Halaman

Selasa, 20 Juli 2010

SOSIOLOGI HUKUM TUGAS BUAT SYARAT FINAL

Teori-Teori Sosiologi Hukum Menurut Para Ahli
1. Perhatian terhadap Masyarakat Sebelum Comte
Masa Auguste Comte dipakai sebagai patokan, oleh karena sebagaimana dinyatakan di muka Comte yang pertama kali memakai istilah atau pengertian “sosiologi”. Sosiologi dapatlah dikatakan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang relative muda usianya, karena baru mengalami perkembangan sejak masanya Comte tersebut. Akan tetapi di lain pihak, perhatian-perhatian serta pikiran-pikiran terhadap masyarakat manusia, telah dimulai jauh sebelum masa Comte.
Seorang filosof Barat yang untuk pertama kalinya menelaah masyarakat secara sistematis, adalah Plato (429-347 S.M.), seorang filosof Romawi. Sebetulnya Plato bermaksud untuk merumuskan suatu teori tentang bentuk Negara-negara yang dicita-citakan, yang organisasinya didasarkan pada pengmatan yang kritis terhadap sistem-sistem sosial yang ada pada zamannya. Plato menyatakan, bahwa masyarakat sebenarnya merupakan refleksi dari manusia perorangan. Suatu masyarakat akan mengalami kegoncangan, sebagaimana halnya manusia perorangan yang terganggu keseimbangan jiwanya yang terdiri dari 3 unsur yaitu nafsu, semangat dan intelegensia. Intelegensia merupakan unsur pengendali, sehingga suatu negara seyogyanya juga merupakan refleksi dari ketiga unsur yang berimbang atau serasi tadi.
Dengan jalan menganalisa lembaga-lembaga di dalam masyarakat, maka Plato berhasil menunjukkan hubungan fungsionil antara lembaga-lembaga tersebut yang pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikian maka Plato berhasil merumuskan suatu teori organis tentang masyarakat,, yang mencakup bidang-bidang kehidupan ekonomis dan sosial. Suatu unsur yang menyebabkan masyarakat berdinamika, adalah adanya sistem hukum yang identik dengan moral, oleh karena didasarkan pada keadilan.
Aristoteles (384-322 S.M.) mengikuti sistem analisa secara organis dari Plato. Di dalam bukunya Politics, Aristoteles mengadakan suatu analisa yang mendalam terhadap lembaga-lembaga politik dalam masyarakat. Pengertian politik dipergunakannya dalam arti yang luas, yakni mencakup juga masalah-masalah ekonomi dan sosial. Sebagaimana halnya dengan Plato, maka perhatiannya terhadap biologi menyebabkan dia mengadakan suatu analogi antara masyarakat dengan organisme biologis dari manusia. Di samping itu Aristoteles menggaris bawahi kenyataan bahwa basis masyarakat adalah moral. (etika dalam arti yang sempit.)
Pada akhir abad pertengahan munculah ahli filsafat Arab Ibn Khaldun (1332-1406), yang mengemukakan beberapa prinsip yang pokok, untuk menafsirkan kejadian-kejadian sosial dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah. Prinsip-prinsip yang sama dapat dijumpai, bila ingin mengadakan analisa terhadap timbul dan tenggelamnya suatu negara. Gejala-gejala yang sama akan terlihat pada kehidupan masyarakat-masyarakat pengembara, dengan segala kekuatan dan segala kelemahan-kelemahannya. Faktor-faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku, klan, negara, dan sebagainya, adalah rasa solidaritas. Faktor itulah yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan bersama antara manusia.
Pada zaman Rennaisance (1200-1600), tercatat nama-nama seperti Thomas More dengan Utopianya dan campanella yang menulis city of the sun. mereka masih sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan terhadap adanya masyarakat-masyarakat yang ideal. Berbeda dengan mereka N. Machievelli (terkenal dalam bukunya II Principe) yang menganalisa bagaimana mempertahankan kekuasaan. Untuk pertama kalinya politik dipisahkan dari moral, sehingga terjadi suatu pendekatan yang mekanis terhadap masyarakat. Pengaruh ajaran N. Machiavelli adalah antara lain, suatu ajaran, bahwa teori-teori politik dan sosial memusatkan perhatian-perhatian pada mekanisme pemerintah.
Abad ke 17 ditandai dengan munculnya Hobbes (1588-1679), yang berjudul The Leviathan yang ditandai dengan inspirasi-inspirasi dari hukum alam, fisika dan matematika. Dia beranggapan bahwa dalam keadaan alamiah, kehidupan manusia didasarkan pada keinginan-keinginan yang mekanis sehingga manusia selalu berkelahi. Akan tetapi mereka mempunyai pikiran , bahwa hidup damai dan tenteram adalah jauh lebih baik. Keadaan sepeti itu baru dapat tercapai, apabila mereka mengadakan suatu perjanjian atau kontrak atau pihak-pihak yang mempunyai wewenang, sampai pihak mana akan dapat memelihara ketentraman. Supaya keadaan damai tadi terpelihara, maka orang-orang harus sepenuhnya mematuhi pihak yang mempunyai wewenang tadi. Dalam keadaan demikianlah masyarakat dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Dapatlah dikatakan, bahwa alam pikiran pada abad ke tujuh belas tadi masih ditandai oleh anggapan-anggapan, bahwa lembaga-lembaga kemasyarakatan terikat pada hubungan-hubungan yang tetap. Hanya saja perlu dicatat, bahwa sebagai akibat dari keterangan-keterangan yang diperoleh dari para pengembara misionaris, mulai tumbuh anggapan-anggapan tentang adanya relativitas dasar lokalitas dan waktu.
Walaupun ajaran-ajaran pada abad ke-delapan belas masih bersifat rasionalistis, akan tetapi sifatnya yang dogmatis sudah agak berkurang. Pada abad ini muncullah antara lain ajaran John Locke (1632-1704) dan J.J. Rousseau (1772-1778) yang masih berpegang pada konsep kontrak social Hobbes. Menurut Locke, manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak azasi yang berupa hak untuk hidup, kebebasan dan hak atas harta benda. Kontrak antara warga masyarakat dengan pihak yang mempunyai wewenang sifatnya atas dasar faktor pamrih. Bila pihak yang mempunyai wewenang tadi gagal untuk memenuhi syarat-syarat kontrak, maka warga-warga masyarakat berhak untuk memilih pihak lain.
Rousseau antara lain berpendapat, bahwa kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah, menyebabkan tumbuhnya suatu kolektivitas yang mempunyai keinginan-keinginan umum. Keinginan umum tadi adalah berbeda dengan keinginan masing-masing individu.
Pada awal abad ke-sembilan belas, antara lain muncul ajaran-ajarran dari Saint-Simon (1760-1825) yang terutama menyatakan bahwa manusia hendaknya dipelajari dalam kehidupan berkelompok. Di dalam bukunya yang berjudul Memoirs sur la Science de l’home, dia menyatakan bahwa ilmu politik merupakan suatu ilmu yang positif. Artinya, masalah-masalah dalam ilmu politik hendaknya dianalisa dengan metode-metode yang lazim dipakai terhadap gejala-gejala lain. Dia memikirkan sejarah sebagai suatu fisika sosial. Fisiologi sangat mempengaruhi ajaran-ajarannya mengenai masyarakat. Masyarakat bukanlah semata-mata merupakan suatu kumpulan dari orang-orang belaka yang tindakan-tindakannya tidak mempunyai sebab, kecuali kemauan masing-masing. Kumpulan tersebut hidup, Karena didorong oleh organ-organ tertentu yang menggerakkan manusia untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu.
2. Sosiologi Auguste Comte (1798-1853)
Auguste Comte yang pertama-tama memakai istilah “Sosiologi” adalah orang pertama yang membedakan antara ruang lingkup dengan isi ilmu-limu pengetahuan lainnya. Dia menyusun suatu sistematika dari filsafat sejarah, dalam kerangka tahap-tahap pemikiran yang berbeda-beda. Menurut Comte ada tiga tahap perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap pertama dinamakannya tahap teologis atau fiktif, yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala di sekelilingnya secara teologis, yaitu dengan kekuatan-kekuatan yang dikendalikan roh dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Penafsiran ini penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang memusuhinya dan untuk melindungi dirinya terhadap faktor-faktor yang tidak terduga timbulnya.
Tahap kedua yang merupakan perkembangan dari tahap pertama, adalah tahap metafisik. Pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Pada tahap ini manusia masih terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi, oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam. Hal yang terakhir inilah yang merupakan tugas daripada ilmu pengetahuan positif, yang merupakan tahap ketiga atau tahap terakhir dari perkembangan manusia.
Gagasan tentang adanya ketiga tahap tersebut, walaupun merupakan suatu fiksi, akan tetapi hal itu memberikan penerangan terhadap pikiran manusia, serta secara psikologis merupakan suatu perkembangan yang penting. Ketiga tahap tadi dapat memenuhi pikiran manusia pada saat yang bersamaan, di mana kadang-kadang timbul pertentangan-pertentangan. Pertentangan-pertentangan seringkali tidak disadari oleh manusia, sehingga timbul ketidak serasian. Selanjutnya mengkaitkan industrialisasi dengan tahap ketiga dari perkembangan pikiran manusia. Secara logis, maka dalam masa industri tersebut akan terjadi perdamaian yang kekal. Itulah asumsi Comte, oleh karena tahap-tahap sebelumnya ditandai dengan adanya masa perbudakan dan militerisme yang penuh dengan pertikaian-pertikaian.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Comte dengan ilmu pengetahuan positif, dan dimanakah letak sosiologinya? Menurut Comte, suatu ilmu pengetahuan bersifat positif, apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Hierarki atau tingkatan ilmu-ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalitas dan penambahan kompleksitasnya, adalah sebagai berikut :
a. Matematika
b. Astronomi
c. Fisika
d. Ilmu kimia
e. Biologi, dan
f. Sosiologi

Hal yang menonjol dari sistematikanya Comte adalah penilaiannya terhadap sosiologi, yang merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks, dan yang merupakan suatu ilmu pengetahuan yang akan berkembang dengan pesat sekali. Sosiologi ,merupakan studi positif tentang hukum-hukum dasar dari gejala sosial. Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dengan sosiologi dinamis.
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis, yang menjadi dasar dari adanya masyarakat. Studi ini merupakan semacam anatomi sosial, yang mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal-balik dari sistem-sistem sosial. Cita-cita dasar yang menjadi latar belakang dari sosiologi statis adalah, bahwa semua gejala sosial saling berkaitan, yang berarti bahwa adalah percuma untuk mempelajari salah satu gejala sosial secara tersendiri. Unit sosial yang penting bukanlah individu, tetapi keluarga yang bagian-bagiannya terikat oleh simpati. Agar suatu masyarakat berkembang, maka simpati harus diganti dengan kooperasi, yang hanya mungkin ada apabila terdapat pembagian kerja.
Sosiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan, dalam arti pembangunan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam mana perkembangan manusia terjadi, dari tingkat intelegensia yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka dinamika menyangkut masyarakat-masyarakat untuk menunjukkan adanya perkembangan. Comte yakin, bahwa masyarakat akan berkembang menuju pada suatu kesempurnaan. Walaupun demikian, Comte sebenarnya lebih mementingkan perubahan-perubahan atau perkembangan dalam cita-cita daripada bentuk. Akan tetapi dia tidak menyadari, betapa perubahan cita-cita akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan bentuk pula.
3. Teori-teori Sosiologi Sesudah Comte
Suatu gambaran yang menyeluruh dan lengkap tentang teori-teori sosiologi sesudah masa Comte, tak akan mungkin diberikan dalam bagian ini. Oleh karena itu, dipilihkan beberapa madzhab untuk memudahkan penyusunan sistematika, teori-teori tersebut banyak yang dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain, maupun data yang diperoleh dari penggunaan ilmu-limu tersebut. Pengaruh yang menyolok akan terlihat, misalnya, dari geografi, biologi, antropologi,ilmu hukum dan lain sebagainya. Pengelompokkan ke dalam madzhab-madzhab, akan didasarkan pada faktor-faktor tersebut sehingga akan dapat diperoleh suatu gambaran yang minimal.
Madzhab Geografi dan Lingkungan
Ajaran-ajaran atau teori-teori yang masuk dalam madzhab ini, telah lama berkembang. Sejak dahulu kala, jarang sekali kejadian, bahwa para ahli pemikir menguraikan mengenai masyarakat manusia terlepas dari tanah atau lingkungan di mana masyarakat tadi berada. Masyarakat hanya mungkin timbul dan berkembang, apabila ada tempat berpijak dan tempat hidup bagi masyarakat tersebut. Teori-teori tersebut sangat logis dan sederhana, karena dapat mencakup sejarah perkembangan masyarakat-masyarakat tersebut.
Di antara sekian banyaknya teori-teori yang dapat digolongkan ke dalam madzhab ini, dipilihkan ajaran-ajaran dari Edward Buckle dari Inggris (1821-1862) dan Le Play (1806-1888). Di dalam hasil karyanya yang berjudul History of Civilization in England (yang tidak selesai), Buckle meneruskan ajaran-ajaran sebelumnya tentang pengaruh keadaan alam terhadap kekayaan masyarakat. Di dalam analisanya, dia telah menemukan beberapa keteraturan dari hubungan antara keadaan alam dengan tingkah laku manusia. Misalnya, terjadinya bunuh diriadalah sebagai akibat rendahnya penghasilan dan tinggi rendahnya penghasilan tergantung dari keadaan alam (terutama iklim dan tanah). Taraf kemakmuran suatu masyarakat, juga sangat terrgantung pada keadaan alam di mana masyarakat hidup.
Le Play mempunnyai kesimpulan-kesimpulan yang sama dengan Buckle, walaupun cara analisanya agak berbeda. Sebagai seorang insinyur pertambangan, dia berkesempatan untuk melakukan berbagai perjalanan ke pelosok Eropa daan mempelajari kehidupan berkelompok manusia demi untuk mempertahankan hidupnya. Dia mulai dengan menganalisa keluarga sebagai suatu unit sosial yang fundamental dari masyarakat. Organisasi keluarga ditentukan oleh cara-cara mempertahankan kehidupannya, yaitu cara mereka bermata pencaharian. Hal itu sangat tergantung pada lingkungan timbal balik antara faktor-faktor tempat, pekerjaan dan manusia (atau masyarakat). Atas dasar faktor-faktor tersebut, maka dapatlah diketemukan unsur-unsur yang menjadi dasar adanya kelompok-kelompok yang lebih besar, yang memerlukan analisa terhadap semua lembaga-lembaga politik dan sosial dari suatu masyarakat tertentu.
Pengikut-pengikut Le Play memperkembangkan teorinya tersebut di atas. Hal ini dilakukan dengan jalan mencoba mengumpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan sosial, faktor-faktor mana disusun secara logis dan sistematis. Bertitik tolak pada asumsi bahwa tipe organisasi sosial ditentukan oleh faktor tempat, maka timbul teori bahwa keluarga-keluarga patrilineal timbul di daerah-daerah stepa. Keluarga-keluarga demikian biasanya sifatnya otoriter, tidak demokratis dan konservatif. Tipe-tipe keluarga tersebut berkembang menjadi particular type of family, yang mata pencahariannya adalah bercocok tanam dan menangkap ikan. Pada tipe keluarga semacam inilah tumbuh akar-akar demokrasi dan kebebasan. Bahkan pada awal abad ke 20, judul Civilazation and Climate. Di dalam buku tersebut diuraikan bahwa mentalitas manusia ditentukan oleh faktor iklim.
Pentingnya madzhab ini adalah, bahwa ajaran-ajaran atau teori-teorinya menhubungkan faktor sturktur serta organisasi sosial. Ajaran dan teorinya mengungkapkan adanya korelasi antara tempat tinggal dengan adanya anekka ragam karakteristik kehidupan sosial suatu masyarakat tertentu.
a. Madzhab Organis dan Evolusioner
Ajaran-ajaran serta teori-teori di bidang Biologi dalam arti luas, banyak mempengaruhi teori-teori sosiologi. Memang perlu diakui, bahwa sejak abad pertengahan, banyak ahli-ahli pemikir masyarakat yang mengadakan analogi antara masyarakat manusia dengan organisme manusia. Beberapa abad kemudian pengaruh tersebut muncul kembali dan salah seorang terkemuka dari ajaran ini adalah Herbert Spencer (1820-1903).
Herbert Spencer adalah seorang yang pertama-tama menulis tentang masyarakat, atas dasar data empiris yang konkret. Dalam hal ini dia telah memberikan suatu model konkret, yang secara sadar maupun tidak sadar diikuti oleh para sosiologi sesudah dia. Suatu organisme, menurut Spencer, akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan dengan adanya diferensiasi yang lebih matang antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti adanya organisasi fungsi yang lebih matang antara bagian-bagian organisme tersebut, dan integrasi yang lebih sempurna pula. Secara evolusioner, maka tahap organisme tersebut akan semakinn sempurna sifatnya. Dengan demikian, maka organisme tersebut ada kriterianya, yaitu kompleksitas, diferensiasi dan integrasi, kriteria mana akan dapat diterapkan pada masyarakat. Evaluasi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya berarti, bertambahnya diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan yang heterogen.
Spencer sebetulnya bermaksud untuk membuktikan, bahwa masyarakat-masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri, secara intern tidak stabil oleh karena terlibat dalam pertentangan-pertentangan di antara mereka sendiri. Selanjutnya dia berpendapat (dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology; 3 jilid), bahwa pada masyarakat industri yang telah ada diferensiasi yang mantap, telah ada suatu stabilitas yang menuju pada keadaan hidup yang damai.
b. Madzhab Formil
Ahli-ahli pemikir menonjol dari madzhab ini, kebanyakan ahli pemikir dari Jerman yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran dan falsafahnya Immanuel Kant. Salah seorang yang terpengaruh tadi adalah Georg Simmel (1858-1918). Menurut Simmel, maka elemen-elemen dari masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk yang mengatur hubungan antara elemen-elemen tersebut. Bentuk-bentuk tadi sebenarnya adalah elemen-elemen itu sendiri. Adalah tugas seorang sosiolog untuk menganalisa proses tejadinya dan mengidentifikasikan pengaruh-pengaruhnya tersebut.
Selanjutnya, Simmel berpendapat, bahwa pelbagai lembaga di dalam masyarakat terwujud dalam bentuk superioritas, subordinasi dan konflik. Semua hubungan-hubungan sosial, keluarga, agama, peperangan, perdagangan, kelas-kelas dapat diberi karakteristik menurut salah satu bentuk di atas atau ketiga-tiganya.
c. Madzhab Psikologi
Di antara sosiolog-sosiolog yang mendasarkan teori-teorinya pada psikologi, adalah Gabriel Tarde (1843-1904) dari Perancis. Dia mulai dengan suatu dugaan atau pandangan awal, bahwa gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari interaksi antara jiwa-jiwa individu-individu, di mana jiwa tersebut terdiri dari kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keeinginan. Bentuk-bentuk utama dari interaksi mental individu-individu adalah imitasi, oposisi dan adaptasi atau penemuan baru. Imitasi seringkali berhadapan dengan oposisi, yang menuju pada bentuk adaptasi yang baru. Dengan demikian, maka mungkin terjadi perubahan sosial yang disebabkan oleh penemuan-penemuan baru. Hal ini menimbulkan imitasi, oposisi penemuan-penemuan baru, perubahan-perubahan dan seterusnya.
d. Madzhab Ekonomi
Dari madzhab ini, akan dikemukakan ajaran-ajaran dari Karl Marx (1818-1920) dengan catatan, bahwa ajaran-ajaran Max Weber sebenarnya mengandung aneka macam segi, sebagaimana halnya dengan Durkheim. Memang Durkheim dan Weber adalah dua tokoh sosiologi yang paling terkemuka dalam sejarah perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
Karl marx telah mempergunakan metode-metode sejarah dan filsafat untuk membentuk suatu teori tentang perubahan, yang menunjukkan perkembangan masyarakat menuju suatu keadaan di mana ada keadilan soosial. Menurut Marx, selama masyarakat masih terbagi atas kelas-kelas, maka pada kelas yang berkuasalah akan terhimpun segala kekuatan dan kekayaan. Hukum, filsafat, agama dan kesenian merupakan suatu refleksi dari status ekonomi kelas tersebut.
Weber antara lain menyatakan, bahwa semua bentuk organisasi sosial harus diteliti menurut perikelakuan warga-warganya, yang motivasinya serasi dengan harapan warga-warga lainnya. Untuk mengetahui dan menggali hal ini perlu, dipergunakan metode pengertian (Verstehen).
e. Madzhab Hukum
Di dalam sorotannya terhadap masyarakat, Durkheim (1858-1917) menaruh perhatian yang besar terhadap hukum, yang dihubungkannya dengan jenis-jenis solidaritas yang terdapat di dalam masyarakat. Hukum menurut Durkheim, adalah kaedah-kaedah yang bersanksi yang berat-ringannya tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baaik buruknya suatu tindakan. Di dalam masyarakat dua macam sanksi kaedah-kaedah hukum, yaitu sanksi yang restitutif. Pada masyarakat-masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis, terdapat kaedah-kaedah hukum dengan sanksi yang represif, sedangkan sanksi-sanksi restitutif terdapat pada masyarakat atas solidaritas organis.
Kaedah hukum dengan sanksi represif biasanya mendatangkan penderitaan bagi pelanggar-pelanggarnya. Sanksi tersebut menyangkut hari depan dan kehormatan seorang warga masyarakat, atau bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya. Kaedah-kaedah hukum dengan sanksi demikian adalah hukum pidana.
Selain itu ada juga beberapa teori lain yang dipaparkan oleh para ahli sosiologi terkemuka antara lain.


Roscoe Pound (1870-1964)
Teori Pound mengenai kepentingan merupakan inti ilmu hukum sosiologisnya. Dia berpendapat bahwa kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia, baik secara pribadi, melalui hubungan antara pribadi atau melalui kelompok. Pound membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan umum maupun kepentingan sosial.
Pokok pemikiran Roscoe Pound berkisar pada tema bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis melainkan suatu proses. Suatu pembentukan hukum, interpretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan denganfakta-fakta sosial. Pound sangat menekankan pada efektivitas bekerjanya hukum dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Pound membedakan pengertian law in books disatu pihak dengan law in action di lain pihak. Ajarannya tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuannya?
Eugen Ehrlich (1862-1922)
Mengemukakan konsepnya bahwa :
“At the present as well as at any other time, the center of gravity of legal development lies not in legislation, not in juristic science, not in judicial decision, but in society itself”
Bagi Ehrlich, hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat. Ehrlich berpendapat dua sumber hukum yang berbeda yang keduanya saling melengkapi, yaitu legal history-jurisprudence and “living law”
Tujuan pokok dari teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan norma-norma sosial actual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law). Yaitu hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat, sebagai hukum yang diterapkan oleh Negara.
Karl N.Llewellyn (1893-1962)
Karl N. Llewellyn mengemukakan pokok-pokok pendekatan hukum sebagai berikut : bahwa hendaknya konsepsi hukum menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan oleh karenanya selalu ada kebutuhan untuk keperluan studi, untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought. Ia tidak mempercyai adanya suatu anggapan bahwa peraturan-peratuan dan konsep-konsep hukum itu ssudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh pengadialan.
Emile Durkheim (1858-1917)
Di dalam teeori-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menelaah perkembangan tertib sosial melalui lembaga sosial dan ekonomi. Atas dasar telaah tersebut dia mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan hukum dengan menegaskan bahwa hukum merupakan ukuran bagi adanya tipe-tipe solidaritas, yaitu solidaritas mekanis akan dapat ditemukan pada masyarakat yang relative bersahaja dan homogen. Kesatuan dan persatuan dalam masyarakat tersebut pada umumnya didasarkan pada hubungan antar pribadi serta kebiasaan, gagasan maupun sikap. Solidaritas ini ditimbulkan dari kesamaan yang mengaitkan individu dengan masyarakatnya. Di dalam masyarakat seperti itu terdapat kesamaan antara para anggotanya mengenai kebutuhan-kebutuhan, pola perikelakuan, kepercayaan dan sikap. Perasaan kesamaan inin tidak hanya menarik para anggota menjadi satu, melainkan sekaligus juga menjadi landasan berdirinya masyarakat.
Durkheim merumuskan hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Sebagaiaman dikatakan bahwa “Every precept of law can be defined as a rule of sanctioned conduct.”(Emile Durkheim, 1964 : 17).
Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peran sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian, kaidahh-kaidah hukum dapat diklasifikasikan menurut jenis-jenis sanksi yang menjadi bagian utama dari kaidah hukum tersebut. Di dalam masyarakat dapat ditemukan dua macam kaidah hukum, yaitu yang refresif dan restitutif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar