Halaman

Selasa, 20 Juli 2010

BPSK

OLEH : SUFRANOTO KUSUMA AMJOYO"THOTO"
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen, baik berupa pelaku usaha dan konsumen barang maupun jasa. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari transaksi dengan konsumen, sedangkan di sisi lain, konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan.
Dalam hubungan demikian, seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya di mana secara umum konsumen berada pada posisi tawar menawar yang lemah, akibatnya menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha atau produsen yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat. Untuk melindungi atau memberdayakan konsumen sangat diperlukan adanya campur tangan pemerintah dan/atau negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen.
Salah satu konsiderans Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK ditegaskan dalam pasal 40 ayat (1) UUPK, bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen. Artinya disini adalah pembentukan BPSK di level daerah diharapkan mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan sengketa konsumen, tanpa harus melakukan pengurusan di pusat. Hal ini dmaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada konsumen untuk melakukan upaya hukum yang tidak menguras energi, biaya dan pikirannya. Berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen dalam hubungannya dengan produsen sangat membutuhkan suatu kepastian hukum yang dapat memberikan kejelasan tentang hak dan kewajiban para pihak sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diharapkan mampu untuk mengatasi segala macam kerumitan dalam hubungan antara produsen dan konsumen.
Salah satu pasal dalam UUPK yaitu Pasal 23, juga menjelaskan bahwa apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya disingkat BPSK, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Di sini terlihat bahwa UUPK memberikan alternatif penyelesaian melalui BPSK serta melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melalui tempat kedudukan konsumen.
Tetapi dalam kenyataannya berbeda dengan kasus yang dialami Faisal Amri Nasution, konsumen rokok A Mild yang gugatannya dikandaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yang kasusnya dinyatakan “salah alamat” oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal in disebabkan pemahaman yang dangkal dari Majelis PN Jaksel dalam memahami substansi dari perlindungan konsumen.
Sebenarnya ada dua alternatif bagi Faisal untuk menuntut haknya: menyatakan banding atau mendaftar gugatan baru di Pengadilan Bekasi. Ini sesuai saran hakim yang mengandaskan gugatan konsumen rokok itu -gugatan dinilai salah alamat. Dalam putusannya, majelis hakim PN Jaksel yang diketuai Soeharto berpendapat, perkara tersebut tergolong sengketa konsumen. Makanya, gugatan harus dilayangkan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup domisili konsumen.
Pihak Faisal sendiri mengaku enggan menyorongkan gugatan anyar ke Pengadilan Bekasi -tempat domisili Faisal. Alasannya, akan makan biaya dan waktu. alasannya, mengajukan gugatan di Bekasi belum jadi jaminan. Bisa jadi, karena gugatannya memakai 1365 KUHPerdata alias perbuatan melawan hukum, PN Bekasi justru balik memutus harus diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jadi terasa diping-pong.
Maklum, menurut ketentuan hukum acara perdata dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) Pasal 118, gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) mesti dilayangkan ke Pengadilan domisili tergugat. Sedangkan khusus perkara yang menyangkut sengketa konsumen, Undang-Undang memperbolehkan konsumen menggugat di badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Ini berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999).
Pihak Faisal yakin, putusan PN Jaksel yang pertimbangannya bersifat formal prosedural itu bakal dianulir oleh Pengadilan Tinggi. Sebab, bunyi Pasal dalam UU Konsumen menggunakan kata "dapat". Rumusan itu, sifatnya bukan imperatif, tapi merupakan sebuah alternatif untuk konsumen dalam melayangkan gugatan.
Selengkapnya Pasal itu berbunyi, "Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen."
Namun persoalan yang timbul, setelah lebih satu dasawarsa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, BPSK ternyata belum dapat dibentuk di Sulawesi Tenggara. Sehingga masyarakat yang hendak mengajukan keberatan terhadap pelanggaran yang dilakukan produsen, sedikit-banyaknya tidak diketahui hendak dibawa kemana aspirasinya. Sehingga dari hal ini penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh kinerja dari BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen di wilayah Sulawesi Tenggara. Seberapa jauh daya jangkaunya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus telaah penulis adalah:
1. Apakah pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa daerah dapat berfungsi secara efektif dalam menangani sengketa konsumen di masyarakat?
2. Bagaimana tindakan BPSK menangani kasus sengketa konsumen di masyarakat, terkhusus pada sengketa konsumen yang terjadi di Sulawesi Tenggara? Seberapa jauh daya jangkau dari lembaga tersebut?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
BPSK berwenang antara lain:
a. menyelesaikan sengketa konsumen melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. mengawasai pencantuman klausula baku
d. melaporkan pelanggaran UU Perlindungan Konsumen kepada Kepolisian
e. menerima pengaduan dari konsumen atas pelanggaran hak konsumen;
Khusus dalam penyelesaian sengketa, kewenangan BPSK relatif luas, antara lain:
• memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
• memanggil saksi atau saksi ahli
• meminta penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli jika mereka tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
• mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan atau pemeriksaan. (Pasal 52,Undang-Undang Perlindungan Konsumen)
Salah satu pasal dalam UUPK yaitu Pasal 23 menjelaskan bahwa apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya disingkat BPSK, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Di sini terlihat bahwa UUPK memberikan alternatif penyelesaian melalui BPSK serta melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melalui tempat kedudukan konsumen (Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001:72).
Kondisi konsumen yang banyak dirugikan memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Namun sebaliknya, perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak boleh justru mematikan usaha produsen karena keberadaan produsen merupakan suatu yang esensial dalam perekonomian negara. Oleh karena itu ketentuan yang memberikan perlindungan kepada konsumen juga diimbangi dengan ketentuan yang memberikan perlindungan kepada produsen sehingga perlindungan konsumen tidak justru membalik keadaan konsumen menjadi lebih kuat dan sebaliknya produsen menjadi lemah. Di samping itu, untuk melindungi diri dari kerugian akibat adanya tuntutan dari konsumen, produsen juga harus dapat mengasuransikan tanggunggugatnya terhadap konsumen tersebut (Ahmadi Miru, 2000:5).
Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen dan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi, di satu sisi produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan dan di sisi lain kebutuhan konsumen dapat terpenuhi dari hasil produksi barang dan/atau jasa dari produsen. Hubungan produsen dan konsumen ibarat sekeping mata uang dengan dua sisi yang berbeda (Nasution, 1995:38).
Dalam hubungan antara produsen dengan konsumen, terdapat berbagai macam kesulitan serta peliknya urusan perlindungan konsumen. Konsumen tidak hanya dihadapkan pada suatu keadaan untuk memilih yang terbaik baginya, melainkan juga pada keadaan di mana ia tidak dapat melakukan pilihan karena adanya penguasaan secara monopoli oleh satu pelaku usaha atas kebutuhan utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Sudaryatmo dalam Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001:2).
2.2 ANALISIS EFEKTIVITAS KEDUDUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MENANGANI SENGKETA KONSUMEN
BPSK adalah lembaga non struktural yang berkedudukan di Kabupaten dan Kota yang mempunyai fungsi ”menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan”. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur Pemerintah, konsumen dan unsur pelaku usaha.
Pada tahap I dengan Keppres Nomor 90 Tahun 2001 telah dibentuk 10 BPSK. Pada tahap II, berdasarkan Keppres Nomor 108 Tahun 2004, dibentuk pula 14 BPSK. Begitu juga pada tahap III, yang diamanatkan melalui Keppres Nomor 18 Tahun 2005, dibentuk 4 BPSK. Sementara ini BPSK yang sudah mempunyai anggota dan diangkat berdasarkan keputusan menteri perdagangan totalnya berjumlah 22 BPSK. BPSK sendiri mempunyai kedudukan di tingkat kotamadya atau kabupaten.
BPSK dalam tujuan pembentukannya, diharapkan dapat mempermudah, mempercepat dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak perdatanya kepada pelaku usaha yang tidak benar. Selain itu dapat pula menjadi akses untuk mendapatkan informasi serta jaminan perlindungan hukum yang sama bagi konsumen dan pelaku usaha.
Dalam penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, BPSK berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan bukti-bukti lain, baik yang diajukan oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha. Prinsip penyelesaian sengketa di BPSK adalah cepat, murah dan sederhana.
Semakin kuatnya pusaran arus neoliberalisme yang mempengaruhi sistem perekonomian global dengan jargon-jargon “pasar bebas” --yang nampaknya netral dan fair namun kenyataannya didesain sebagai penguasaan yang kuat terhadap yang lemah -- maka negara memiliki tanggung jawab memberikan proteksi pada pihak yang lemah. Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya perlindungan konsumen (akhir) yang lemah ketika bersengketa dengan pelaku usaha yang lebih kuat (terutama bila pelaku usaha tersebut telah berwujud sebagai korporasi yang berskala nasional maupun multinasional/transnasional).
BPSK --yang konon diadopsi dari model Small Claims Tribunal --dalam tataran konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati. Potensi-potesi tersebut antara lain: BPSK menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simpel dan fleksibel dengan mekanisme Pengadilan yang memiliki otoritas; Perpaduan ketiga unsur yang seimbang (Konsumen, Pelaku Usaha dan Pemerintah) dalam BPSK merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi sebagai “Quasi Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan nonadjudikasi); dan Berdasarkan konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Jadi setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa sebagaimana telah diuraikan dalam uraian sebelumnya, sehingga diharapkan BPSK dapat memberikan pemerataan keadilan dan mengurangi beban pengadilan.
Seiring berkembangnya mobilisasi penduduk, permasalahan konsumen yang terjadi di masyarakat pun semakin sering kita jumpai. Ibarat jauh panggang dari api, dalam kenyataannya BPSK hingga kini justru semakin kehilangan pamor. Masyarakat pada umumnya lebih familiar dengan LPKSM semacam YLKI dari pada BPSK. Kekecewaan yang dialami oleh David M.L. Tobing terhadap “kemandulan” BPSK DKI Jakarta barangkali juga mencerminkan wajah BPSK-BPSK di daerah lain. Sejumlah kendala sebagaimana disebutkan oleh Dr Susanti Adi Nugroho (Hakim Agung MARI) yakni: Pertama, kendala kelembagaan. Kedua, kendala pendanaan. Ketiga, kendala sumber daya manusia BPSK. Keempat, kendala peraturan. Kelima, kendala pembinaan dan pengawasan, dan minimnya koordinasi antaraparat penanggung jawab. Keenam, kurangnya sosialisasi dan rendahnya kesadaran hukum konsumen. Ketujuh, kurangnya respon dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen. Terakhir, kedelapan, kurangnya respon masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK. Kendala-kendala tersebut nampaknya yang menjadi faktor penyebab BPSK tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pemerintah sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa berjalan optimal. Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen.
Diantara kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan “mati suri”nya BPSK selama ini.
2.2.1 ANALISIS EFEKTIVITAS KEDUDUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MENANGANI SENGKETA KONSUMEN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Sebagaimana diketahui bahwa aturan yang terkait dengan BPSK dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) beserta peraturan pelaksanaannnya amat terbatas, sumir, kurang jelas dan bahkan beberapa subtansinya saling bertentangan. Tunjuk saja misalnya Pasal 56 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa putusan BPSK (yang bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 54 ayat (3)UUPK) dapat mintakan upaya hukum (keberatan) ke Pengadilan Negeri. Artinya, kekuatan putusan BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar bersifat final. Padahal dalam praktek pengajuan keberatan atas putusan BPSK di Pengadilan berlaku hukum acara perdata umum sehingga justru menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.
Aturan mengenai batas waktu setiap tahap proses penyelesaian dengan hitungan hari kerja secara normatif cukup bagus guna mendorong terwujudnya prinsip penyelesaian sengketa konsumen yang cepat, sederhana dan biaya ringan, namun pelaksanaannya dalam praktek justru bisa menjadi kendala tersendiri. Pasal 55 UUPK misalnya menyebutkan bahwa BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja. Batas waktu tersebut bisa menjadi terlampau singkat bila pelaku usaha tidak kooperatif (sulit dipanggil atau sengaja mengulur-ulur waktu), proses mediasi yang alot karena kasusnya kompleks, atau konsumen memerlukan waktu yang relatif panjang guna mempersiapkan bukti-bukti.
Persyaratan bagi anggota BPSK yang diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK nampak lebih mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun kompetensinya. Misalnya saja persyaratan pangkat/golongan tertentu (minimal Pembina/IVa) bagi anggota BPSK dari unsur pemerintah seringkali mempersulit dalam pencarian dan perekrutan orang yang tepat. Pada umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan golongan pangkat tersebut telah menduduki jabatan yang penting, establish dan tentunya “amat sibuk” dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan progresif di BPSK. Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan pengembangan BPSK.
2.2.2 ANALISIS EFEKTIVITAS KEDUDUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MENANGANI SENGKETA KONSUMEN MENURUT PARA PAKAR
Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen: 1) Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif, mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat; 2) Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability); 3) Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara.
Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara penyelesaian sengketa dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik harus diubah dengan pendekatan hukum yang lebih kritis, responsif atau progresif. Secara singkat paradigma hukum progresif bertumpu pada filosofi dasarnya yakni: “hukum untuk manusia” yang dimaknai bahwa sistem manusia (sikap; perilaku) berada di atas sistem formal (aturan; keputusan administratif; prosedur; birokrasi). Dengan demikian bila sistem formal tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen yang utuh, efektif dan adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus mampu mewujudkan sendiri.
Flexibility principle misalnya sesuai dengan penjabaran hukum progresif sebagai cara berhukum yang membebaskan dari kelaziman yang bersumber dari aturan formal maupun praktek beracara. Dengan demikian maka BPSK harus kembali diletakkan sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan sehingga mestinya tata cara atau hukum acara yang diatur dalam hukum positif tidak boleh diberlakukan secara ketat layaknya proses persidangan di pengadilan, namun harus diterapkan sebagai pedoman tata cara penyelesaian sengketa yang fleksibel.
Baik sebagai konsiliator, mediator maupun arbiter, setiap Majelis BPSK harus mampu tidak saja sebagai penerap hukum namun juga sebagai kreator hukum. Setiap aturan hukum positif (UUPK dan peraturan pelaksanaannya) harus dibaca secara utuh yakni tidak hanya sebatas teksnya saja namun harus mendalam hingga pada makna filosofinya. Contoh kasus: seorang konsumen yang berdomisili di Semarang, namun lebih banyak aktivitasnya di Yogyakarta. Aturan yang menyebutkan bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan/pengaduan pada BPSK dimana konsumen berdomisili harus dimaknai sebagai aturan yang intinya tidak boleh merepotkan konsumen dalam mengajukan pengaduan atas sengketa dengan pelaku usaha yang dialaminya. Artinya BPSK Yogyakarta tidak boleh menolak pengaduan konsumen tersebut dengan dalih bunyi aturan hukum positifnya sesuai dengan domisili konsumen maka konsumen harus mengajukan aduannya pada BPSK Semarang.
Majelis BPSK harus mampu membuat terobosan-terobosan untuk mengatasi kebuntuan aturan tata cara penyelesaian sengketa. Untuk mengatasi batas waktu 21 hari kerja yang untuk proses persidangan kasus tertentu secara nyata memerlukan waktu yang lebih panjang, bisa saja dibuat kesepakatan (sebaiknya tertulis) antara para pihak yang bersengketa untuk tidak akan mempermasalahkan ketentuan batas waktu tersebut. Sekalipun hukum positifnya mengatakan bahwa cara penyelesaian secara konsiliasi, mediasi dan arbitrase bukan proses penyelesaian perkara secara berjenjang, namun bila terjadi kasus misalnya para pihak terlanjur memilih cara konsiliasi atau mediasi tapi setelah proses berjalan ternyata terjadi “dead lock tanpa hasil”, maka Majelis BPSK harus mampu meningkatkan cara penyelesaian dengan arbitrase.
Supaya tidak bertentangan dengan larangan penggunaan cara penyelesaian secara berjenjang, bisa saja Majelis BPSK membuat terobosan dengan tidak buru-buru menjatuhkan putusan terhadap sidang konsiliasi/mediasi yang gagal tersebut namun menawarkan pada para pihak untuk merubah cara penyelesaian sengketa (misalnya dengan cara arbitrase). Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa keadilan harus lebih diutamakan daripada kepastian.
Dalam arbitrasepun Majelis BPSK harus berperan aktif mengarahkan pada kedua belah pihak dan membuka dialog yang seluas-luasnya sehingga masing-masing pihak memahami benar duduk persoalannya dang mengerti benar bagaimana harus bertindak dalam proses persidangan. Pendekatan progresif diperlukan Majelis untuk membebaskan diri dari aturan main perwasitan yang “netral” sekalipun objektivitas dalam penilaian terhadap hal-hal yang terungkap dipersidangan tetap harus dijaga. Setidaknya diperlukan kreativitas untuk mengangkat posisi pihak konsumen yang lemah sehingga memiliki posisi tawar yang seimbang dalam “pertarungan” dengan pelaku usaha pada umumnya posisinya jauh lebih kuat.
Pertimbangan-pertimbangan maupun logika yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa-pun tidak semata-mata dari aspek yuridis semata. Balkan guna mencapai hasil penyelesaian yang optimal, aspek-aspek nonyuridis seperti aspek ekonomi, aspek psikologi dan aspek budaya harus lebih diutamakan.
Sekali lagi spirit progresivitas diperlukan agar majelis BPSK bukan lagi sebagai “hakim-hakiman” yang cukup puas dengan menjalankan apa bunyi peraturan perundang-undangan semata, namun lebih dari itu benar-benar mampu manjalankan peran sebagai konsiliator, mediator ataupun arbiter yang “mrantasi gawe” (handal, mampu menjalankan tugas atau menyelesaikan perkara dengan baik). Dengan demikian BPSK ke depan bisa menjadi alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang berwibawa dan diminati.

2.3 ANALISIS DAYA JANGKAU BPSK (BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN) DALAM MENGATASI PERMASALAHAN SENGKETA KONSUMEN DI SULAWESI TENGGARA
Dengan berlakunya UU Perlindungan Konsumen (PK) No.8 Tahun 1999 maka konsumen Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen khususnya dari tindakan yang tidak adil dan mau menang sendiri dari pelaku usaha.
Untuk melayani konsumen melakukan gugatan sengketa maka di tiap provinsi dibentuklah BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang susunan pengurusnya dibentuk oleh Gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menperindag. Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas/dokumen yang mendukung pengaduannya.
Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Prasidang.
Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:
1. Rekonsiliasi: usaha perdamaian antara dua pihak
2. Mediasi: negosiasi yang dimediasi oleh BPSK
3. Arbitrase: penyelesaian lewat sidang di mana kedua belah pihak akan memilih anngota majelis yang mewakili masing-masing pihak yang bersengketa antara lain wakil konsumen, wakil pelaku usaha dan wakil dari pemerintah.
Pertanyaannya adalah bagaimana BPSK menjangkau sengketa konsumen yang terjadi di Sulawesi Tenggara, yang sampai saat ini belum memiliki BPSK sendiri? Bagaimana peran BPSK dalam menangani hal tersebut? BPSK mana yang berkompeten dalam menangani sengketa yang terjadi di Sulawesi Tenggara?
Jawabannya adalah jika sengketa konsumen terjadi di Sulawesi Tenggara, maka tempat mengajukan gugatan dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen (pasal 23 UUPK). Artinya adalah dalam pasal 23 UUPK posisi konsumen begitu dimanjakan. Sebab, konsumen tidak perlu bersusah payah menuntut pelaku usaha atau produsen yang tidak satu domisili. Misalnya, seorang konsumen di Surabaya tidak perlu harus ke Jakarta untuk menuntut kerugian lantaran domisili produsen ada di Jakarta. Hal itu, karena sifatnya tidak memaksa. Sebaliknya, . Sebaliknya, jika produsen yang keberatan dengan putusan BPSK DKI Jakarta itu, meski domisilinya di Makassar, tetap harus melayangkan keberatan di PN Jakarta Timur.
Mahkamah Agung ternyata telah mengeluarkan sebuah peraturan (Peraturan Mahkamah Agung -Perma). Perma itu tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK (Perma Nomor 1 Tahun 2006). Perma itu memang menentukan agar keberatan terhadap putusan BPSK diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya menyangkut domisili konsumen. Sebagai informasi, penyelesaian lewat BPSK bisa diajukan ke BPSK yang meliputi domisili konsumen. Atau jika di daerah itu belum terbentuk BPSK, konsumen bisa menyelesaikan di BPSK yang paling dekat dengan tempat ia berdomisili. Melihat ketentuan baik di UU Perlindungan Konsumen maupun di Perma itu, penulis berpendapat keduanya memang dibuat untuk memanjakan konsumen.
Menyinggung Perma 1/2006, penulis, melihat dalam kasus sengketa konsumen, putusan PN Surabaya atas pengaduan konsumen yang berdomisili di Jakarta Selatan, sebuah hotel di Surabaya pernah dinyatakan bersalah oleh BPSK Surabaya. Hotel itu lalu mengajukan keberatan ke PN Surabaya. Merujuk pada Perma itu, Majelis tidak menerima keberatan produsen, dan menyatakan keberatan atas BPSK Surabaya harus diajukan ke Pengadilan tempat konsumen berdomisili. Menurut penulis, pertimbangan yang ditegaskan Majelis PN Surabaya itu sudah lebih jauh memandang substansi perlindungan konsumen. Bahwa Konsumen adalah pihak yang harus dilindungi dan bukannya malah diping-pong oleh pengadilan.
Sebagai perbandingan, pada kasus yang pernah terjadi pada David M.L. Tobing yang rela mengeluarkan biaya perkara jutaan rupiah hanya untuk menggugat pelaku usaha melalui jalur Pengadilan hanya karena tuntutan ganti rugi sebesar seribu rupiah. Dalam pengalaman David menggugat sebagai konsumen yang merasa dirugikan, majelis tak pernah mempersoalkan yurisdiksi pengadilan.
Dengan demikian, jika terjadi sengketa konsumen di Sulawesi Tenggara, maka sebagai badan yang berwenang dalam penyelesaian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Makassar. Sebab, untuk wilayah Sulawesi Tenggara belum ada pembentukan BPSK, sehingga dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen BPSK Makassar sebagai BPSK yang paling dekat dengan wilayah Sulawesi Tenggara adalah BPSK yang paling berwenang dalam mengatasi sengketa yang terjadi di Sulawesi Tenggara sampai terbentuknya BPSK di wilayah Sulawesi Tenggara.








BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan analisis di atas maka penulis menarik beberapa simpulan, antara lain :
1. Dalam hal efektivitas kedudukan BPSK dalam menangani sengekta konsumen, sebagaimana diketahui bahwa aturan yang terkait dengan BPSK dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) beserta peraturan pelaksanaannnya amat terbatas, sumir, kurang jelas dan bahkan beberapa subtansinya saling bertentangan. misalnya Pasal 56 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa putusan BPSK (yang bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 54 ayat (3)UUPK) dapat mintakan upaya hukum (keberatan) ke Pengadilan Negeri. Artinya, kekuatan putusan BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar bersifat final. Padahal dalam praktek pengajuan keberatan atas putusan BPSK di Pengadilan berlaku hukum acara perdata umum sehingga justru menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.
2. BPSK harus kembali diletakkan sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan sehingga mestinya tata cara atau hukum acara yang diatur dalam hukum positif tidak boleh diberlakukan secara ketat layaknya proses persidangan di pengadilan, namun harus diterapkan sebagai pedoman tata cara penyelesaian sengketa yang fleksibel. Baik sebagai konsiliator, mediator maupun arbiter, setiap Majelis BPSK harus mampu tidak saja sebagai penerap hukum namun juga sebagai kreator hukum. Setiap aturan hukum positif (UUPK dan peraturan pelaksanaannya) harus dibaca secara utuh yakni tidak hanya sebatas teksnya saja namun harus mendalam hingga pada makna filosofinya. Contoh kasus: seorang konsumen yang berdomisili di Semarang, namun lebih banyak aktivitasnya di Yogyakarta. Aturan yang menyebutkan bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan/pengaduan pada BPSK dimana konsumen berdomisili harus dimaknai sebagai aturan yang intinya tidak boleh merepotkan konsumen dalam mengajukan pengaduan atas sengketa dengan pelaku usaha yang dialaminya. Artinya BPSK Yogyakarta tidak boleh menolak pengaduan konsumen tersebut dengan dalih bunyi aturan hukum positifnya sesuai dengan domisili konsumen maka konsumen harus mengajukan aduannya pada BPSK Semarang.
3. Jika terjadi sengketa konsumen di Sulawesi Tenggara, maka sebagai badan yang berwenang dalam penyelesaian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Makassar. Sebab, untuk wilayah Sulawesi Tenggara belum ada pembentukan BPSK, sehingga dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen BPSK Makassar sebagai BPSK yang paling dekat dengan wilayah Sulawesi Tenggara adalah BPSK yang paling berwenang dalam mengatasi sengketa yang terjadi di Sulawesi Tenggara sampai terbentuknya BPSK di wilayah Sulawesi Tenggara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 23 UUPK.
SARAN
Adapun yang menjadi harapan penulis adalah adanya tindakan Pemerintah yang aktif dalam membantu mewadahi sengketa konsumen di masyarakat, antara pelaku usaha dan konsumen. Sehingga mampu melindungi hak-hak konsumen yang dalam hal ini lebih lemah posisi tawarnya daripada produsen atau pelaku usaha yang mempunyai peluang eksploitasi konsumen secra berlebihan. Yaitu dengan segera membentuk BPSK di semua Daerah Tingkat II dalam hal ini di fokuskan pada wilayah Sulawesi Tenggara. Sehingga konsumen yang ada di Sulawesi Tenggara merasa sama rata haknya untuk dapat melakukan gugatan apabila kelak dirugikan oleh konsumen.


















DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Aries. 2008. Ruang Lingkup Wewenang BPSK. Diakses tanggal 18 Mei 2010 (Online).
NNC. 2009. Tinjauan Sosiologis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Makassar. Diakses tanggal 20 Mei 2010 (Online).
Lubis, M. Sofyan, Drs., S.H. 2009. Mengenal Hak Konsumen dan Pasien. Jakarta : Pustaka Yustisia.
Wisnubroto, Al. 2010. Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen. Diakses tanggal 18 Mei 2010 (Online).
http://www.google.com/ Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
http://www.wikipedia.com/ Definisi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18220&cl=Berita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar