Halaman

Minggu, 28 November 2010

Terpidana Mati Kasus Narkoba :: KAPAN DIEKSEKUSI ?

[10 Oktober 2006, 11:47 WIB] Oleh : SADAR BNN September 2006 / Adi KSG IV
... Banyak permohonan grasi dari para terpidana mati kasus narkoba yang datang kepada saya. Tetapi tentunya, saya sendiri lebih memilih keselamatan bangsa dan negara kita, memilih keselamatan generasi kita, generasi muda kita, dibanding memberikan grasi kepada mereka..."
(Disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan HANI 2006 di Istana Negara)

Sejak tahun 1994 sampai dengan saat ini (tahun 2006), tercatat 44 orang telah mendapat vonis hukuman mati pada tingkat pengadilan pertama. Proses seianjutnya 3 orang di antaranya telah menjalani eksekusi hukuman mati pada tingkat kasasi, 10 orang yang telah mendapatkan vonis hukuman mati mengajukan peninjauan kembali (PK), 5 orang berubah menjadi hukuman seumur hidup, 1 orang berubah menjadi hukuman 15 tahun penjara, serta yang lain masih dalam proses banding dan kasasi.

Dari data tersebut kita mungkin akan mengajukan kata "heran". Atau lebih tepat lagi kita mempertanyakan kembali tentang kesungguhan pemerintah dalam proses hukum kasus narkoba. Sebab, sejak tahun 2004 tercatat baru 3 orang yang telah menjalani proses eksekusi mati, sisanya selalu dikatakan masih dalam proses. Padahal, telah berulang kali pemerintah mengatakan tentang kesungguhannya menangani kasus narkoba. Bahkan, presiden pun dengan jelas menolak pemberian grasi kepada para terpidana narkoba.

Sedikit angin segar pun berhembus. Pada bulan Juni lalu, sebagian pemberitaan di media massa merilis tentang kepastian Kejagung (Kejaksaan Agung) untuk segera mengeksekusi 16 orang terpidana kasus narkoba yang akan dihukum mati. Dalam pemberitaan tersebut disebutkan, proses hukum ke-16; terpidana mati tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde) dan siap untuk dilaksanakan eksekusi. Namun, yang menjadi masalah pihak Kejagung belum bisa memastikan batas waktu eksekusi tersebut.

Mungkin benar juga bila kita mengutip pernyataan aktivis LSM Narkoba yang juga pengacara terkenal, Henry Yosodiningrat yang mengatakan tidak terima bahwa kasus narkoba masih ditempatkan di urutan terakhir dalam 3 prioritas utama penegakan hukum di Indonesia setelah korupsi dan terorisme. Alasannya, ditinjau dari dampak kerugian dan korban jiwa ! yang jatuh, kejahatan narkoba sangat jauh melampaui dua kejahatan sebelumnya.


Kendala yang Dihadapi

Inti persoalannya adalah proses eksekusi bagi para terpidana mati kasus narkoba tidak kunjung dilakukan walaupun telah memiliki kekuatan hukum tetap. Padahal untuk menunggu adanya kekuatan hukum tetap, dibutuhkan waktu yang sangat lama. Ayodhya Prasad Chaubey, seorang warga negara India, dan dua orang berkebangsaan Thailand, Saelow Prasert dan Namsong Sirilak, membutuhkan waktu 10 tahun sebelum akhirnya mereka dieksekusi pada tahun 2004.

Kepala Pusat Dukungan Penegakan Hukum Pelaksana Harian BNN (KapusDukGakum BNN) Drs. Djoko Satriyo, Msi pun menyesalkan kenapa para terpidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak segera dieksekusi. "Itu yang menjadi masalah. Karena memang hukum di negara kita ini tidak menjelaskan berapa lama orang itu menjalani upaya hukum dari satu proses ke proses yang lain. Dalam hukum acara pidana kita tidak jelas. Sistem hukum kita yang mengatur demikian sehingga para terpidana masih bisa bermain dengan sistem hukum yang ada ini." ucap Djoko. Menurutnya yang menjadi kendala sebetulnya adalah komitmen dari masing-masing pihak, sebab prinsipnya adalah ketika suatu perkara sudah memiliki kekuatan hukum tetap, maka harus segera dilaksanakan eksekusinya.

Senada dengan Djoko, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Komisi II, Anhar Nasution mengatakan bahwa para anggota dewan sudah lelah berteriak kepada Jaksa Agung agar segera melaksanakan eksekusi para terpidana kasus narkoba yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu Anhar menganggap bahwa kejaksaan ini lelet. "Kalau begini terus bagaimana nasib bangsa ini ke depan terkait dengan hukuman mati tentang kasus narkoba?" kecam Anhar. Anhar menambahkan bahwa setiap persoalan tertundanya pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkoba ini ditanyakan kepada pihak Kejaksaan, dirinya selalu mendapatkan jawaban persoalan ini sedang dikaji oleh tim kejaksaan. "Sampai kapan pengkajiannya, kita juga tidak tahu," ujar pria yang juga menjadi Ketua Presidium Satgas Anti Narkoba (SAN) ini.

Di lain tempat, kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala berpendapat tertundanya pengeksekusian hukuman mati untuk perkara narkoba bukan semata-mata karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan upaya hukum dari tingkat banding sampai tingkat grasi, walaupun itu tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab tertundanya eksekusi. Adrianus menjelaskan dengan memberi contoh kasus Fabianus Tibo dan kawan-kawan, terpidana mati kasus Poso yang hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap pada tingkat grasi. "Artinya sebenarnya itu bisa dibuat cepat kok," ucap Adrianus singkat.

Lalu kalau memang proses untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap bisa dipercepat, mengapa yang terjadi dalam perkara narkoba malah sebaliknya? Apakah ini mengindikasikan pemerintah kurang serius dalam menangani masalah narkoba, padahal dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia belum pernah ada seorang presiden yang memberikan grasi kepada para terpidana mati kasus narkoba. Ini mengambarkan bahwa dalam tataran pemimpin, kesungguhan untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sudah bagus. Namun parahnya, hal itu tidak dilaksanakan dengan baik oleh tataran bawah, yakni instansi-instansi terkait yang mengurusi.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam hal ini yang mendapatkan sorotan paling banyak. Sebab keputusan untuk mengeksekusi para terpidana mati ada di lembaga ini. Namun sayangnya ketika SADAR mencoba menanyakan perihal ini, pihak Kejaksaan Agung tidak menanggapi dan menjawab pertanyaan kami dengan alasan birokrasi atau belum ada disposisi dari pimpinan.


Perlu Revisi Undang-undang

Penyelesaian masalah narkoba di Indonesia jelas butuh penanggulangan yang menyeluruh. Artinya selain ada upaya pencegahan, pengobatan untuk orang yang sudah terkena narkoba, juga harus dibarengi dengan penegakan hukum yang keras dan tegas kepada para penjahat narkoba ini. Menanggapi lemahnya penegakan hukum untuk kasus narkoba di Indonesia, Anhar Nasution beranggapan bahwa memang perlu adanya perubahan total dari UU Narkotika No. 22 tahun 1997 dan UU Psikotropika No. 5 tahun 1997.

Anhar yang kebetulan juga anggota dari Panitia Khusus (Pansus) Narkotika DPR mengatakan bahwa Pansus sudah menyepakati adanya jangka waktu untuk pelaksanaan hukuman mati bagi para terpidana yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap. "Maksimal dalam waktu 30 hari setelah mempunyai kekuatan hukum tetap itu harus segera dieksekusi secara otomatis, tidak usah ada fatwa-fatwa lagi dari MA," terangnya.

Anhar juga menyebutkan bahwa khusus untuk kasus narkoba, UU-nya akan bersifat lex spesialis atau hukum yang mengalahkan hukum-hukum lain. Jadi nantinya para terpidana kasus narkoba yang dipidana dengan hukuman mati tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukan upaya hukum seperti banding sampai grasi. Alasannya adalah karena para penjahat narkoba ini telah menghancurkan generasi muda bangsa Indonesia. Selain itu dalam revisi UU itu, Pansus juga akan mengacu pada hukum naRkoba yang diterapkan oleh Malaysia dan Singapura. Di dua negara tetangga tersebut diterapkan aturan jumlah minimal kepemilikan narkoba dan minimal hukumannya. Misalnya apabila seseorang ditangkap dengan barang bukti minimal 10 gram heroin, maka akan dipidana minimal 15 tahun penjara. Di Indonesia aturan seperti itu belum ada, yang ada hanyalah hukuman maksimal bukan hukuman minimal. "Nab, kalau ditulis paling lama lima tahun kan hakim bisa memutus sepuluh bulan atau satu bulan." terang Anhar.


Aturan Hukum Belum Jelas

Namun untuk merealisasikan permasalahan di atas, dibutuhkan aturan hukum yang jelas. "Sekarang ini kan hukumannya masih kurang jelas. Masih bias, antara pemakai dan pengedar atau bandar suka tumpang tindih. Nah, ini yang harus kita pertegas. Kalau memang betul dia sebagai pemakai atau korban, oleh negara wajib direhabilitasi. Tapi kalau dia pemakai tanpa melaporkan dan berulang kali dia lakukan itu, itu bukan lagi korban. Itu sudah menyalahi UU narkotika itu sendiri dan ada hukumannya. Berat ringannya sanksi itu kita tetapkan kemudian. Perhitungan kita kemarin itu hampir semua sepakat harus dihukum seberat-beratnya." ucap Anhar panjang lebar.

Dalam acara "Lokakarya Hukuman Mati di Indonesia" yang diadakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di Hotel Borobudur Jakarta, 6 Juli 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dalam makalahnya yang berjudul "Pelaksanaan Hukuman Mati Perkara Narkotika dan Psikotropika di Indonesia" menyebutkan bahwa hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan pidana mati antara lain karena aturan hukum mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) masih belum jelas, sehingga dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali untuk yang kedua kalinya. Lalu belum jelasnya aturan hukum yang mengatur apakah terpidana yang sudah mengajukan grasi dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan apakah grasi merupakan upaya hukum terpidana yang terakhir.

Kalau melihat dua hambatan yang disebutkan oleh Jaksa Agung tadi, maka masalah belum jelasnya hukum di Indonesia bisa dibilang adalah penyebab utama banyaknya perkara hukum yang terbengkalai dan tidak kunjung mendapat kekuatan hukum yang tetap. Namun, Djoko Satrio berpendapat lain. Menurutnya, dalam hukum acara pidana di Indonesia tidak terdapat peninjauan kembali untuk yang kedua kalinya. Djoko menyesali kenapa hal ini bisa terjadi dan Mahkamah Agung pun menerima permohonan PK yang kedua kalinya ini. Hal-hal seperti ini, tambah Djoko, harus segera dihilangkan, karena beberapa penelitian sudah memberi arah nyata bahwa permasalahan narkoba di negeri ini sudah sangat parah. "Marilah kita bicara hati nurani. Marilah kita melihat masa depan generasi penerus bangsa. Karena kalau tidak bangsa kita bisa dipimpin oleh para pemakai-pemakai narkoba semuanya." ungkap Djoko.


Seperti KPK

Perubahan status kejahatan narkoba dari pidana umum menjadi pidana khusus, juga masuk ke dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika yang dilakukan. Anhar mencontohkan, seperti halnya kasus korupsi yang memiliki komisi khusus KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan menempatkan jaksa penuntut khusus pula. Menurut Anhar, dalam revisi undang-undang, hakim dan jaksa khusus bagi kejahatan narkoba memang akan dibentuk dan diatur dalam undang-undang tersebut. "Jadi, hakim narkoba mengetahui betul bahwa narkoba itu merusak bangsa. Tidak sekedar menjatuhkan sanksi pidana, tidak hanya itu saja. Kalau bicata pidana gampang saja mereka menjatuhkan sanksi. Bisa dua bulan, tiga bulan, sebelum keluarga mereka kena, belum dihukum sebenar-benarnya," ujatnya lagi.

Adanya hakim setta jaksa penuntut khusus narkoba juga menjadi keinginan dati Djoko. "Jadi biat hakim dan jaksa itu bisa mendalami tentang narkoba. Percayalah pasti banyak pekerjaan hakim dan jaksa narkoba itu. Sekarang saja di penjara itu hampir 50 persen adalah narapidana kasus narkoba. Jadi gak mungkin hakim dan jaksa narkoba itu nganggur," ujar Djoko.

Komitmen penegak hukum dalam menangkap para pelaku kejahatan narkoba memang terlihat mengalami kemajuan yang pesat. Namun, apabila tidak diikuti oleh sanksi yang tegas dan proses hukum yang cepat, semuanya jadi tampak tidak berarti. Kasus dihukumnya Hariono Agus Cahyono, seorang bandar yang memiliki tiga kilogram shabu yang yang "hanya" dijatuhkan vonis pidana tiga tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakara Barat adalah bukti yang paling jelas. Bahkan untuk para terpidana mati kasus narkoba yang telah mendapat kekuatan hukum tetap pun pelaksanaan eksekusinya masih ditunda-tunda. Ketegasan ternyata masih sulit untuk dilakukan!
http://www.bnn.go.id/sumber;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar