Halaman

Selasa, 19 Juli 2011

Koalisi dan Kekuatan Sistem Presidensial

Alih-alih tindak lanjut penyelesaian korupsi mafia perpajakan (yang sekarang tampaknya sudah menjadi angin lalu), atau reformasi kelembagaan negara, atau penanganan kelangkaan bahan bakar dan potensi kenaikan harga pangan - Negara Indonesia akhir-akhir ini diramaikan dengan insiden keretakan koalisi pemerintahan Presiden SBY and potensi bongkar pasang formasi koalisi pendukung pemerintah. Koalisi yang dibangun untuk mendukung dan melanggengkan pemerintahan periode kedua Susilo Bambang Yudhoyon - yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB – sebenarnya sudah menunjukkan kerapuhannya sejak tahun lalu, tetapi retaknya koalisi tersebut mencapai klimaks-nya pada saat pembahasan angket mafia pajak yang dimana Golkar dan PKS secara terang-terangan mengambil direksi yang berseberangan dengan partai pemerintah dan anggota koalisi lainnya. Keretakan yang selama ini kerap disembunyikan dibelakang layar tetap tercium oleh khalayak banyak. Kegeraman pihak Istana dan Demokrat pun pada akhirnya tidak terbendung lagi. Presiden SBY akan mengirim pesan ultimatum kepada para petinggi partai-partai yang tergabung dalam Setgab untuk meminta ketegasan berkoalisi. Gonjang-ganjing soal perubahan formasi dengan rencana mengeluarkan PKS dan Golkar dan menggandeng PDI Perjuangan serta Gerindra pun mulai muncul ke permukaan. Wacana reshuffle kabinet pun muncul seiring dengan berkembangnya keretakan Setgab. Ditengah perdebatan mengenai komposisi aliansi ideal dan pembicaraan mengenai kerapuhan insitusi kepresidenan Indonesia, seyogyanya, marilah kita meletakkan ini semua kepada sebuah perspektif yang benar dan memikirkan kembali sejauh mana bongkar pasang koalisi pemerintahan dapat memberikan efek positif dalam penguatan sistem presidensial kita.

Dalam konstelasi tata negara Indonesia yang sedemikian terfragmentasi oleh keberagaman partai politik dan yang baru saja memulai pembelajaran demokrasi paska jatuhnya rezim Orde Baru, koalisi atau aliansi partai politik dengan tujuan mendukung pemerintahan adalah sebuah keniscayaan. Bukan hanya di Indonesia, koalisi merupakan sebuah realitas politik yang juga terjadi di banyak negara, termasuk negara-negara yang tergolong maju secara kelembagaan dan dewasa dalam kehidupan berpolitik. Tetapi yang terjadi selama ini adalah koalisi parpol banyak dilandaskan oleh kepentingan transaksional belaka. Pemerintahan yang terbentuk sejak jatuhnya Presiden Soeharto tidak pernah lepas dari realitas koalisi, tetapi sejak tahun 1999 (dari koalisi Poros Tengah hingga Setgab), tidak pernah ada sebuah koalisi yang bersifat permanen dan pembagian kekuasaan yang bersifat temporer justru selalu menjadi pondasi dari berdirinya koalisi parpol pendukung pemerintahan. Koalisi yang secara konseptual seharusnya menjadi tonggak penguatan sistem presidensial, malah menjadi alat yang efektif untuk menyandera sang Presiden.

Ditengah perhitungan dan perumusan strategi politik berkenaan dengan formasi Setgab, pertanyaan yang muncul adalah: adakah sebuah koalisi yang ideal? Atau dapatkah masuknya PDI Perjuangan dan Gerindra menjamin koalisi yang bebas konflik? Diatas kertas memang dengan keluarnya Golkar, PPP, PKS dan masuknya PDIP dan Gerindra, SBY dapat memastikan adanya kesamaan ideologis dan kesamaan platform (pro-nasionalis dan pruralisme). Tetapi fakta itu sama sekali tidak memberikan sebuah jaminan apa-apa. Mengutip Winston Churchill bahwa dalam politik, tidak ada teman atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Masuknya PDIP dan Gerindra, dengan pertimbangan kawan sesama ideologi, bukanlah sebuah antidot keretakan aliansi. Dan juga kelanggengan sebuah koalisi tidak dapat dijamin dengan perbaikan instrumen politik, sebagai contoh: MOU koalisi dan komunikasi antar parpol. Karena pada akhirnya, yang ada hanyalah kepentingan. PDIP memiliki kepentingan, demikian pula Gerindra. Lantas apakah akhirnya koalisi menjadi sesuatu yang mubazir? Tentu tidak. Koalisi, baik di Indonesia atau dinegara multipartai lainnya, membangun sebuah koalisi yang efektif adalah salah satu kunci pendukung efektifitas pemerintahan eksekutif. Koalisi yang baik menentukan, sebagai contoh, mulus tidaknya hubungan legislatif-eksekutif, dan bagaimana proses pembuatan hukum dapat mendukung kebijakan publik pemerintah. Politik membutuhkan relasi. Presiden membutuhkan dukungan, yang kerap kali harus dicari dari luar partai politik yang mengusungnya. Tetapi haruslah diingat bahwa koalisi bukanlah determinan utama untuk memperkuat sistem dan kinerja pemerintahan, karena koalisi sekuat apa pun diatas kertas masih dapat pecah seiring dengan berjalannya waktu.

Ditengah perdebatan yang memakan tidak sedikit energi dan waktu para elit, dan yang semakin menguras tingkat kepercayaan masyarakat akan kesungguhan para politisi, kita sering kali lupa bahwa kunci yang terutama dalam memperkuat sistem presidensial negara kita adalah dengan memperbaiki instutusi kepresidenan itu sendiri. Bukan pendukungnya atau koalisinya, melainkan Presidennya sendiri. Tegak runtuhnya sistem kepresidenan kita terletak dari apakah Presiden sebagai pemimpin tertinggi Republik ini dapat menjalankan mandat dan perannya; dari apakah janji kampanye dipenuhi dengan kesungguhan yang penuh; dari apakah Presiden dapat membebaskan diri dari belenggu politik balas budi dan pencitraan yang semu; serta dari apakah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat dapat dengan ketulusan hati mementingkan kesejahteraan rakyat ketimbang kepetingan diri dan elit. Penguatan sistem presidensial memerlukan seorang sosok Presiden yang tegas dalam mengemban mandat rakyat, bukan seorang sosok yang dilemahkan oleh politik utang budi dan kepentingan politik dagang sapi. Keberhasilan kinerja ditentukan oleh keseriusan Presiden dalam memilih para pembantu-pembantunya (menteri-menteri anggota kabinet). Presiden selaku pemimpin eksekutif aruslah memilih para menterinya dengan pertimbangan yang rasional, bukan dilandaskan akan pertimbangan politik transaksional. Karena jika didasarkan pertimbangan politis semata, maka kinerja sebuah tim kabinet akan terus dibawah ancaman dinamika politik yang tidak menentu dan akan terus disandera oleh potensi konflik karena perbedaan arah politik dan kepentingan internal parpol. Alhasil, menteri selalu berada dalam ketidakpastian yang cair dan tidak pernah secara tuntas menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Dari semua kabinet dimasa reformasi, kabinet Indonesia Bersatu ke-II adalah jajaran kabinet yang memiliki representatif terbanyak dari parpol pendukung pemerintah (jumlah kalangan profesional lebih sedikit dari fungsionaris partai politik). Hasilnya, dari evaluasi akuntabilitas kinerja sepanjang tahun 2010, hanya 6 kementerian yang mendapat predikat kinerja baik.

Meskipun isu koalisi merupakan isu yang sentral dalam sebuah ketata negaraan, tetapi ditengah cideranya sistem presidensial Indonesia sekarang ini, marilah kita ingat bahwa pembenahan elementer dan hakiki terletak ditangah Presiden SBY sendiri. Keseriusan beliau dan ketegasan beliau dalam memimpin seluruh aspek pemerintahan negara ini adalah kunci yang terutama. Ditengah panasnya bongkar pasang bongkahan aliansi, biarlah Presiden SBY tidak lupa bahwa masih banyak persoalan negara yang bersifat mendesak dan yang membutuhkan Presiden dengan sebuah perhatian full-time, dan bukan Presiden yang absen (yang sebagaimana selama ini dirasakan rakyat). Sebut saja kasus Mafia Pajak yang serasa hilang dari pemberitaan media akhir-akhir ini, padahal kasus tersebut jauh sekali dari selesai. Belum ada tindak lanjut terhadap perusahaan pengemplang pajak dan belum ada pengusutan yang berarti terhadap aktor-aktor di struktur penegak hukum dan direktorat jendral pajak yang notabene merupakan bagian dari jaringan mafia. Sebut saja kasus Century yang sampai saat ini berada dalam kondisi stangnan. Sebut saja persoalan ekonomi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak: kelangkaan BBM, inflasi tinggi, dan naiknya harga pangan. Sebut saja persoalan kerukunan dan kebebasan umat beragama yang selama ini menjadi objek pembiaran pemerintah. Sebut saja permasalahan akan kebutuhan infrastruktur pendukung kinerja ekonomi yang masih terkatung-katung. Sebut saja masalah kemiskinan dan pendidikan nasional yang selama ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintahan, dan lain-lain.

Penguatan sistem presidensial terletak dari apakah Presiden itu dapat secara murni dan konsekuen mengemban dan melaksanakan mandat dari rakyat dan konstitusi, bukanlah semata-mata dari perhitungan kekuatan diatas kertas. Karena hanya dengan itulah seorang Presiden bukan hanya dapat menjadi teladan bagi yang lainnya (aspek pendidikan politik) dan memastikan penguatan insitusi yang dibawahinya (aspek reformasi kelembagaan), tetapi juga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat Indonesia akan pemimpinnya yang sekarang ini berada dititik yang sangat rendah. Absennya kepemimpinan seorang Presiden dirasakan rakyat dalam kesehariannya. Pasangan SBY-Boediono yang memiliki modal politik besar dengan dipilih langsung hanya dalam satu putaran saja sampai saat ini belum menunjukan sebuah kinerja yang membanggakan. Kehadiran dan otoritas seorang pemimpin negara sering kali absen mana kala diperlukan. Presiden pun sering kali terlihat mencuci tangan dan terlalu sibuk dengan urusan pencitraan. Kasus kriminalisasi pimpinan KPK (Bibit-Chandra), kasus penanganan Mafia Pajak (Gayus), kasus TKI yang teraniaya dan terlantar dinegeri orang, adalah sedikit contoh dari serentetan persoalan yang dimana kehadiran dan ketegasan seorang Presiden tidak dirasakan oleh rakyat. Maka dari itu, biarlah momen perombakan koalisi bukan hanya menjadi waktu dimana Presiden menata kembali formasi aliansinya, tetapi lebih penting lagi adalah biarlah ini juga menjadi waktu dimana beliau melihat kembali bahwa penguatan sebuah institusi berangkat dari kepala institusi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar