Kamis, 13 Mei 2010
Sejarah Suku Bangsa Tolaki
(To’olaki, Lolaki, Lalaki, Laki, Kolaka, “Noie”, “Noihe”, “Nehina”, “Nohina”, “Nahina”, “Akido”) 281,000, termasuk 230,000 Konawe, 50,000 Mekongga, 650 Asera, lebih sedikit dari 100 Wiwirano, 200 Laiwui (1991 D. Mead SIL). Asal kata TOLAKI, TO=orang atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki,..manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri. Suku Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sulawesi Tenggara, Kendari dan Kolaka. Mekongga di Pegunungan Mekongga di pinggiran barat dekat Soroako. Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia Barat, Sulawesi, Sulawesi Tengah, tengah Barat, Bungku-Mori-Tolaki, Tolaki. Dialek: Wiwirano, Asera, Konawe (Kendari), Mekongga (Bingkokak), Norio, Konio, Tamboki (Tambbuoki), Laiwui (Kioki). Wiwirano memiliki 88% kemiripan bahasa dengan Asera, 84% dengan Konawe, 85% dengan Mekongga, 81% dengan Laiwui, 78% dengan Waru, 70% dengan Rahambuu dan Kodeoha, 54% dengan Mori dan Bungku. Mekongga memiliki 86% kemiripan dengan Konawe, 80% dengan Laiwui. Tes kejelasan dibutuhkan dengan dialek yang tersusun diatas, Mekongga, dan Waru.
Nama-nama negatif tidak lagi dipergunakan. Wiwirano hanya dituturkan oleh para tetua. Kamus. Tatabahasa. Tolaki merupakan salah satu kelompok etnis mayoritas di Sulawesi bagian selatan. Bahasa mereka disebut Bahasa Tolaki, dan masyarakatnya juga dikenal dengan nama itu. Mereka tidak menjadi bingung dengan Lolak di Sulawesi bagian utara.
Tolaki terdiri atas beberapa sub-kelompok, termasuk Bingkokak. Sedikit saja yang diketahui tentang gaya hidup dan budaya mereka, tetapi diduga bahwa cara hidup mereka sangat mirip dengan etnis tetangga mereka, Pancana dan Maronene.
Sulawesi merupakan sebuah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 3.500 mil, terdiri atas empat semenanjung utama yang terpisahkan oleh teluk dalam, dengan dua semenanjung mengarah ke selatan dan dua lainnya ke utara. Di bagian selatan pulau ini terdapat salah satu gunung tertinggi, yaitu Gunung Lompobatang, sebuah gunung api pasif yang mencapai ketinggian 9.419 kaki. Meskipun beriklim tropis, daerah ini dipengaruhi oleh ketinggian dan kedekatan dengan laut.
Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara.mendiami daerah yang berada di sekitar kota kendari, Kabupaten konawe, Konawe Selaten, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal, hidup dari hasil ladang dan persawahan yang di buat secara gotong-royong keluarga. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunani Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Karena masyarakat tolaki hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.
Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi. Selain itu ada pula makanan pokok yang berasal dari pohon sagu (tawaro) dan dikelola dengan cara memotong batang pohon sagu yang kemudian diiris isi dari batangnya setelah itu dilakukan Lumanda atau meratakan hasil irisan tersebut didalam tempat penampungan sehingga hasil dari proses semua itu akan menjadi sagu (tawaro)/Sinonggi (siap saji). Rumah mereka yang umumnya berbentuk rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka. Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki atap yang tinggi.
Perbedaan kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta masayarakat biasa, masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi. Tiap kelas sosial biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara berbagai macam budaya dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada akhirnya memegang kepemilikan atas lahan.
Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga Si gadis pada saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang jelata. Poligami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dilakukan.
Islam merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan penduduknya. Hindu, tersebar luas di nusantara sebelum abat keempat, dan sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme (kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku yang tinggal di daerah terpencil. Islam telah dominan sejak tahun 1600-an, dan etnis Tolaki pada prakteknya merupakan Muslim Sunni . Akan tetapi, kepercayan tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat. Hanya sekitar 1% masyarakat Tolaki beragama Kristen
Kebudayaan Masyarakat Tolaki
Kota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam tulisan ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´ Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Tolaki terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
- Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
“Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi/hukuman.
“Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
- Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa Yang kami berikan pada tulisan ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki. Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.
Rumah Komali dengan titik pusat tiang Petumbu; Perwujudan “KALO”, Simbol kesatuan Persatuan manusia & alam suku TOLAKI (Kalo: lingkaran konsep dasar)
Secara harfiah “Kalo” adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka. Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antara manusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki. Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep kalo tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul kalo.
Kalo sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki adalah lambang kebersamaan diiringi oleh ketulusan tanpa egoisme, untuk hidup dalam suatu situasi yang dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk kebersamaan yang tidak mudah lepas hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang mengakibakan timbulnya kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya pertikaian. Kesimpulan: konsep kesatuan-persatuan yang dikandung kalo wajib direkontekstualisasikan secara nyata tak hanya dalam masyarakat Tolaki, tetapi juga menjadi pelajaran bagi masyarakat bangsa ini setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.
Asal-usul orang Tolaki dan kalo (dari Negeri Cina)
Gambaran umum masyarakat Tolaki atau Suku Tolaki, merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sedikit fenomena linguistik itu memang sangat mudah memancing komparasi karakter tektonik arsitektur Tolaki ke Cina, sehingga ada beberapa pihak yang memperban-dingkan bubungan atap lengkung gaya komali dengan kurva atap kelenteng Cina. Namun atap lengkung bukan monopoli Cina. Dari rumah adat Yulong di Vietnam, Minangkabau sampai yang terdekat dengan tempat kediaman orang Tolaki yaitu tongkonan Toraja, kesemuanya memakai atap berbubungan lengkung.
Jadi sebetulnya tak terlalu mudah untuk menghubungkan peradaban Tolaki dengan Cina. Hipotesis tentang hubungan kesejarahan Tolaki-Cina tampaknya masih sangat perlu didukung oleh kajian antropologi linguistik dan sejarah etnografi arsitektural yang lebih memadai. Apalagi jika yang hendak dikaji bukan hanya bentuk tektoniknya saja tetapi pandangan hidup dan kehidupan masyarakat Tolaki. Pertanyaan penting antara lain: dapatkah melacak sejarah mentalitas yang dikandung konsep kalo ke Cina, mengingat unsur konsepsual utama budaya konfusian Cina adalah kesetimbangan dualitas yin-yang dan bukan keselarasan lingkaran kehidupan dalam kesatuan-persatuan sebagaimana kalo? Apapun wacana yang dapat dikembangkan, asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya lebih mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi neo-litikum yang lebih umum: bangsa-bangsa Sulawesi bermigrasi dari jalur Asia Tenggara ke Kepulauan Pilipina; sedangkan mereka yang datang dari arah Selatan bisa jadi berasal dari Pulau Jawa lewat Pulau Buton.
Selain asal-usulnya, hal yang juga sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan raja-raja dalam legenda rakyat tentang dua kerajaan besar lokal: Konawe dan Mekongga. Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe) dan raja Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat Islam telah diterima (Tarimana 1993).
pelajaran bagi masyarakat bangsa ini— setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.
Makna “KALO” dalam budaya suku TOLAKI
Perwujudan "KALO", simbol kesatuan-persatuan manusia & alam Suku Tolaki Rumah Komali dengan Titik Pusat Tiang Petumbu Kota Kendari mengelilingi Teluk Kendari. Apakah posisi geografis ini berhubungan dengan konsep "KALO"? Sungguh tak mudah untuk memastikan, meskipun kenyataannya memang geografi Kendari seolah membentuk “KALO”.(Sumber:Rencana Tata Ruang Kota Kendari 1999/2000, Dinas Tata Kota Kendari).
“KALO” dari rotan dengan anyaman bambu dan kain putih (Sumber: Tarimana,1993:208) *KALO: lingkaran konsep dasar *Secara harfiah "Kalo" adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi /osara/ (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah symbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u Dewa Tertinggi), /Sangia I Losoanooleo/ (Dewa di Timur) dan /Sangia Tepuliano Wanua/ (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol /Sangia I Puri Wuta/ (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol
badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah /kalo/ pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka./ Kalo/ juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa /kalo/ melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki.
Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep /kalo/ tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul /kalo/. Rumah / anakea/ dari Lambuya dengan bentuk atap lengkung,
merendah di bagian tengah. / /(Sumber: Sarasin dalam Bungalaw, 1994, dikutip Tarimana,
1993)/
Diposkan oleh Agus Zainal Tamburaka di 23.55
Label: Kalosara, Kendari, Punggaluku, Tolaki
tolaki is the best??? apa iya????
BalasHapusmaw tanya soal rumah adatnya, mudah2an km tau gak cuma om do.
stelah sy amati,.. itu rumah adat tolaki kan paling mencolok bentuk atapx...
tp knapa slama sy lakukan pnelitian di berbagai daerah(konsel, konut, kolut, kolaka, kendari, dll) knp gak ada satupun rumah masyarakat biasa yg mneggunakan atap yg 'katanya' khas tolaki???
malah yg menggunakan bntuk atap bgt cuma bangunan perkantoran, perkantoran dan perkantoran, dan bukan rumah masyarakat umum.
dan stelah kami bertanya pada 100 orng warga ASLI tolaki katanya bentuk atap itu RUMIT, SUSAH DIBUAT, DAN MAHAL.
brrti mmg bentuk atap itu bukan bentuk atap tolaki asli,... karna masyarakatx susah membuatx.
beda dengan masyarakat minang, jawa, dll.
walau pun mahal tp tetap bentuk atap adatx tetap digunakan masyarakat... ckck prihatin.