Apa Kabar Prita Mulyasari
Jumat, 27 Agustus 2010 10:23 WIB
Perselisihan antara Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Internasional pernah menjadi perhatian nasional. Berhari-hari beritanya muncul di media cetak dan elektronik. Ada kesan bahwa Rumah Sakit Omni Internasional bersikap arogan, bahkan diduga bersekongkol dengan Kejaksaan Tangerang karena kejaksaan memasukkan Prita yang masih mempunyai anak susuan itu harus masuk penjara.
Dukungan bagi Prita pun memuncak melalui Facebook dan berhasil mengumpulkan lebih dari sejuta simpatisan. Bahkan, ketika diberitakan bahwa Rumah Sakit Omni meminta ganti rugi dan nampaknya pengadilan mengabulkan tuntutan itu, muncul gagasan untuk mengumpulkan koin bagi Prita. Konon dalam waktu singkat koin yang terkumpul mencapai lebih dari Rp600 juta.
Suatu prestasi gerakan masyarakat yang mengagumkan. Gerakan yang melambangkan perlawanan rakyat terhadap arogansi karena merasa lebih kuat, dan simbol perlawanan kepada sistem peradilan yang dianggap berpihak kepada yang lebih kuat. Prita pun kemudian berjanji akan memanfaatkan uang sumbangan pendukungnya itu untuk membantu pasien-pasien lain yang mengalami perlakuan serupa.
Di balik perlawanan masyarakat terhadap ketidakadilan itu, masalah yang sebenarnya adalah lemahnya posisi tawar pasien terhadap pelayanan medik di negeri ini. Kalangan pengusaha rumah sakit dan profesi kedokteran seperti tembok yang tidak dapat ditembus kritik ketika pasien merasa diperlakukan tidak seperti yang seharusnya.
Di sisi lain pihak pemerintah tidak mempunyai alat atau mekanisme untuk menjamin bahwa layanan medik di rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, memenuhi standar mutu yang seharusnya. Maka, ketika pasien mengalami hal yang mengecewakan, tidak ada tempat lagi untuk mengadu. Bahkan, ketika Prita mengadu kepada teman-temannya melalui email, iapun dikenakan tuduhan mencemarkan nama baik. Pihak pengadilan pun tidak mempertanyakan kepada penuntut apakah benar mereka memiliki nama baik.
Ketika Prita memperoleh dukungan yang massif dari masyarakat, barulah pihak rumah sakit dan dokter mulai sadar bahwa citra mereka tidaklah sebaik yang mereka duga sebelumnya. Tetapi apakah kasus Prita ini menjadi pelajaran untuk memperbaiki diri?
Dari laporan-laporan yang saya terima, kasus seperti Prita ini masih terus saja terjadi. Hanya saja ketika pasien mencoba mempertanyakan, pihak dokter dan rumah sakit memakai siasat baru. Yaitu menggertak dengan mengajukan “lawyer” mereka. Dan pengacara mereka itupun kemudian memakai gaya “stick and carrot”. Menawarkan ganti rugi sesuai maunya atau akan mempersulit pasien melalui pengadilan.
Ganti rugi yang ditawarkan pun tanpa melihat seberapa besar kerusakan atau kerugian yang diderita pasien akibat kesalahan tindakan medik yang diterimanya. Kalau tidak mau, silakan cari pengacara. Untuk pasien yang hanya berjualan gado-gado dan buta hukum, tidak tahu ke mana ia harus mencari pengacara yang mau membelanya. Semua harus menggunakan uang. Maka seperti kata pepatah, lepas dari mulut buaya jatuh ke mulut singa.
Kasus Prita hanya membuat pengusaha pelayanan medik lebih berhati-hati agar tidak tercium media massa, tetapi tidak membuat mereka memperbaiki mutu pelayanannya. Pemerintah pun lupa untuk mengawasinya. Semua kembali seprti biasa. Business as usual, kata orang Inggeris.
Maka muncul pertanyaan, ke mana Prita Mulyasari yang pernah berjanji akan membantu pasien yang mengalami kasus serupa dirinya? Mengapa sekarang diam seribu basa. Tidak pula jelas alamatnya jika ada yang hendak meminta pertolongan. Meskipun sumbangan masyarakat itu diberikan secara ikhlas, secara moral ia seharusnya menunjukkan akuntabilitasnya.
Prita bernasib baik karena peristiwa yang dialaminya terjadi menjelang pemilihan Presiden. Sehingga perhatian kepadanya juga diperoleh dari para calon presiden yang sedang mencari simpati rakyat. Tetapi bagi pasien-pasien lain, jangankan dijenguk presiden atau mereka yang ingin mencalonkan diri jadi presiden. Didengar pun tidak. Dari pengalaman ini makin jelas bahwa perhatian pemimpin kepada rakyat hanyalah sebatas ketika mereka membutuhkan dukungan rakyat. Setelah itu? Habis manis sepah dibuang.
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Bookmark and Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar