Halaman

Senin, 12 Desember 2011

hilangnya eksistensi Negara dengan Bangsa Pelaut

“Nenek moyangku seorang pelaut,
gemar mengarung luas samudera,
.........”

Bait lagu di atas menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah pelaut, hal itu seringkali dijadikan dasar logika yang menganggap bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bervisi maritim. Memang kalau kita lihat berdasarkan tinjuan sejarah dari berbagai kerajaan di Nusantara pada masa lalu, Indonesia sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Kejayaan maritim Nusantara terungkap dari peristiwa masa lalu. Salah satu kejayaan maritim Nusantara yang terkait dengan dunia global, adalah pada sektor perdagangan dan transportasi laut yang berkembang pesat saat itu. Hasil bumi Nusantara khususnya rempah-rempah yang demikian tinggi nilainya di pasaran dunia, telah merangsang saudagar manca negara melakukan perdagangan melalui lautan.
Pada saat yang sama lahirlah kerajaan-kerajaan Islam pantai sebagai bagian mata rantai dari perdagangan dunia dan hal itu ditandai dengan berakhirnya kerajaan Majapahit (abad ke 15). Kerajaan-kerajaan Islam pantai tersebut meletakkan kekuatannya pada perdagangan laut. Pelabuhan kerajaan-kerajaan maritim yang lebih terkenal dengan istilah Bandar yang berarti daerah wilayah perdagangan yang dipimpin oleh penguasa pelabuhan dengan gelar Syah Bandar, berkembang Bandar pelabuhan pada saat itu termaju adalah Pasai di Aceh, Banten, Demak, Cirebon, Tuban, Gresik, Makasar (Kerajaan Goa dan Tallo), Buton, Ternate , Tidore, Jaylolo dan Bacan yang kesemuanya merupakan kota-kota pelabuhan atau Bandar yang menjadi lintasan perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Maluku menuju India melalui Selat Malaka dan kemudian menyebar ke Timur Tengah sampai Eropa.
Kerajaan-kerajaan di Nusantara mengalami masa-masa kejayaan sebelum munculnya kolonialisasi Eropa, dimana hubungan politik dan perdagangan kerajaan-kerajaan tersebut dibangun hanya sebatas pada lingkup Asia. Sebelumny,a pada masa kerajaan Osmania Turki hubungan tersebut bisa mencapai kawasan Eropa. Kerajaan Osmania Turki mempunyai hegemoni perdagangan rempah-rempah Indonesia di India dan Timur Tengah. Untuk masuk pasaran Eropa maka saudagar Turki menggunakan pelabuhan Venesia di Italia.
Namun, sejak kedatangan para kolonialis Eropa yang tujuan awalnya untuk berdagang telah merubah peta hubungan internasional dimana berbagai kerajaan Nusantara tersebut, secara politik-ekonomi hanya berposisi sebagai objek perdagangan. Akhirnya, eksistensi kerajaan-kerajaan Nusantara mengalami kemunduran pada masa kolonialisme Eropa. Pada masa kolonialisme Eropa, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mudah sekali di adu domba, disamping itu banyak pemerintahan kerajaan yang ‘bermain mata’ dengan melindungi kepentingan modal asing, sampai akhirnya terjadi gelombang besar masuknya investasi Barat di Indonesia pasca periode tanam paksa dan revolusi industri. Kolonialisasi Eropa di Indonesia telah menciptakan konflik yang berada diatas daratan dimana proses perjuangan kemerdekaan bangsa juga diletakkan pada ruang hidup dan ruang juang didaratan.
Kejayaan Kerajaan maritim Nusantara yang bervisi maritim lainnya yang harus kita ingat seperti telah tertulis dalam sejarah adalah kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar Nusantara yang pernah besar dengan kekuasaannya yang mencapai hingga kawasan Asia Tenggara karena ketika itu mereka menganut visi maritim dalam mengembangkan negaranya. Demikian juga dengan Kerajaan majapahit dengan kisah Mahapatih Gajah Mada yang bisa menyatukan Nusantara. Tentunya dengan berbekal kekuatan laut yang sangat kuat.
Pembangunan maritim Indonesia sebenarnya merupakan pengulangan sejarah dari kejayaan martim Nusantara yang terhenti akibat visi pembangunan yang terlampau berpihak pada pembangunan kontinental. Namun demikian, watak kemaritiman tersebut saat ini bisa dikembalikan dan ditumbuhkan lagi, beberapa kalangan berkesimpulan agar dapat menjadi bangsa yang kuat dan disegani dimata internasional maka Indonesia harus kembali berwawasan maritim (maritime orientation) dan bukannya berorientasi daratan ( continental orientation). Tentu saja visi ini terkait langsung dengan kondisi geografis Indonesia di mana 75% wilayahnya berupa lautan atau 5,8 juta kilometer persegi, sedangkan daratannya sekitar 1,8 juta kilometer. Semenjak Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara di dalam setiap perundingan bilateral, trilateral, dan multilateral dengan negara-negara di dunia ataupun di dalam setiap forum-forum internasional. Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Indonesia yang merupakan Archipelago State adalah sebuah konsep negara kepulauan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuatan dilaut. Pemakaian dan pengendalian laut saat ini dan jauh sebelumnya merupakan faktor yang penting dalam pembangunan negara kepulauan. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan negara maritim diperlukan landasan yang kuat yang didukung oleh beberapa komponen potensi-potensi maritim yang saling terkait satu sama lain, diantaranya Pelayaran Niaga, Perikanan, Industri Maritim/Perkapalan, Pengeboran Minyak Lepas Pantai, Pariwisata Bahari dan sebagai penunjang Angkatan Laut. Selain itu adanya industri maritim yang kuat dan mampu memproduksi kapal - kapal untuk memenuhi kebutuhan armada yang diperlukan untuk mendukung keenam unsur tersebut.

1 komentar: