“Nenek moyangku seorang pelaut,
gemar mengarung luas samudera,
.........”
Bait
lagu di atas menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah
pelaut, hal itu seringkali dijadikan dasar logika yang menganggap bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang bervisi maritim. Memang kalau kita
lihat berdasarkan tinjuan sejarah dari berbagai kerajaan di Nusantara
pada masa lalu, Indonesia sebenarnya adalah negara yang berwatak
maritim. Kejayaan maritim Nusantara terungkap dari peristiwa masa lalu.
Salah satu kejayaan maritim Nusantara yang terkait dengan dunia global,
adalah pada sektor perdagangan dan transportasi laut yang berkembang
pesat saat itu. Hasil bumi Nusantara khususnya rempah-rempah yang
demikian tinggi nilainya di pasaran dunia, telah merangsang saudagar
manca negara melakukan perdagangan melalui lautan.
Pada
saat yang sama lahirlah kerajaan-kerajaan Islam pantai sebagai bagian
mata rantai dari perdagangan dunia dan hal itu ditandai dengan
berakhirnya kerajaan Majapahit (abad ke 15). Kerajaan-kerajaan Islam
pantai tersebut meletakkan kekuatannya pada perdagangan laut. Pelabuhan
kerajaan-kerajaan maritim yang lebih terkenal dengan istilah Bandar yang
berarti daerah wilayah perdagangan yang dipimpin oleh penguasa
pelabuhan dengan gelar Syah Bandar, berkembang Bandar pelabuhan pada
saat itu termaju adalah Pasai di Aceh, Banten, Demak, Cirebon, Tuban,
Gresik, Makasar (Kerajaan Goa dan Tallo), Buton, Ternate , Tidore,
Jaylolo dan Bacan yang kesemuanya merupakan kota-kota pelabuhan atau
Bandar yang menjadi lintasan perdagangan rempah-rempah dari kepulauan
Maluku menuju India melalui Selat Malaka dan kemudian menyebar ke Timur
Tengah sampai Eropa.
Kerajaan-kerajaan di Nusantara mengalami
masa-masa kejayaan sebelum munculnya kolonialisasi Eropa, dimana
hubungan politik dan perdagangan kerajaan-kerajaan tersebut dibangun
hanya sebatas pada lingkup Asia. Sebelumny,a pada masa kerajaan Osmania
Turki hubungan tersebut bisa mencapai kawasan Eropa. Kerajaan Osmania
Turki mempunyai hegemoni perdagangan rempah-rempah Indonesia di India
dan Timur Tengah. Untuk masuk pasaran Eropa maka saudagar Turki
menggunakan pelabuhan Venesia di Italia.
Namun, sejak kedatangan para
kolonialis Eropa yang tujuan awalnya untuk berdagang telah merubah peta
hubungan internasional dimana berbagai kerajaan Nusantara tersebut,
secara politik-ekonomi hanya berposisi sebagai objek perdagangan.
Akhirnya, eksistensi kerajaan-kerajaan Nusantara mengalami kemunduran
pada masa kolonialisme Eropa. Pada masa kolonialisme Eropa,
kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mudah sekali di adu domba, disamping
itu banyak pemerintahan kerajaan yang ‘bermain mata’ dengan melindungi
kepentingan modal asing, sampai akhirnya terjadi gelombang besar
masuknya investasi Barat di Indonesia pasca periode tanam paksa dan
revolusi industri. Kolonialisasi Eropa di Indonesia telah menciptakan
konflik yang berada diatas daratan dimana proses perjuangan kemerdekaan
bangsa juga diletakkan pada ruang hidup dan ruang juang didaratan.
Kejayaan
Kerajaan maritim Nusantara yang bervisi maritim lainnya yang harus
kita ingat seperti telah tertulis dalam sejarah adalah kerajaan
Sriwijaya. Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar Nusantara yang
pernah besar dengan kekuasaannya yang mencapai hingga kawasan Asia
Tenggara karena ketika itu mereka menganut visi maritim dalam
mengembangkan negaranya. Demikian juga dengan Kerajaan majapahit dengan
kisah Mahapatih Gajah Mada yang bisa menyatukan Nusantara. Tentunya
dengan berbekal kekuatan laut yang sangat kuat.
Pembangunan maritim
Indonesia sebenarnya merupakan pengulangan sejarah dari kejayaan martim
Nusantara yang terhenti akibat visi pembangunan yang terlampau berpihak
pada pembangunan kontinental. Namun demikian, watak kemaritiman tersebut
saat ini bisa dikembalikan dan ditumbuhkan lagi, beberapa kalangan
berkesimpulan agar dapat menjadi bangsa yang kuat dan disegani dimata
internasional maka Indonesia harus kembali berwawasan maritim (maritime
orientation) dan bukannya berorientasi daratan ( continental
orientation). Tentu saja visi ini terkait langsung dengan kondisi
geografis Indonesia di mana 75% wilayahnya berupa lautan atau 5,8 juta
kilometer persegi, sedangkan daratannya sekitar 1,8 juta kilometer.
Semenjak Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan
konsepsi Wawasan Nusantara di dalam setiap perundingan bilateral,
trilateral, dan multilateral dengan negara-negara di dunia ataupun di
dalam setiap forum-forum internasional. Setelah melalui perjuangan yang
penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan
ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United
Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya
deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang
pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Indonesia yang merupakan Archipelago State adalah sebuah konsep negara
kepulauan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuatan dilaut.
Pemakaian dan pengendalian laut saat ini dan jauh sebelumnya merupakan
faktor yang penting dalam pembangunan negara kepulauan. Untuk itu, dalam
rangka mewujudkan negara maritim diperlukan landasan yang kuat yang
didukung oleh beberapa komponen potensi-potensi maritim yang saling
terkait satu sama lain, diantaranya Pelayaran Niaga, Perikanan, Industri
Maritim/Perkapalan, Pengeboran Minyak Lepas Pantai, Pariwisata Bahari
dan sebagai penunjang Angkatan Laut. Selain itu adanya industri maritim
yang kuat dan mampu memproduksi kapal - kapal untuk memenuhi kebutuhan
armada yang diperlukan untuk mendukung keenam unsur tersebut.
ijin share ya kak makasih
BalasHapusexcavator komatsu pc 200