sengketa waris,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang hidup di dunia ini pasti akan mengalami suatu peristiwa yang penting dalam hidupnya. Suatu peristiwa hukum yaitu kematian. Dan tidak ada orang yang bisa mengetahui kapan akan mati karena kematian merupakan rahasia Allah SWT.
Orang yang meninggal dunia tidak akan membawa apa yang telah dia miliki atau dia dapat selama hidup dunia. kecuali 3 hal yang akan di bawa seseorang ketika dia meninggal dunia yaitu:
1. Amal ibadah.
2. Ilmu yang bermanfaat.
3. Anak yang saleh.
Ketika orang sudah meninggal dunia, akan menimbulkan akibat hukum yaitu tentang bagaimana kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia. yang sering menjadi masalah setelah seseorang itu meninggal dunia adalah dalam hal kewarisan atau pembagian harta waris. Dalam pembagian harta waris ini sering menyebabkan sengketa karena berhubungan dengan berpindahnya hak milik seseorang ke orang lain.
Masalah waris ini sering menimbulkan sengketa atau masalah bagi ahli waris, karena langsung menyangkut harta benda seseorang, karena harta oleh manusia dianggap sebagai barang yang berharga. Sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan karena berebut untuk menguasai harta waris tersebut.
Sengketa dalam masalah pembagian waris ini bisa juga disebabkan karena harta warisan itu baru dibagi setelah sekian lama orang yang diwarisi itu wafat. Ada juga karena kedudukan harta yang tidak jelas. Bisa juga disebabkan karena diantara ahli waris ada yang memanipulasi harta peninggalan tersebut.
Sengketa perselisihan pembagian waris ini bisa membawa dampak buruk bagi ahli waris yang ditinggalkan, karena berebut harta waris hubungan kekeluargaan di antara ahli waris ini bisa rusak atau memutuskan hubungan kekeluargaan di antara ahli waris. Maka dari itu masalah waris ini tidak bisa dianggap remeh.
Allah telah berfirman dalam surat al-Nisa>’ ayat 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا ( النساء :٧)
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa Allah telah memberikan bagian sendiri-sendiri kepada setiap laki-laki dan perempuan dari harta peninggalan orang tuanya maupun kerabatnya.
Rasul juga memerintahkan agar melaksanakan pembagian waris sesuai dengan ketentuan bagiannya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ص.م, أُلْحِقُوْا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلِ ذَكَرٍ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas berkata “Bahwa Rasulullah SAW bersabda; bagikanlah bagian-bagian tertentu itu kepada orang yang berhak adapun sisanya adalah untuk ahli waris lelaki yang paling dekat”. (HR. Muslim).
Masalah hukum waris merupakan persoalan yang sangat penting untuk dipelajari karena berkaitan dengan kehidupan manusia. Rasulullah SAW memerintahkan untuk belajar dan mengajarkan hukum waris atau ilmu faraidh ini. Agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam membagikan harta pustaka. Sabda Rasul
تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ، وَتَعَلَّمُوْا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهاَ النَّاسَ، فَاِنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيوْشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَيَجِدَانِ اَحَدًا يُخْبِرُهَا (اخرجه أحمد والنسائى والدارقطنى)
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang dan pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang karena saya adalah orang yang bakal direnggut mati, sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka”
(HR. Ahmad, an-Nasa’i dan ad-Daruquthny).
Dari Hadits ini dapat diketahui betapa pentingnya hukum waris atau ilmu faraid ini, agar orang itu menjadi tahu tentang hukum waris in atau ilmu faraidh dan tidak memperselisihkan masalah harta waris.
Banyak masalah sengketa waris ini yang sampai berakhir di pengadilan, karena ingin mendapatkan penyelesaian yang adil. Penyelesaian masalah waris membutuhkan ketelitian, kecermatan dan keadilan agar tidak menimbulkan perselisihan, serta tidak memberikan akibat buruk pada ahli waris, dan hubungan kekeluargaan di antara ahli waris bisa tetap terjaga dengan baik.
Sebagaimana masalah sengketa waris yang ingin penulis kaji ini merupakan perkara di Pengadilan Agama Ponorogo dalam putusan perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA PO. Dalam perkara ini terjadi sengketa dalam hal pembagian harta waris yang tidak hanya berakhir di Pengadilan Agama, akan tetapi sampai pada tingkat banding bahkan kasasi. Hal ini disebabkan karena penggugat tidak puas dengan putusan hakim Pengadilan Agama Ponorogo yang menolak sebagian gugatan penggugat diantaranya menolak untuk membagi waris dan menetapkan obyek sengketa merupakan harta waris yang belum dibagi, serta tidak memasukkan sebagian ahli waris dalam daftar ahli waris.
Kemudian penggugat mengajukan banding ke PTA Surabaya, namun putusan PTA Surabaya menguatkan putusan Pengadilan Agama Ponorogo, sehingga penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung kemudian setelah hakim Mahkamah Agung memeriksa, menimbang dan mengadili akhirnya memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Agama Ponorogo dan PTA Surabaya.
Dari masalah ini penulis ingin menganalisa dan mengkaji putusan Pengadilan Agama Ponorogo yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung (dibatalkan) oleh Mahkamah Agung. Selain itu juga ingin mengetahui alasan atau pertimbangan hakim Pengadilan Agama Ponorogo dalam menolak sebagian gugatan penggugat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa hakim PA Ponorogo tidak memasukkan istri ke 2 sebagai ahli waris dalam perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA.PO?
2. Mengapa hakim PA Ponorogo tidak mempertimbangkan hibah dalam perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA.PO?
3. Mengapa hakim PA Ponorogo menolak pembagian waris penggugat dalam perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA.PO?
C. Kajian Pustaka
Masalah waris sangat penting untuk dipelajari, karena hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, sehingga yang membahas dan mengkaji masalah waris ini juga banyak.
Diantaranya adalah skripsi yang ditulis oleh Citra Puspita Sari dalam skripsinya “studi analisis terhadap putusan PA Surabaya dan PTA Surabaya yang menyelesaikan perkara gugatan waris” 2006. inti permasalahannya membahas tentang:
1. Bagaimana putusan PA Surabaya dan dasar hukum yang dipakai hakim dalam menyelesaikan perkara gugatan waris No. 145/Pdt.G/2000/PA Sby
2. Bagaimana putusan PTA Surabaya dan dasar hukum yang dipakai hakim dalam menyelesaikan perkara gugatan waris No. 145/Pdt.G/2000/PTA Sby
3. Bagaimana analisis KHI terhadap putusan dan dasar hukum yang digunakan hakim PA Surabaya dan hakim PTA Surabaya.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Ahmad Affandy dengan judul “Analisis Hukum Islam tentang putusan PA Pasuruan No. 534/Pdt.G/1995/PA.Pas. tentang pembagian harta waris”. 2004. inti permasalahannya adalah:
1. Apakah yang menjadi dasar hukum putusan hakim PA Pasuruan No. 534/Pdt.G/1995/PA.Pas. tentang pembagian harta waris.
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap putusan hakim PA Pasuruan No. 534/Pdt.G/1995/PA.Pas. tentang pembagian harta waris.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Mutia Farida yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap keputusan MA dalam menyelesaikan perkara kewarisan anak angkat di PA Blitar (Studi Kasus Putusan Reg. No. 416 K/AG/200)” tahun 2004. inti permasalahannya adalah:
1. Apakah perimbangan dan dasar hukum keputusan MA terhadap perkara kewarisan anak angkat dalam kaitannya dengan putusan PTA Surabaya dan PA Blitar.
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap keputusan MA dalam perkara kewarisan anak angkat yang kaitannya dengan putusan PTA Surabaya dan PA Blitar.
Skripsi ini juga membahas mengenai sengketa waris di Pengadilan Agama Ponorogo dalam perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA.PO. di mana perkara ini berlanjut hingga ke PTA Surabaya bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Disebabkan karena penggugat tidak puas dengan hasil keputusan hakim PA Ponorogo dan PTA Surabaya, sehingga penggugat mengajukan kasasi dengan harapan mengabulkan gugatan penggugat dan mendapat penyelesaian yang lebih adil.
Kemudian hakim Mahkamah Agung mengabulkan gugatan penggugat sebagian dan memutuskan membatalkan putusan PA Ponorogo dan PTA Surabaya. Maka dalam skripsi ini penulis ingin mengkaji mengenai putusan PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO yang menolak sebagian gugatan penggugat dalam hal pembagian waris, penetapan obyek sengketa waris karena kurang mempertimbangkan masalah hibah dan juga tidak memasukkan ahli waris (istri ke-2) ke dalam daftar ahli waris. Di mana penulis ingin mengetahui alasan-alasan atau pertimbangan hakim PA Ponorogo dan juga menganalisa putusan PA Ponorogo dari segi Hukum Islam.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Alasan atau perimbangan hakim PA Ponorogo tidak memasukkan istri ke 2 sebagai ahli waris dalam perkara No.519/Pdt.G/2000/PA.PO
2. Alasan atau pertimbangan hakim PA Ponorogo tidak mempertimbangkan hibah waris dalam perkara No.519/Pdt.G/2000/PA.PO.
3. Alasan atau pertimbangan hakim PA Ponorogo menolak pembagian waris penggugat dalam perkara No.519/Pdt.G/2000/PA.PO.
4. Mengetahui analisa hukum Islam terhadap putusan PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan dapat digunakan untuk:
1. Menambah ragam khasanah ilmu, khususnya di bidang hukum kewarisan serta upaya hakim dalam menyelesaikan sengketa waris.
2. Dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah waris.
F. Definisi Operasional
Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berdasarkan syar'i’at Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadits
Putusan : (Vonis) atau produk pengadilan karena adanya kedua belah pihak yang berlawanan yaitu penggugat dan tergugat. Keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Pengadilan Agama : Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan agama yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Agung : Pengadilan Negara Tertinggi.
Sengketa Waris : Perselisihan dalam hal waris atau harta peninggalan.
G. Metode Penelitian
1. Data yang Dikumpulkan
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan pada skripsi ini diantaranya:
a. Data tentang putusan hakim PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO mengenai sengketa waris
b. Data tentang putusan hakim PTA Surabaya No. 134/Pdt.G/2001/PTA.SBY yang menguatkan putusan PA Ponorogo.
c. Data tentang putusan hakim MA No. 244 K/AG/2002. yang membatalkan putusan PA Ponorogo dan PTA Surabaya dalam sengketa waris.
d. Data tentang pendapat hakim PA Ponorogo dalam memutuskan perkara ini.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber primer dan sekunder.
a. Sumber primer
1) Dokumen putusan hakim PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO
2) Dokumen putusan hakim PTA No. 134/Pdt.G/2001/PTA.SBY.
3) Dokumen putusan hakim MA No. 244 K/AG/2002.
4) Hakim atau panitera di Pengadilan Agama Ponorogo yang terlibat langsung dalam perkara ini
b. Sumber sekunder
1) Fathur Rahman, Ilmu Waris.
2) Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam
3) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 14
4) Otje Salman S, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam.
5) Muhammad Ali Ah-Shabuni, Pembagian Waris menurut Islam
6) Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam.
7) Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam.
8) M. Syakroni, Konflik Harta Waris
Dan referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah waris.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang lebih jelas dengan tanya jawab langsung antara peneliti dan para hakim atau panitera di PA Ponorogo.
b. Studi dokumen menyimpan dan mencatat data-data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan pada penulisan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut dengan menggunakan metode:
a. Deskriptif analisis
Yakni menguraikan kasus yang terjadi secara sistematis dan menyeluruh sehingga bisa diketahui peristiwa secara obyektif, di samping itu dilakukan telaah terhadap peristiwa tersebut secara cermat untuk sampai pada kesimpulan, dengan menguraikan tentang sebab-sebab hakim dalam menolak sebagian gugatan penggugat dalam hal sengketa waris. Kemudian disimpulkan dengan menggunakan pola pikir deduktif.
Dengan pola pikir ini akan diuraikan mengenai putusan hakim yang menolak sebagian gugatan penggugat dalam hal penetapan obyek sengketa, pembagian waris dan tidak memasukkan sebagian ahli waris dalam daftar ahli waris kemudian dianalisa dengan menggunakan teori dari dalil yang ada hingga didapatkan suatu kesimpulan.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam penulisan penelitian ini maka disistematikakan sebagai berikut
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang di dalamnya mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan terakhir sistematik pembahasan.
Bab kedua, landasan teori hukum kewarisan Islam yang mencakup pengertian, dasar dan sumber hukum, azas-azas kewarisan, rukun-rukun dan syarat-syarat waris, kewajiban terhadap harta waris, sebab-sebab mendapat waris dan sebab-sebab penghalang mendapat waris, serta ahli waris dan bagiannya dan juga menjelaskan hibah waris.
Bab ketiga, deskripsi hasil penelitian putusan PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO. yang mencakup obyek lokasi penelitian dan putusan PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO memuat duduk perkara, pertimbangan hakim, dasar hukum hakim dan keputusan.
Bab keempat, merupakan analisis putusan PA Ponorogo No.519/Pdt.G/2000/PA.PO tentang sengketa waris, meliputi analisa terhadap Alasan dan pertimbangan hakim yang tidak memasukkan istri ke-2 dalam daftar ahli wars dan alasan atau pertimbangan hakim dalam hal hibah waris, alasan atau perimbangan hakim dalam penolakan pembagian waris.
Bab kelima, merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
Posted by SYIFAUL QULUB S.Hi at 11:44 AM
amazing, crowning, shining, and give a brightness (spirit to change n shares everything)
Selasa, 21 Juni 2011
hukum agraria
SEJARAH HUKUM AGRARIA
Dalam membicarakan sejarah hukum agraria,kita perlu meninjau dahulu sejarah kehidupan manusia dan dalam lintasan sejarah inipulalah hukum agraria itu lahir dan berkembang. Sejarah kehidupan manusia pada dasarnya dapat dijabarkan melalui tahap-tahap berikut ini.
Dalam tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif,baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula.Pada tahap ini oarang tentu saja masih secara nomaden atau mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap dari hutan yang satu ke hutan yang lain dan dari daerah satu ke daerah yang lain.
Dalam tahap II, manusia telah menemukan mata pencaharian baru yakni berburu yang biasanya juga masih dilakukan oleh nomden yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada.
Dalam tahap III manusia menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni berternak meskipun sistem pelaksanaannya pun masih primitif dan nomaden pula. Dalam tahap ini, mata pencaharian manusia masih tetap berternak namun pola hiup manusia kemudian berubah dari hidup mengembara menjadi pola hidup menetap. Tetapi dalam pola ternak yang menetap ini, manusia tidak mempersoalkan pengetahuannya dalam bidang pertanahan megingat sebagian besar pemikiran mereka masih berpusat pada bidang peternakan.
Dalam tahap IV yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap, barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata penchariannya. Pada tahap inilah baru manusia memikirkan an mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan tentang hal pertanahan manusia pada masa itu tentu saja masih sangat sederhana dan sepit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapnya saja. Disamping itu kehidupan manusia dalam tahap ini pun masih bersifat sangat pasif terhadap alam, artinya manusia hanya bias menerima saja segala akibat yang ditimbulkan oleh alam tanpa sedikitpun bisa berusaha mencegahnya, misalnya dalam hal terjadi bencana alam seperti banjir dan sebagainya.
Manusia pada masa itu paling-paling hanya dapat mengelakkannya saja dengan satu-satunya cara mengembara atauberpindah-pindah ke daerah yang lain dan memulaimata pencaharian mereka itu dari awal lagi. Jadi pada masa itu manusia memang telah mengenal hal-ihwal pertanahan, tetapi belum mampu mengubah alam yang tentunya disebabkan karena masih kurangnya atau sangat terbatasnya pengetahuan dan ketiadaan alat.
Dalam tahap V, pola hidup berkelompok sudah semakin umum mewarnai kehidupan manusia. Dalam tahap ini manusia telah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi tentu masih dalam taraf,pola dan system sederhana, yakni tukar-menukar barang. Dalam system atau pola perdagangan ini, uang sebagai alat tukar umum belum dikenal orang karena pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan melalui pertukarannya dengan barang lain yang harganya dianggap sebanding.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.
Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan tahun 1870.
Agrarisch Besluit ini dalam pasal 1 memuat suatu asas yang sangat penting yang merupakan asas dari semua peraturan Agraria Hindia Belanda. Asas ini disebut “Domein Verklaring” atau juga bisa disebut asas domein, yaitu asas bahwa “semua tanah yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya adalah domein Negara” yaitu tanah milik negera
Setelah Proklamasi kemerdekaan Negara kita tahun 1945, undang-undang Agraria diatas dengan segala peraturan organiknya dan buku ke-2 KUHS tentang benda, kecuali peratuaran-peraturan mengenai hipotek, telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh undan-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang hanya berlaku satu undang-undang yang mengatur agraia, yaitu Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960. Ini berarti bahwa dalam bidang hukum agraria telah tercapai keseragaman hukum, atau dengan istilah hukumnya telah terdapat unifikasi hukum agrarian yang berarti bahwa berlaku satu hukum agraria bagi semua warga Indonesia. Jadi dualisme dan pluralisme dalam bidang hukum agrarian telah dapat dihapuskan.
Posted by SYIFAUL QULUB S.Hi at 1:19 PM
Dalam membicarakan sejarah hukum agraria,kita perlu meninjau dahulu sejarah kehidupan manusia dan dalam lintasan sejarah inipulalah hukum agraria itu lahir dan berkembang. Sejarah kehidupan manusia pada dasarnya dapat dijabarkan melalui tahap-tahap berikut ini.
Dalam tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif,baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula.Pada tahap ini oarang tentu saja masih secara nomaden atau mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap dari hutan yang satu ke hutan yang lain dan dari daerah satu ke daerah yang lain.
Dalam tahap II, manusia telah menemukan mata pencaharian baru yakni berburu yang biasanya juga masih dilakukan oleh nomden yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada.
Dalam tahap III manusia menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni berternak meskipun sistem pelaksanaannya pun masih primitif dan nomaden pula. Dalam tahap ini, mata pencaharian manusia masih tetap berternak namun pola hiup manusia kemudian berubah dari hidup mengembara menjadi pola hidup menetap. Tetapi dalam pola ternak yang menetap ini, manusia tidak mempersoalkan pengetahuannya dalam bidang pertanahan megingat sebagian besar pemikiran mereka masih berpusat pada bidang peternakan.
Dalam tahap IV yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap, barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata penchariannya. Pada tahap inilah baru manusia memikirkan an mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan tentang hal pertanahan manusia pada masa itu tentu saja masih sangat sederhana dan sepit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapnya saja. Disamping itu kehidupan manusia dalam tahap ini pun masih bersifat sangat pasif terhadap alam, artinya manusia hanya bias menerima saja segala akibat yang ditimbulkan oleh alam tanpa sedikitpun bisa berusaha mencegahnya, misalnya dalam hal terjadi bencana alam seperti banjir dan sebagainya.
Manusia pada masa itu paling-paling hanya dapat mengelakkannya saja dengan satu-satunya cara mengembara atauberpindah-pindah ke daerah yang lain dan memulaimata pencaharian mereka itu dari awal lagi. Jadi pada masa itu manusia memang telah mengenal hal-ihwal pertanahan, tetapi belum mampu mengubah alam yang tentunya disebabkan karena masih kurangnya atau sangat terbatasnya pengetahuan dan ketiadaan alat.
Dalam tahap V, pola hidup berkelompok sudah semakin umum mewarnai kehidupan manusia. Dalam tahap ini manusia telah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi tentu masih dalam taraf,pola dan system sederhana, yakni tukar-menukar barang. Dalam system atau pola perdagangan ini, uang sebagai alat tukar umum belum dikenal orang karena pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan melalui pertukarannya dengan barang lain yang harganya dianggap sebanding.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.
Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan tahun 1870.
Agrarisch Besluit ini dalam pasal 1 memuat suatu asas yang sangat penting yang merupakan asas dari semua peraturan Agraria Hindia Belanda. Asas ini disebut “Domein Verklaring” atau juga bisa disebut asas domein, yaitu asas bahwa “semua tanah yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya adalah domein Negara” yaitu tanah milik negera
Setelah Proklamasi kemerdekaan Negara kita tahun 1945, undang-undang Agraria diatas dengan segala peraturan organiknya dan buku ke-2 KUHS tentang benda, kecuali peratuaran-peraturan mengenai hipotek, telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh undan-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang hanya berlaku satu undang-undang yang mengatur agraia, yaitu Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960. Ini berarti bahwa dalam bidang hukum agraria telah tercapai keseragaman hukum, atau dengan istilah hukumnya telah terdapat unifikasi hukum agrarian yang berarti bahwa berlaku satu hukum agraria bagi semua warga Indonesia. Jadi dualisme dan pluralisme dalam bidang hukum agrarian telah dapat dihapuskan.
Posted by SYIFAUL QULUB S.Hi at 1:19 PM
KONFLIK DALAM PILKADA ANATOMI KONFLIK DALAM PILKADA
Konflik Pilkada Maluku Utara yang pekan ini menjadi sorotan publik menambah daftar sengketa yang terjadi pada Pilkada. Ada yang istimewa dalam konflik pilkada Maluku Utara, yakni konflik KPUD Maluku Utara dengan KPU Pusat sudah sangat terbuka. Dan baru kali inilah pilkada yang secara terang memasukkan KPU pusat sebagai salah satu aktor konflik dalam pilkada. Tulisan ini tidak bermaksud membedah konflik antara KPU dan KPUD Malut. Namun lebih luas perlu dikaji bersama bahwa fenomena konflik pilkada sesungguhnya memperlemah apresiasi publik terhadap pilkada. Sejujurnya, sebagian masyarakat semakin apatis melihat fenomena pilkada yang biasanya berujung pada sengketa dan konflik pilkada pasca pilkada. Sepanjang 2005-2007, Pilkada telah melahirkan sengketa besar dan berujung pada kekerasan dan kerusuhan seperti Pilkada Depok (2005), Pilkada Tuban dan Pilkada Sulawesi Barat (2006) dan paling terakhir Pilkada Buleleng dan pilkada gubenur di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan (2007) . Pembacaan terhadap konflik pilkada memberi jalan kita untuk memberi rekomendasi terhadap perbaikan pelaksanaan pilkada selanjutnya.
Anatomi konflik Pilkada
Dari hasil pemantauan JPPR di sepanjang Pilkada 2005-2007, umumnya sengketa dan konflik yang terjadi di Pilkada dipicu oleh tiga factor;
Pertama, Tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada.
Terlepas belum jelasnya aturan pelaksana putusan MK, namun konflik dan sengketa mulai muncul akibat adanya calon independen di beberapa daerah yang ikut pendaftaran calon Bupati/wakil Bupati namun secara tegas ditolak oleh KPUD, seperti kasus di pilkada Cilacap tahun 2007 yang lalu. Bahkan tahun 2008, dukungan dan keinginan terhadap lolosnya calon independen semakin kuat, khususnya dalam pelaksanaan Pilgub. Ada kecenderungan beberapa kandidat yang akan maju dalam pilgub 2008 akan memanfaatkan peluang dibolehkannya calon independen maju dalam pilkada. Terkecuali pilgub Sumatera Utara dan Jawa Barat yang sudah melewati tahapan penetapan calon, beberapa pilgub seperti Jatim dan Jateng tetap panas dengan isu calon independen
Kedua, tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa pilkada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman pilkada selama ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari ”H”. Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Kasus pilkada Kalimantan Barat akhir tahun lalu yang diwarnai protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000 pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap ( DPT).
Tahapan yang juga biasanya mengalamai kekisruhan akibat pendataan pemilih yang kurang valid adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Barat yang sempat berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak puas atas hasil penghitungan karena diduga banyak terjadi kecurangan dan banyak pemilih tidak terdaftar.
Pemicu ketiga yang biasanya memunculkan konflik dalam pilkada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005 di mana DPRD bersikukuh menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut biasanya berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislative pasca pilkada, seperti kasus Pilkada Depok.
Ketiga konflik tersebut, ada yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan juga secara politis. Sengketa Pilkada yang diawali oleh factor pertama dan kedua seperti disebut diatas sangat memungkinkan diselesaikan oleh jalur hukum. Mengingat secara normative yuridis, sengketa yang terjadi dalam Pilkada telah cukup akomodatif diatur dalam UU No 32 tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah No 06 tahun 2005. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pasal 106 UU 32 Tahun 2005: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Solusi yuridis ini memberi pesan bahwa seperti apapun konflik dan perselisihan yang ada dalam pilkada, sebaiknya dikelola bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi oleh tindakan kekerasan dan anarkisme. Di sisi lain memang disadari bahwa kondisi lembaga dan penegak hukum di negeri ini yang masih carut marut kemudian memposisikan sengketa terus berlarut tanpa penyelesaian yang elegan melalui jalur hukum. Namun konflik pilkada yang cukup krusial sesungguhnya adalah sengketa yang memiliki muatan politis akibat dari kekalahan pada pilkada. Seperti yang tersebut pada factor ketiga pemicu konflik di atas, maka memang tidak mudah mengakhiri konflik “politik” ini memalui jalur hukum, karena sengketa ini murni persoalan politik. Kasus seperti sengketa Pilkada Depok dan Banyuwangi yang begitu panjang akhirnya melahirkan instabilitas politik di daerah tersebut.
Oleh karena itu, konflik pilkada yang semakin ramai mendominasi pelaksanaan pilkada akhir-akhir ini mesti segera disikapi dengan langkah antisipatif. Pertama, KPDU dan Panwaslu (sebentar lagi ada Bawaslu) hendaknya secar sungguh-sungguh memposisikan diri sebagai pihak yang independen dan mampu memberikan pelayanan yang objektif kepada semua kandidat. Ketidaknetralan KPU/KPUD akhir-akhir ini menjadi salah satu pemicu munculnya konflik pada pilkada. Kedua, perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem kerja di setiap tahapan pilkada yang selama ini ini rawan memicu konflik. Misalnya soal pendaftaran pemilih. Sudah saatnya persoalan sistem pendaftaran pemilih dikoreksi total dengan memfungsikan kembali kerja Dinas Kependudukan secara maksimal. Ketiga, merevitalisasi fungsi Bawaslu dan Panwaslu dalam merespon laporan pelanggaran. Umumnya, konflik pilkada dimulai dari minimnya lambatnya Panwaslu dalam merespon pelanggaran yang terjadi. Karena pihak panwaslu tidak merespon secara cepat, maka masyarakat kemudian mai hakim sendiri yang berbuntut pada konflik. Keempat, para kandidat yang sudah ditetapkan sebagai calon resmi,hendaknya secara sungguh-sungguh melaksanakan komitmen Siap Menang dan Siap Kalah. Selama ini, jargon tersebut sekedar ucapan simbolik untuk meraih simpati. Namun pada prakteknya, sebagian besar kandidat justru siap Menang dan tak siap Kalah. Selain itu, segenap stakeholders pilkada mesti memiliki komitmen bersama untuk memposisikan pilkada sebagai kekuatan awal konsolidasi demokrasi di daerah.
Selanjutnya, untuk menjamin legitimasi politis bagi pemimpin yang terpilih, maka sengketa politik yang diawali oleh kekecewaan akibat kekalahan mestinya diakhiri dengan duduk bersama antar semua kandidat, baik yang kalah maupun yang menang. Hendaknya para kandidat yang bertarung dalam pilkada mampu memberi contoh kepada masyarakat bahwa menang dan kalah adalah sebuah dinamika dalam demokrasi.
Kita berharap dengan berakhirnya konflik dan perselisihan, mampu memposisikan pilkada sebagai media untuk memperkuat konsolidasi demokrasi. Sebab ketika sengketa dan perselisihan pilkada dibiarkan tanpa akhir, maka hal itu justru membuka ruang ketegangan pasca pilkada dan akhirnya memperlemah konsolidasi demokrasi! Pilkada – pilkada yang berlangsung selama ini diharapkan mempu melahirkan suasana yang lebih demokratis, meskipun sempat mengalami proses politik yang cukup tinggi. Kita berharap sengketa atau konflik yang sempat memanas seperti persoalan pendataan pemilih, adanya penurunan spanduk antar pendukung calon, kampanye negatif dan sebagainya segera diakhiri sering dengan berakhirnya pilkada. Mungkin itu.
Posted by SYIFAUL QULUB S.Hi at 12:10 PM
Anatomi konflik Pilkada
Dari hasil pemantauan JPPR di sepanjang Pilkada 2005-2007, umumnya sengketa dan konflik yang terjadi di Pilkada dipicu oleh tiga factor;
Pertama, Tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada.
Terlepas belum jelasnya aturan pelaksana putusan MK, namun konflik dan sengketa mulai muncul akibat adanya calon independen di beberapa daerah yang ikut pendaftaran calon Bupati/wakil Bupati namun secara tegas ditolak oleh KPUD, seperti kasus di pilkada Cilacap tahun 2007 yang lalu. Bahkan tahun 2008, dukungan dan keinginan terhadap lolosnya calon independen semakin kuat, khususnya dalam pelaksanaan Pilgub. Ada kecenderungan beberapa kandidat yang akan maju dalam pilgub 2008 akan memanfaatkan peluang dibolehkannya calon independen maju dalam pilkada. Terkecuali pilgub Sumatera Utara dan Jawa Barat yang sudah melewati tahapan penetapan calon, beberapa pilgub seperti Jatim dan Jateng tetap panas dengan isu calon independen
Kedua, tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa pilkada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman pilkada selama ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari ”H”. Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Kasus pilkada Kalimantan Barat akhir tahun lalu yang diwarnai protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000 pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap ( DPT).
Tahapan yang juga biasanya mengalamai kekisruhan akibat pendataan pemilih yang kurang valid adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Barat yang sempat berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak puas atas hasil penghitungan karena diduga banyak terjadi kecurangan dan banyak pemilih tidak terdaftar.
Pemicu ketiga yang biasanya memunculkan konflik dalam pilkada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005 di mana DPRD bersikukuh menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut biasanya berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislative pasca pilkada, seperti kasus Pilkada Depok.
Ketiga konflik tersebut, ada yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan juga secara politis. Sengketa Pilkada yang diawali oleh factor pertama dan kedua seperti disebut diatas sangat memungkinkan diselesaikan oleh jalur hukum. Mengingat secara normative yuridis, sengketa yang terjadi dalam Pilkada telah cukup akomodatif diatur dalam UU No 32 tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah No 06 tahun 2005. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pasal 106 UU 32 Tahun 2005: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Solusi yuridis ini memberi pesan bahwa seperti apapun konflik dan perselisihan yang ada dalam pilkada, sebaiknya dikelola bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi oleh tindakan kekerasan dan anarkisme. Di sisi lain memang disadari bahwa kondisi lembaga dan penegak hukum di negeri ini yang masih carut marut kemudian memposisikan sengketa terus berlarut tanpa penyelesaian yang elegan melalui jalur hukum. Namun konflik pilkada yang cukup krusial sesungguhnya adalah sengketa yang memiliki muatan politis akibat dari kekalahan pada pilkada. Seperti yang tersebut pada factor ketiga pemicu konflik di atas, maka memang tidak mudah mengakhiri konflik “politik” ini memalui jalur hukum, karena sengketa ini murni persoalan politik. Kasus seperti sengketa Pilkada Depok dan Banyuwangi yang begitu panjang akhirnya melahirkan instabilitas politik di daerah tersebut.
Oleh karena itu, konflik pilkada yang semakin ramai mendominasi pelaksanaan pilkada akhir-akhir ini mesti segera disikapi dengan langkah antisipatif. Pertama, KPDU dan Panwaslu (sebentar lagi ada Bawaslu) hendaknya secar sungguh-sungguh memposisikan diri sebagai pihak yang independen dan mampu memberikan pelayanan yang objektif kepada semua kandidat. Ketidaknetralan KPU/KPUD akhir-akhir ini menjadi salah satu pemicu munculnya konflik pada pilkada. Kedua, perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem kerja di setiap tahapan pilkada yang selama ini ini rawan memicu konflik. Misalnya soal pendaftaran pemilih. Sudah saatnya persoalan sistem pendaftaran pemilih dikoreksi total dengan memfungsikan kembali kerja Dinas Kependudukan secara maksimal. Ketiga, merevitalisasi fungsi Bawaslu dan Panwaslu dalam merespon laporan pelanggaran. Umumnya, konflik pilkada dimulai dari minimnya lambatnya Panwaslu dalam merespon pelanggaran yang terjadi. Karena pihak panwaslu tidak merespon secara cepat, maka masyarakat kemudian mai hakim sendiri yang berbuntut pada konflik. Keempat, para kandidat yang sudah ditetapkan sebagai calon resmi,hendaknya secara sungguh-sungguh melaksanakan komitmen Siap Menang dan Siap Kalah. Selama ini, jargon tersebut sekedar ucapan simbolik untuk meraih simpati. Namun pada prakteknya, sebagian besar kandidat justru siap Menang dan tak siap Kalah. Selain itu, segenap stakeholders pilkada mesti memiliki komitmen bersama untuk memposisikan pilkada sebagai kekuatan awal konsolidasi demokrasi di daerah.
Selanjutnya, untuk menjamin legitimasi politis bagi pemimpin yang terpilih, maka sengketa politik yang diawali oleh kekecewaan akibat kekalahan mestinya diakhiri dengan duduk bersama antar semua kandidat, baik yang kalah maupun yang menang. Hendaknya para kandidat yang bertarung dalam pilkada mampu memberi contoh kepada masyarakat bahwa menang dan kalah adalah sebuah dinamika dalam demokrasi.
Kita berharap dengan berakhirnya konflik dan perselisihan, mampu memposisikan pilkada sebagai media untuk memperkuat konsolidasi demokrasi. Sebab ketika sengketa dan perselisihan pilkada dibiarkan tanpa akhir, maka hal itu justru membuka ruang ketegangan pasca pilkada dan akhirnya memperlemah konsolidasi demokrasi! Pilkada – pilkada yang berlangsung selama ini diharapkan mempu melahirkan suasana yang lebih demokratis, meskipun sempat mengalami proses politik yang cukup tinggi. Kita berharap sengketa atau konflik yang sempat memanas seperti persoalan pendataan pemilih, adanya penurunan spanduk antar pendukung calon, kampanye negatif dan sebagainya segera diakhiri sering dengan berakhirnya pilkada. Mungkin itu.
Posted by SYIFAUL QULUB S.Hi at 12:10 PM
Langganan:
Postingan (Atom)