah Kontrak Karya Blok A”
7. “Wilayah Kontrak Karya Blok B” berarti wilayah yang ditetapkan di dalam Lampiran “A” Persetujuan ini sebagai “Wilayah Kontrak Karya Blok B”, dimana dapat berubah melalui pengurangan dan perluasan, ataupun karena hal lain sesuai dengan Persetujuan ini.
8. “Kekayaan Kontrak Karya” yang menyangkut setiap Wilayah Pertambangan, sesuai dengan maksud pasal 22, berarti hak milik Perusahaan di Indonesia yang berlokasi di dalam wilayah Pertambangan tersebut atau setiap Wilayah Proyek yang berkaitan dengan wilayah Pertambangan tersebut.
9. “Pengendalian” (termasuk istilah “dikendalikan oleh” dan “berada pengendalian bersama” dan “pengendalian-pengendalian”) berarti pemilikan, langsung atau tidak langsung, kemampuan mengarahkan manajemen dan kebijaksanaan-kebijaksanaan suatu Badan. Tanpa membatasi ketentuan di atas, kemampuan tersebut di anggap dimiliki oleh suatu Badan apabila Badan tersebut memiliki, langsung atau tidak langsung, 25% atau lebih saham-saham yang mempunyai hak suara (voting shares) yang dimiliki Badan lainnya.
10. “Karyawan Terliput” (Covered Employes) berarti setiap orang, termasuk tenaga ahli asing, yang dipekerjakan atau ditempatkan oleh Perusahaan atau salah satu Subsidiari-subsidiarinya atau afiliasi-afiliasinya.
11. “Departemen”, kecuali konteksnya ditentukan lain, berarti badan Pemerintah yang diberi wewenang untuk melaksanakan Undang-Undang dan peraturan-peraturan Pertambangan Indonesia.
12. “Pengusahaan” berarti semua kegiatan Perusahaan yang ditetapkan di dalam atau dimaksudkan oleh Persetujuan ini, termasuk :
(i) Penyelidikan Umum, Eksplorasi, evaluasi, pengembangan, konstruksi, penambangan, operasi, pengolahan dan kegiatan-kegiatan penjualan yang berkaitan dengan wilayah kontrak karya dan wilayah-wilayah proyeknya, dan Wilayah Kontrak Karya yang dihasilkan; dan
(ii) Konstruksi dan operasi dari peleburan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 10 ayat 4 Persetujuan ini.
13. “Lingkungan Hidup” berarti factor-faktor fisik alam sekitar kehidupan manusia, termasuk tanah, air, udara iklim, suara, bau-bau yang merusak, selera dan factor biologis dari binatang dan tumbuh-tumbuhan dan factor social estetika.
14. “Individu Asing” atau “Tenaga Ahli Asing” berarti setiap orang yang bukan warga Negara Indonesia.
15. “Eksplorasi” berarti mencari Mineral-Mineral dengan menggunakan metoda-metoda geologi, geofisika dan geokimia termasuk pemanfaatan lubang-lubang bor, sumur uji, parit uji, galian dipermukaan atau dibawah tanah, lobang datar atau terowongan untuk memastikan adanya endapan-endapan Mineral ekonomis dan untuk menentukan sifat, bentuk dan kadarnya dan kata “Mengeksplorasi” mempunyai makna yang sama.
16. “Wilayah Eksplorasi” berarti bagian-bagian dari Wilayah Kontrak Karya Blok B yang dipilih untuk dieksplorasi sebagai suatu hasil dari Penyelidikan Umum dari Wilayah Kontrak Karya Blok B oleh Perusahaan selama Perioda Penyelidikan Umum sebagaimana ditetapkan dalam ayat 2 Pasal 3.
17. “FII” berarti Freeport Indonesia Incorporated, suatu Perusahaan yang didirikan di Delaware, Amerika Serikat.
18. “Mata Uang Asing” berarti setiap mata uang selain rupiah.
19. “Penyelidikan Umum” berarti suatu penyelidikan atau suatu kegiatan eksplorasi pendahuluan yang dilakukan atas dasar ciri-ciri tertentu dari suatu wilayah untuk menemukan tanda mineralisasi.
20. “Pemerintah” berarti Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Tingkat Wilayah, Daerah Tingkat I atau Tingkat II-nya.
21. “Mineral-Mineral” berarti semua endapan alam dan timbunan alam yang mengandung unsur-unsur maupun dalam asosiasi atau senyawa kimia dengan unsure-unsur logam atau bukan logam lain.
22. “Penambangan” berarti kegiatan pengambilan yang bertujuan untuk melakukan eksploitasi secara ekonomis satu atau lebih endapan bijih yang sudah diketahui, dan kata “Menambang” mempunyai makna yang sama.
23. “Wilayah Pertambangan” berarti Wlayah Kontrak Karya Blok A dan semua Wilayah Pertambangan Baru.
24. “Menteri” kecuali konteksnya menunjukkan lain berarti orang yang bertugas pada waktu yang ditentukan sebagai Menteri dari Departemen Pertambangan dan Energi.
25. “Wilayah Pertambangan Baru” berarti suatu bagian dari Wilayah Kontrak Karya Blok B yang telah diidentifikasi oleh Perusahaan yang mengandung endapan atau endapan-endapan mineral yang mempunyai potensi ekonomi yang dinyatakan oleh garis lintang dan garis bujur dalam peta-peta dan melalui uraian yang diberikan oleh perusahaan kepada Departemen, dan yang telah dinyatakan oleh Perusahaan pada atau sebelum hari terakhir perioda Studi Kelayakan untuk suatu wilayah Eksplorasi, sebagai suatu wilayah dimana Perusahaan berkeinginan untuk memulai penambangan ; dengan ketentuan bahwa, satu wilayah Pertambangan Baru dapat diperluas dengan persetujuan Pemerintah dan Perusahaan bila berdasarkan hasil Eksplorasi lebih lanjut dan Penambangan, ternyata bahwa penggabungan daerah-daerah yang berdekatan dengannya akan dapat meningkatkan maksud Persetujuan ini dengan mengijinkan Penambangan Mineral-Mineral yang diidentifikasi sehubungan dengan endapan-endapan tersebut atau Mineral-Mineral ikutannya.
26. “Badan” (Person) berarti setiap perorangan, persekutuan, perusahaan, dimanapun diorganisir atau didirikan, dan semua badan dan perkumpulan yang menurut hukum berdiri secara tersendiri, baik yang berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
27. “Pencemaran” berarti setiap perubahan langsung atau tidak langsung sifat-sifat fisik temperatur, kimia, biologi atau radioaktif dari setiap bagian Lingkungan Hidup yang disebabkan oleh buangan, emisi, atau endapan kotoran sedemikian rupa sehingga mempengaruhi setiap pemanfaatan secara material dan merugikan, atau yang menyebabkan keadaan yang membahayakan atau dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau kesejahteraan umum atau kepada binatang, burung-burung, satwa liar ikan atau kehidupan air, atau tumbuh-tumbuhan : dan kata “Mencemari” mempunyai makna yang sama.
28. “Logam Mulia” berarti emas, perak, platina dan palladium.
29. “Kontrak Terdahulu” berarti Kontrak Karya yang ditanda tangani pada tanggal 7 April 1967 antara FII dan Pemerintah, yang telah diubah dan diperbaiki ; kotrak tersebut diganti dengan Persetujuan ini.
30. “Pengolahan” berarti pengolahan bijih Mineral setelah ditambang untuk menghasilkan suatu konsetrat mineral yang dapat dipasarkan atau suatu produk mineral yang dapat dimurnikan lebih lanjut dan kata “Olah” mempunyai makna yang sama.
31. “Produk” berarti semua bijih, mineral, konsetrat presiptat dan logam termasuk produk yang dimurnikan, yang diperoleh sebagai hasil penambangan atau pengolahan sesudah dikurangi jumlah yang hilang, dibuang, yang rusak atau yang dipakai di penelitian pengujian, penambangan, pengolahan atau pengangkutan.
32. "Wilayah f,royek" yang berkaitan dengan lJilayah pertambangan rnanipun, berarti suitu daerah di lqrar Wilayah Pertambangan tersebr-rt yeng sebelumnya telah diperuntukan sebagai suatr-t Wifaiafr Froyek atalt se.tiap wilayah yeng setelah ini diperuntltkah sebagai Wilayah Proyek dan ditetapkan dalarn suatut le.poran gtudi kelayakan untuk pengembangan Fenarnbangan oleh PerusahaaF bila dianqgai perlu. atau layak untuk fasilitas-fasilltas Pengolaha.n dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang ada hltbungannya dengan penqembangan Fenarnbangan tersebut, termasuk setiap penambahan kepada setiap wilayah yang dimaksr-tdkan untuk Penambangan s pengembangan ataui'Fengolahan.
33. “Rupiah” berarti mata uang yang merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.
34. “SIPP” berarti ijin penyelidikan pendahuluan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pertambangan Umum atas nama Menteri Kepada FII sehubungan dengan Eksplorasi pendahuluan di Irian Jaya.
35. “Subsidiari” dari setiap Badan berarti setiap usaha yang dikendalikan oleh Badan tersebut melalui pemilikan langsung atau tidak langsung atas 50 % (lima puluh persen) atau lebih saham yang diterbitkan yang mempunyai hak suara atau setiap usaha bersama atau usaha patungan yang dikendalikan oleh Badan tersebut.
36. “Limbah” meliputi setiap zat baik cairan, padatan, bersifat gas atau bersifat radioaktif yang dibuang, diemisi, atau diendapkan di dalam Lingkungan Hidup dalam jumlah, bentuk atau cara tertentu yang dapat menyebabkan perubahan material dan merugikan terhadap lingkungan hidup.
2. DASAR/LANDASAN HUKUM
Dasar hukum yang digunakan dalam kontrak karya ini adalah :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Umum.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
3. UNSUR-UNSUR
Unsur-unsur dalam kontrak karya pertambangan ini adalah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1320 BW/KUHPER. :
- Adanya para pihak : dalam kontrak ini yang menjadi pihak adalah Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia Company.
- Adanya kesepakatan : Dalam kontak karya Pertambangan antara Pemerintah Republik Indonesia sepakat dengan PT. Freeport Indonesia Company untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan produksi barang tambang di wilayah kontrak karya Blok A dan wilayah kontrak karya Blok B. wilayah kontak karya Blok A luasnya 100 meter persegi yang berlokasi di Pulau Irian. Wilayah kontrak karya Blok B adalah suatu wilayah yang ditetapkan dalam lampiran A persetujuan ini.
- Adanya objek tertentu : dalam kontrak ini yang menjadi objek perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia Company adalah melakukan kegiatan penambangan mineral radioaktif, persenyawaan-persenyawaan hidrokarbon, nikel, timah atau batubara yang berada di lokasi yang telah ditentukan.
- Adanya hal yang diperbolehkan.
4. BENTUK-BENTUK PRESTASI DAN KONTRA PRESTASINYA
Perikatan itu isinya bisa berupa (1) kewajiban untuk memberikan sesuatu, (2) untuk melakukan sesuatu dan (3) untuk tidak melakukan sesuatu (baca Pasal 1234 BW).
Di dalam kontrak karya pertambangan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company sebagaimana tertuang di dalam pasal 2 Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan ada beberapa prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan (PT Freeport Indonesia Company) :
(1) kewajiban untuk memberikan sesuatu : Dalam pertimbangan atas pemberian hak-hak tersebut, perusahaan setuju melaksanakan pekerjaan dan memenuhi kewjibannya yang ditentukan dalam persetujuan ini, termasuk tanpa kecuali kewajiban untuk menanamkan modal seperti yang disebutkan dalam pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 5, dan dalam pasal 7 ayat 5, kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya kepada pemerintah seperti ditentukan dalam pasal 12 dan 13 serta kewajiban mengikuti standar pertambangan yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 9 dan peraturan Lingkungan Hidup, Keselamatan kerja dan kesehatan seperti disebutkan pada pasal 26.
(2) untuk melakukan sesuatu : Dalam kontrak karya pertambangan ini perusahaan yang diberikan hak tunggal oleh pemerintah wajib menyelidiki mineral dalam wilayah kontrak karya, menambang setiap endapan mineral yang ditemukan dalam wilayah pertambangan, mengolah, menyimpan, dan mengangkut dengan cara apapun semua hasil mineral-mineral yang dihasilkan , memasarkan, menjual dan menyisihkan semua produksi dari tambang dan pengolahan tersebut, di dalam dan di luar Indonesia, serta melakukan semua operasi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang mungkin perlu atau memudahkan dalam hubungan ini dengan betul-betul memperhatikan persyaratan persetujuan ini.
(3) untuk tidak melakukan sesuatu : perusahaan tidak akan menambang mineral radioaktif, persenyawaan-persenyawaan hidrokarbon, nikel, timah, atau batubara sebelum memperoleh persetujuan dari pemerintah.
5. PERBUATAN WANPRESTASI/PERBUATAN KAHAR
- Di dalam pasal 19 kontrak ini, Setiap kegagalan dari Pemerintah atau dari Perusahaan, untuk dilaksanakan setiap kewajibannya berdasarkan Persetujuan ini, tidak akan dianggap sebagai suatu pelanggaran persetujuan ini ataupun kelalaian apabila kegagalan itu disebabkan oleh keadaan kahar, pihak yang bersangkutan telah melakukan semua langkah pengaman yang sesuai, telah betul-betul menjaga dan mengambil langkah-langkah pilihan yang wajar dengan sasaran untuk menghindarkan kegagalan tersebut dan untuk melaksanakan kwajiban-kewajibannya berdasarkan persetujuan ini. Jika suatu kegiatan tertunda, terbatasi, atau terhalang oleh keadaan kahar, maka sekalipun bertentangan dengan apa yang tersebut di dalam persetujuan ini. Waktu untuk melaksanakan kegiatan yang kena pengaruh oleh keadaan kahar dan jangka waktu persetujuan seperti yang tercantum dalam pasal 31, masing-masing akan diperpanjang dengan jangka waktu yang sama dengan jumlah waktu selama sebab-sebab dab pengaruh-pengaruh itu berlangsung, dan untuk suatu periode perpanjangan, jika ada sebagaimana diperlukan untuk emngganti kerugian waktu., yang diakibatkan keadaan kahar tersebut. Untuk maksud persetujuan ini keadaan kahar meliputi antara lain : peperangan, pemberontakan, kerusuhan sipil, blockade, sabotase, embargo, pemogokan, dan perselisihan perburuhan lainnya, keributan, epidemic, gempa bumi, angin rebut, banjir atau keadaan cuaca lainnya yang merugikan, ledakan kebakaran, petir, perintah atau petunjuk (adeverse order or direction) yang merugikan dari setiap pemerintahan “de jure” ataupun “de facto” atau perangkatnya atau sub-divisinya, takdir Tuhan atau perbuatan musuh masyarakat, kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan perusahaan, dan setiap sebab lainnya (seperti yang diuraikan diatas, baik yang sejenis maupun yang tidak) yang secra wajar tidak dikuasai oleh pihak yang terkena sebab-sebab itu, dan yang sifatnya sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan penundaan, pembatasan atau menghalangi sehingga mengakibatkan penundaan, pembatasan, atau mengahalangi tindakan tepat pada waktunya oleh pihak yang terkena pengaruh.
- Pihak yang kemampuannya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terkena oleh keadaan kahar, harus memberikan hal itu sesegera mungkin kepada pihak lainnya secara tertulis, dengan menyebutkan sebabnya, dan kedua belah pihak akan berusaha untuk melakukan semua tindakan dan hal-hal yang perlu dalam batas-batas kemampuannya, untuk mengatasi keadaan tersebut; dengan ketentuan bahwa masing-masing pihak tidak diwajibkan untuk menyelesaikan atau menghentikan suatu perselisihan paham dengan pihak ketiga, termasuk perselisihan paham perburuhan, kecuali dengan syarat-sayarat yang dapat diterima atau sesuai dengan keputusan terakhir dari badan arbitrase, pengadilan atau badan-badan yang mempunyai wewenang hukum untuk akhirnya menyelesaikan perselisihan paham itu.
6. BENTUK TANGGUNG GUGAT
Dalam kontrak karya pertambangan ini, pihak yang merasa dilanggar haknya dalam perjanjian ini karena pihak lain tidak memenuhi kewajibannya dapat melayangkan gugatannya ke badan arbitrase sesuai dengan peraturan-peraturan Arbitrase UNCITRAL yang dimuat dalam resolusi 31/98, yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Desember 1976 yang berjudul “Arbitration Rules of The United Nations Commision on International Trade Law”. Dengan melakukan penyerasian, maka dapat dilakukan saat ini di Indonesia, sebab telah ada badan independen yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta, Indonesia.
7. PENYELESAIAN SENGKETA
- Bentuk penyelesaian sengketa di dalam Kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company yang tertuang di dalam pasal 21 adalah penyelesaian secara baik dengan cara perdamaian atau melalui arbitrase. Penyelesaian secara baik dengan cara perdamaian yang akan berlangsung sesuai dengan peraturan-peraturan perdamaian UNCITRAL yang termuat dalam resolusi 35/52 yang disetujui oleh majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 4 Desember 1980 yang berjudul “Conciliation Rules of The United Nations Commision on International Trade Law” yang pada waktu ini masih berlaku. Dalam hal para pihak akan menggunakan arbitrase, maka sengketa akan diselesaikan oleh arbitrase sesuai dengan peraturan-peraturan Arbitrase UNCITRAL yang dimuat dalam resolusi 31/98, yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Desember 1976 yang berjudul “Arbitration Rules of The United Nations Commision on International Trade Law”. Ketentuan ini tidak berlaku untuk masalah-masalah perpajakan yang tunduk pada yurisdiksi Majelis Pertimbangan Pajak. Bahasa yang akan digunakan untuk penyelesaian dengan cara perdamaian dan arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali para pihak menyetujui lain.
- Sebelum para pihak menempuh upaya arbitase, mereka seharusnya telah melakukan segala upaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui konsultasi dan menggunakan cara pemecahan administrative.
- Sidang perdamaian atau arbitrase, apabila dapat dilakukan pengaturan yang serasi, akan diadakan di Jakarta, Indonesia. Kecuali kedua belah pihak mufakat untuk memilih tempat lain atau tata cara tersebut di atas menghendaki lain.
8. PILIHAN HUKUM
Dalam kontrak karya pertambangan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company disepakati di dalam pasal 32 bahwa pelaksanaan perjanjiannya akan diatur, tunduk kepada dan ditafsirkan sesuai dengan hukum Republik Indonesia yang saat ini berlaku.
ANALISIS HUKUM
Kontrak karya adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara pemerintah republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar minyak gas dan bumi. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari kata work of contract.
Ismail Sunny mengartikan kontrak karya adalah kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang menggunakan modal nasional, kontrak karya diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 tentang pertambangan dimana sebelumnya dimulai oleh UU No1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang menjadi pintu masuk inverstor asing untuk menanamkan modalnya dalam bisnis pertambangan.Dalam pasal 8 uu no1 tahun 1967 disebutkan bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Seperti diketahui, kontrak karya Freeport ditandatangani pada tahun 1967 untuk masa 30 tahun terakhir. Kontrak karya yang diteken pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto itu diberikan kepada Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi.
Pada tahun 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektar. Dan pada tahun 1991, penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa berlaku 30 tahun berikut 2 kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya Freeport baru akan habis pada tahun 2041.
Dalam laporan keuangannya di 2010, Freeport menjual 1,2 miliar pounds tembaga dengan harga rata-rata US$ 3,69 per pound. Kemudian Freeport juga menjual 1,8 juta ounces emas dengan harga rata-rata di 2010 US$ 1.271 per ounce. Di 2011, Freeport menargetkan penjualan 1 miliar pounds tembaga dan 1,3 juta ounces emas.
General Superintendent Corporate Communications PT Freeport Indonesia Ramdani Sirait sebelumnya mengatakan, selama ini pihaknya telah memberikan kontribusi yang cukup besar sehingga merasa kontrak karya yang sudah ada tidak perlu diotak-atik lagi. Untuk bisa merenegosiasi kontrak tambang khususnya untuk Freeport, hendaknya pemerintah berusaha keras sehingga renegosiasi bisa tercapai. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah cuma kecipratan royalti 1% dari hasil emas dan tembaga Freeport. Padahal dalam aturan baru, harusnya royalti tambang adalah sebesar 3,75%.
Selain itu, di dalam kontrak karya pertambangan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company, fokus terhadap aturan tentang pekerja perlu mendapat perhatian. Umumnya dalam kontrak karya, di beberapa negara biasanya mencantumkan perjanjian tersebut. Sedangkan dalam kontrak ini, tidak diatur satu pasal pun tentang perlindungan tenaga kerja, khususnya dalam hal pemberian upah yang adil. Pemogokan buruh PT Freeport Indonesia, telah berlangsung dari tanggal 15 september 2011 hingga sekarang (dan akan terus berlanjut hingga 15 November 2011), yang salah satu tuntutan awalnya adalah soal kenaikan upah menjadi $ 35/jam dari sebelumnya berkisar $ 2.1 /jam hingga $ 3,5/jam. Sementara upah buruh PT Freeport di Amerika sendiri mencapai $ 66,43/ jam. Namun tuntutan ini tidak dipenuhi oleh Managemen PT Freeport Indonesia, dan bahkan dengan menggunakan aparat kepolisian, Managemen PT Freeport Indonesia mencoba membubarkan mogok kerja yang berlangsung secara damai sehingga mengakibatkan dua orang buruh PT Freeport Indonesia meninggal dunia akibat tertembak aparat keamanan, dan beberapa lainnya terluka.
Saat ini, sekalipun buruh PT Freeport Indonesia telah menurunkan tuntutan kenaikan upah hanya menjadi $ 7,5/jam—artinya turun sangat jauh dari tuntutan awal—namun pihak Management PT Freeport Indonesia tetap bersikukuh untuk tidak mau menaikan upah buruh, hal ini dibuktikan dengan perundingan yang selalu deadlock pasca penembakan. Salah satu alasan yang diungkapkan oleh Sinta Sirait (Direktur Eksekutif Vice President & CAO PT Freeport Indonesia) dalam pertemuan “Side Bar” yang digagas oleh Indonesian Center For Ethics (ICE) pada tanggal 24 Oktober 2011, adalah berkaitan dengan loby-loby perusahaan besar di Indonesia seperti PT Newmont, PT Medco, PT Unilever, PT Inco dan beberapa PT lainnya, yang menyarankan kepada PT Freeport Indonesia tidak melakukan kenaikan upah, karena hal ini akan memicu tuntutan serupa di perusahaan mereka.
Dalam waktu yang bersamaan, apa yang sedang dituntut oleh Buruh PT Freeport Indonesia, saat ini juga tengah dituntut oleh buruh-buruh Indonesia diberbagai kota, yakni tuntutan kenaikan upah menjadi upah yang manusawi. Sudah diketahui secara umum bahwa rata-rata upah buruh Indonesia masih sangat jauh dari kecukupan sehari-hari, misalnya penelitian AKATIGA, SPN dan SBSI Garteks pada tahun 2009 di Sembilan kota besar Indonesia, menunjukan bahwa rata-rata pengeluaran buruh setiap bulannya adalah Rp 2,45 juta, namun rata-rata upahnya hanya Rp 900 ribu. Atau pandangan FSPMI yang menyatakan bahwa upah riil buruh selama 10 tahun belakangan justru terus menurun-dibandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan buruh—Hal yang hampir sama juga pernah dikemukakan oleh Aliansi Buruh Menggugat pada tahun 2007, yang menyatakan bahwa seharusnya upah buruh Indonesia rata-rata Rp 3,2 juta/bulan.
Bahkan data BPS ditahun 2010, juga menyatakan bahwa upah buruh Indonesia sangat rendah, rata-rata hanya mencukupi 49 % dari kebutuhan konsumsi buruh. Artinya secara umum, konsep upah minimum yang sekarang ini digunakan pemerintah baik melalui UU 13/2003, permen 17/2005 maupun regulasi upah lainnya tidak lain dan tidak bukan, hanyalah untuk memastikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha.
Banyak perusahaan-perusahaan besar (dengan menggunakan kekuatan modal, koneksi dan pengaruhnya) menolak adanya kenaikan upah secara signifikan dan dengan menggunakan pemerintah terus melakukan perlawanan dan pembangunan opoini seolah-olah, kenaikan upah yang signifikan akan membuat mereka bangkrut, namun faktanya, menurut survey Bank Indonesia di Kawasan Industri yang terletak di Batam, komponen upah buruh sesungguhnya hanya berkisar 10-20 % dari total biaya produksi.
Hal itulah yang membuat PT Freeport Indonesia pada tahun 2010, mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yakni sekitar Rp 114 milyar/hari atau sekitar Rp 41,04 Trilyun/tahun, sementara total upah buruh hanya Rp 1,4 Triyun/tahun (atau sekitar 3,4 % dari total keuntungan PT Freeport Indonesia) sementara PT Freeport Internasional mendapatkan setoran keuntungan sebesar 60 % dari total keuntungan PT Freeport Indonesia. Dan lebih jauh lagi untuk memastikan keserakahan ini terus berlanjut, pihak PT Freeport Indoesia tidak segan-segan membayar aparat kemanan Indonesia hingga 14 juta dollar—dan untuk prajurit yang di lapangan dibayar Rp 1,25 juta/bulan.
Suripto mengatakan, jika merujuk perjanjian Kontrak Karya (KK) antara pemerintah dengan perusahaan multi nasional atau multi national corporation (MNC), maka akan telihat betapa lemahnya pemahaman hukum pemerintah pada saat bersama-sama dengan pihak MNC mendesain KK. Akibatnya, klausul pertanggungjawaban hukum lingkungan dalam hal terjadi pencemaran yang dilakukan sebagai akibat adanya industri pertambangan tidak diatur secara jelas.
Beberapa contoh kasus pencemaran lingkungan yang lepas dari jerat hukum antara lain; kasus pencemaran lingkungan akibat limbah merkuri di Mimika oleh penambangan PT Freeport Indonesia di tahun 2004. Limbah tailling yang dihasilkan PT Freeport telah menimbun 110 km2 wilayah Estuari dan mengalami pencemaran linkungan. Sekitar 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah tailing tersebut. Ketika banjir tiba, kawasan-kawasan subur di lokasi itupun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa pada perkembangannya telah menyebabkan banjir, kehancuran hutan-hutan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa.
Untuk diketahui, desakan renegosiasi kontrak pertambangan semakin kuat belakangan ini. Selain soal pencemaran lingkungan, perusahaan pertambangan dituntut memberikan royalti yang lebih untuk negara. Khusus Freeport, anggota Komisi VII DPR Chandra Tirta Wijaya mengatakan penerimaan Freeport yang mengoperasikan tambangnya di Tembagapura, Papua masih tiga kali lipat lebih besar daripada penerimaan pemerintah melalui pajak, royalti, dan dividen yang diberikan perusahaan itu selama ini.
Menurut Chandra, sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima US$479 juta, sedangkan Freeport menerima US$1,5 miliar. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima US$1,1 miliar. Sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai US$4,1 miliar.
Seperti diketahui, selama ini Freeport hanya memberikan royalti bagi pemerintah senilai 1 persen untuk emas, dan 1,5 persen-3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6 persen untuk tembaga dan 5 persen untuk emas dan perak.
Kurangnya pemahaman hukum dalam desain KK telah menimbulkan konsekuensi baru di bidang penyelesaian sengketa. Merujuk pada berbagai hasil pengajuan upaya hukum yang diajukan pemerintah dan berbagai LSM, ternyata pengajuan upaya hukum dalam ranah perdata maupun pidana sama sekali tidak menyeret para pelaku usaha untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Akibatnya, kata Suripto, kenyataan ini menjadi contoh buruk bagi penegakan hukum di Indonesia terhadap jenis sengketa yang sama. Di sisi lain, masyarakat yang menjadi korban nyata pencemaran linngkungan di sekitar areal pertambangan tidak mendapatkan nilai ekonomis dari peristiwa pencemaran yang terjadi.